Aku tak dapat berkata-kata lagi saat Ganda menyetujui permintaan Dinda, ya sudahlah aku terima saja, justru aneh kalau aku sendiri yang menolaknya. Nyatanya mereka semua tak ada yang keberatan, mereka langsung duduk saat Ganda mempersilakan.
“Arion, pindah di samping Mama, ya,” titah Pak Damar. Arion langsung menuruti, dia turun dari pangkuanku dan pindah ke kursi makan khusus anak di samping mamanya.
Kalau kalian ingin tahu saat ini aku duduk berhadapan dengan Pak Damar, wajahnya sangat tak enak dipandang, ketus.
Pesanan mereka datang, cukup banyak, sekarang aku tahu kenapa mereka pesan sebanyak itu karena mereka tak hanya bertiga tapi berempat, Kak Dedi datang menyusul hingga perlu menambah satu kursi tambahan, jadilah Kak Dedi duduk di antara aku dan Pak Damar.
Kami banyak bertukar pertanyaan yang umum-umum saja, aku dikejutkan dengan fakta tenyata Dinda baru mengetahui kalau aku salah satu karyawan Pak Damar jadi selama ini Pak Damar tak memberitahunya.
“Parah, aku baru tahu. Kok kamu gak bilang, sih?” tanya Dinda.
“Memang penting?” jawab Pak Damar. Darahku berdesir mendengar jawabannya, aku memang tak sepenting itu untuk di bahas dalam hubungan mereka.
Dinda hanya menggeleng mendengar ucapan Pak Damar, selanjutnya kami membahas hal-hal tak penting agar suasana tak garing.
“Aku tahu banget Jingga suka dimsum, dulu—” kalimat Kak Dedi terhenti saat mendapat tatapan dari Pak Damar. “Ehem, cobain yang ini, Ga, enak banget,” lanjut Kak Dedi. Dia meletakkan sepotong dimsum ke piringku, aku tahu dia hanya mengalihkan pembicaraan saja.
“Terima kasih, Kak—” Aku menatap Pak Damar dan Ganda bergantian, tak hanya aku, Dinda dan Kak Dedi pun ikut tercengang. Pasalnya saat ini dua pasang sumpit tengah berebut mengambil dimsum di piringku yang diberi Kak Dedi tadi, kedua pelaku itu saling menatap.
“Maaf, Mas, saya ambil. Saya sengaja tak memesankan menu ini karena Jingga aleri udang,” ujar Ganda.
Dengan sigap Ganda mengambil dimsum itu dengan sumpitnya dan memindahkan ke piringnya, dia juga mengambil dimsum kesukaanku dan meletakkan di piringku. Bagaimana dengan Pak Damar? Dia hanya diam dan lanjut menyantap hidangan di hadapannya.
Kak Dedi berulang kali meminta maaf padaku, padahal aku sudah tak mempermasalahkannya. Sedangkan Dinda, aku melihat raut wajahnya tampak tak senang. Seketika dia menjadi ketus tak seramah di awal tadi. Entah kenapa aku melihat Pak Damar tampak risih dengan perhatian yang Dinda berikan, atau ini hanya perasaanku saja.
Pak Damar izin pulang lebih dulu, ada hal mendesak katanya. Dia sudah membayar bill termasuk pesanan aku dan Ganda, aku heran kenapa dia tak mengajak anak serta istrinya.
***
"Itu taksinya sudah datang, aku pulang dulu, ya," ujar Ganda. Aku masih saja merengut, pasalnya Ganda tak ingin kuantar ke apartemennya, dia malah mengantarku dan pulang dengan memesan taksi online.
Ganda bilang dia tak ingin aku mengemudi sendiri di malam hari, setelah makan sore tadi kami lanjut menghabiskan waktu di taman kota asyik bercerita tanpa sadar sudah larut malam.
Taksi yang ditumpangi Ganda meninggalkan area apartemenku, aku melihat pintu lift terbuka dan berlari kecil mengejarnya. Langkahku terhenti saat seseorang menahan tanganku, aku membulatkan kedua mataku.
Pak Damar.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya. Aku menyernyitkan dahi, apa aku tak salah dengar. Aku menarik tanganku tapi dia menahannya. "Jawab!" lanjutnya.
"Maaf, apa Bapak harus tahu?” Aku celingukan mencari keberadaan anak dan istrinya tapi tak menemukannya, aku menelisik sedang apa dia berada di area apartemenku malam begini.
“Jelas, besok sudah senin dan kamu masih berkeliaran malam hari begini. Bagaimana kalau besok kamu terlambat? Saya akan menindak tegas karyawan saya yang tidak disiplin.”
Hah, gimana, aku bingung saat ini. Dia tiba-tiba datang mengomeliku membawa embel-embel perusahaan di luar jam kerja, tak masuk akal.
Aku menarik napas pelan, sabar, aku harus sabar. “Kalau begitu saya pulang dulu, ya, Pak, permisi,” pamitku, aku enggan berlama-lama dengannya.
“Kamu belum jawab,” ujarnya.
“Saya berhak tidak menjawab, permisi.”
“Jingga.” Aku berbalik menoleh ke arah suara yang memanggilku.
“Bunda.”
Bunda mendekat, beliau langsung memelukku. “Bunda gak nyangka bisa ketemu kamu lagi setelah sekian lama, Bunda kangen banget tahu sama kamu,” ucapnya. Bunda tampak senang sekaligus sedih bersamaan aku bisa merasakannya, Bunda Pak Damar sudah aku anggap seperti Bundaku sendiri. Kalau diingat-ingat sejak pindah ke Bandung aku belum bertemu dengan beliau lagi, kalau Mama sudah pasti rutin bertemu karena mereka selalu arisan bersama.
“Jingga juga kangen, Bunda.” Kami masih belum melepaskan pelukan satu sama lain, serindu itu memang.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Bunda seraya melepas pelukan dan aku menjawabnya dengan anggukan.
“Oh, begitu … pantesan—” Bunda menggantung kalimatnya sambil melirik Pak Damar dengan tatapan menggoda.
“Sudah sana katanya kamu mau pulang,” usir Pak Damar padaku.
“Oh, iya, Jingga naik dulu ya, Bunda,” pamitku pada Bunda.
“Iya Sayang, ini sudah malam juga, lebih baik kamu segera istirahat.”
“Permisi, Pak.” Aku melihat Bunda menyernyitkan dahi dan menatap Pak Damar bingung, segera saja aku menjauh dari mereka, aku tak ingin diintrogasi Bunda lebih dalam biarkan saja anaknya yang menjelaskan.
***
Apa boleh aku resign saja, kali ini Pak Zein memanggilku beliau memberi surat tugas untukku selama tiga hari ke sukabumi membantu pekerjaan Pak Damar seperti sebelumnya, ternyata klien di sukabumi menyetujui kerjasama dengan perusahaan kami. Kali ini aku tak langsung menerima, aku menyarankan agar karyawan lain saja yang lebih paham ikut serta kali ini tetapi Pak Zein menolak karena sebelumnya aku yang membantu Pak Damar akan lebih baik tetap aku saja agar mempermudah komunikasi dan jelas aku yang lebih tahu seluk-beluk pekerjaannya.
Aku duduk di hadapan Pak Damar saat ini, kami menyiapkan beberapa berkas yang perlu disiapkan untuk perjalanan bisnis besok. Hari sudah semakin siang, perutku yang kosong juga sudah berteriak minta diberi makan.
“Pak, saya lanjutin nanti setelah makan siang boleh?” Pak Damar melihat jam yang melingkar di tangannya lalu dia mengambil ponselnya. "Saya mau izin makan di luar, Pak.” Aku melipat bibirku saat mendapat tatapan tajam darinya.
“Dengan kekasihmu?”
“Iya, Pak.” Aku iyakan saja biar cepat selesai, sebenarnya aku bukan janjian pada Ganda karena hari ini dia masih sibuk di rumah sakit tetapi dengan Rita. Dia ingin mengajakku makan di salah satu tempat makan yang baru saja buka di sekitar kantor. Tak ada tanggapan apapun lagi dari Pak Damar dia memilih untuk kembali fokus pada laptopnya tak menghiraukanku. “Saya permisi, ya, Pak.”
“Nah, pas kamu di sini, Sayang.” Pintu terbuka ternyata Bunda, beliau menarik tanganku menuntunku duduk di sofa. “Ayo, kita makan siang bareng, kamu pasti belum makan ‘kan?” Bunda tampak antusias membuka rantang yang beliau bawa.
“Bunda—” aku melirik ke arah Pak Damar dan dia memalingkan wajahnya, padahal sebelumnya dia melihat ke arahku. “Maaf, sebenarnya Jingga sudah janji mau makan di luar sama—” aku memotong kalimatku saat Bunda menatapku sendu.
“Bunda dengar dari Damar kamu kerja di sini, Bunda sengaja masak biar bisa makan siang bareng, sore nanti Bunda sudah balik ke Yogyakarta.” Aku menghela napas pelan, bukannya aku tak mau, tentu aku sangat mau. Aku rindu Bunda juga rindu masakannya, tapi …
“Telepon teman kamu bilang lain kali saja makan bersamanya karena Bundaku datang dari Yogyakarta gitu.” Bunda mengajariku dan membuat aku terkekeh.
“Kamu, sini! Memang kenyang makan kerjaan saja?” sindir Bunda pada Pak Damar.
Pak Damar mendekat dia duduk di sofa single di sampingku. “Bunda kok gak ngabarin dulu?” tanyanya, dia sudah mencomot tempe bacem dan mencoleknya ke sambal menunggu jawaban Bunda.
“Kamu juga, bukannya tadi mau makan siang dengan kekasihmu?”