Minta Maaf atau Hukuman?

1264 Words
Ini sudah tidak beres. Pasti ada yang aneh dengan sikap Pak Alvin. Lalu, aku pun keluar dari mobil itu. Tidak peduli dengan gelap yang penting cahaya rembulan masih setia ada menemaniku, dengan wajah sebal aku berjalan-jalan terburu-buru. "Kamu mau ke mana? Yakin, mau jalan kaki." Dia pikir aku akan berhenti dan balik badan. Tidak mau, bisa-bisanya dia melontarkan pertanyaan yang membuat aku sebal dan ingin kucakar wajahnya. Tanpa mengindahkan panggilan Pak Alvin. Aku pun terus berjalan dengan bantuan sorot senter dari ponsel. Aku terus berlari sekencang-kencangnya. "Kamu mau ke mana?! Tunggu." Napasku tersengal bersama perasaan yang berkecamuk dalam hati. Harusnya dia itu bisa jaga sopan-santunnya, bukan seperti ini. Bertanya perihal ranjang yang sampai detik ini, aku belum merasakannya. Saking terburu-buru. Aku terjatuh tersandung, kakiku terkena batu di tengah jalan. Otomatis aku mengecup jalanan yang beraspal. Sialan, malam apa ini? Sampai aku harus berjalan menerobos keremangan. Rasanya perih sekali. Aku berdiri sambil menyeret kaki kiriku yang terasa sakit lalu terduduk di sisi jalan, berhubung di sana juga belum ada kendaraan lain lagi yang melintas. Kupejamkan mata sembari mengusap kaki kiriku. Kakiku benar-benar sakit sambil meringis menahan nyeri. Lalu aku merogoh ponsel dan menghubungi Adiba. Tiba-tiba tangan kekar langsung meraih telapak kaki kiriku. Aku terbelalak dan menatap muka Pak Alvin yang kini sudah ada di depanku begitu saja. "Kenapa kamu takut melihat saya? Saya nggak akan gigit." Kulihat tangannya sembari mengusap-usap kaki kiriku yang rupanya terkilir. Lelaki itu cerocos tegas sambil meraup tubuhku. Otomatis aku menolak sambil memukul-mukul dadaa bidangnya. "Lepasin, Pak. Jangan messum!" "Emangnya siapa yang messum? Pikiranmu aja yang perlu diupgrade." "Lah, tadi Pak Alvin, nanyain teman ranjang. Kalau nggak kayak gitu mau apa coba?" timpalku sambil terus berupaya melepaskan diri dari cengkraman seorang Pak Alvin yang masih bersikap dingin dan datar. "Kalau masih marah-marah nggak jelas. Kamu saya pastikan di sini sendirian dan jarak ke tempat kemah masih jauh. Mau jalan kaki emangnya?" "Nggak apa-apa jalan kaki juga," balasku sambil memeletkan lidah. Oh, ya ampun. Aroma maskulinnya menguar saat kuhirup wangi parfum sungguh kuat dan menenangkan, siapa pun wanita yang dekat dengannya dan menghirup wangi parfum Pak Alvin ini. Pasti akan terbuai dengan harum tubuh lelaki tampan yang tengah membopongku. "Lebih baik kamu duduk cantik." "Tapi, jangan macam-macam." "Lagian siapa yang mau sama kamu? Pede banget. Mendingan kamu ngaca diri, dulu. Lelaki mana yang mau sama Miss kentut? Nggak habis pikir bagaimana kalau saat di ranjang?" Lalu kulihat dia menyodorkan jaketnya, tetapi aku menggeleng pelan. Namun, Pak Alvin langsung menaruh jaketnya menutupi area depan tubuhku. "Agar nggak dingin. Kasihan nanti minta dihangatkan. Tapi, saya nggak berselera sama kutilang kayak kamu." Apa? Dia mengejekku berucap seperti itu. Namun, aku diam seribu bahasa sambil melipat kedua tangan di atas perut. Pura-pura tidak mendengar sambil membuang muka. Untuk lihat mukanya saja aku tidak sudi. Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengan Pak Alvin malam ini? Kulihat dengan sudut mataku. Tampak sekali dia sumringah sambil menyetir kembali dengan kecepatan lambat. Saking lambatnya, kalau ada siput berjalan. Pasti menang Mr. Siput. Sungguh membosankan satu mobil dengan Pak Alvin. Dia benar-benar berbeda sekali dengan Fahri. "Miss kentut!" Sontak aku terlonjak dan terbangun. Sambil mendorong tubuh Pak Alvin yang tepat sudah ada di depan mataku. Bagaimana tidak kaget coba? Saat mata terbuka yang tampak hidung Pak Alvin seperti perosotan anak TK jelas tepat di depan muka dengan aroma mulutnya yang menurutku segar, bila dibayangkan mulutnya itu seperti mengeluarkan asap putih es batu yang mampu membuatku nyaris saja terhanyut. Namun sayangnya, dia teriak tepat di depan muka. Membangunkanku dengan cara yang kasar dan mengejutkan. "Kamu itu nggak di mana-mana tidur." "Maaf, Pak." Langsung refleks kutarik jaket Pak Alvin. Terasa ada iler di sudut bibirku, langsung kujadikan lap saja jaket Pak Alvin yang menjadi penghangat tubuhku sementara waktu sedari tadi. "Arabella!" "Dalem, Pak Alvin." Aku tersenyum simpul sembari menjawab. Seperti tidak berdosa, aku langsung turun dari mobil. Tampak di depan muka, kalau dihitung dengan jari ada sepuluh tenda di sana. Lekas aku menghambur mendekati teman-temanku yang sedang mengadakan acara bernyanyi dan bermain gitar ditemani api unggun. "Hai, ada Arebella? Apa kabar!" Kupasang wajah semanis mungkin dan melangkah lebar lalu duduk berdekatan dengan temanku yang sedang bermain gitar. Setengah jam kemudian. Aku celingak-celinguk tidak melihat sosok Pak Alvin. Usai aku keluar dari mobil. Lelaki berkulit putih itu tidak tampak batang hidungnya. Di mana dia? Aku menghela napas lega. Lalu aku pun larut mengikuti acara teman-teman yang sedang bernyanyi. Sampai salah satu temanku sebagai pemimpin memberikan permainan. "Cara mainnya gampang. Tutup mata, lalu pukul balon yang berisi air di sana! Jika ada yang bisa memukul balon air itu. Dapat voucher belanja lima ratus ribu. Lumayan 'kan!" "Bella, kamu ikutan. Jago ninju juga 'kan." Temanku sambil menyenggol lenganku. "Apa-apaan, sih. Nggak mau." "Hayolah, buat seru-seruan." "Aku harus pukul balon itu?" Kutatap balon berwarna merah yang menggantung di ranting pohon cemara. Kutelan ludah sembari berpikir. Apakah aku bisa memukul itu?" "Hayo, kamu pasti bisa." Semangat seruan teman-teman membuatku maju dan berdiri. Sial, sekali. Aku menjadi orang pertama yang memukul balon air itu. Kedua mataku tertutup rapat dengan menggunakan kain hitam yang melingkar di kelopak mata. Tubuhku diputar-putar dengan hitungan lima. Kemudian aku dilepas seperti anak ayam yang tengah mencari makanan. "Ayo, Bella!" "Kamu pasti, bisa!" "Miss kentut, kamu pasti bisa. Ayolah!" Suara-suara teman-temanku yang tidak ada akhlaknya. Nama panggungku di kampus Miss kentut. Nasib malang sekali. Orang-orang mempunyai nama panggung bagus. Ini justru jelek yang kudapat. Aku menghentikan langkahku. Merasakan suasana yang sedari tadi ramai dan riuh tepuk tangan bergemuruh. Kali ini, tampak sunyi dan senyap. Tidak ada suara orang-orang yang memberikan semangat. Ingin membuka penutup mata. Tiba-tiba tangan salah satu temanku mencengkram erat tanganku. "Ngapain dibuka?" "Oh, masih lanjut?" Aku terkekeh kecil. "Iya, kamu pasti bisa." "Tapi, kenapa sepi sekali?" Kulontarkan tanya. "Mereka lagi menjadi tim penonton setia." Tanpa ada rasa curiga sama sekali. Aku pun mengangguk pelan dan melangkah lebar menggunakan perasaan menuju di mana balon air itu menggantung di ranting pohon. Tanganku masih mengepal kayu sebesar lengan anak kecil. Senyum mengembang setelah yakin kalau di depanku memang balon. Akan tetapi, saat aku mengayunkan tangan. Terdengar suara orang yang mengeluh kesakitan berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba sebuah tangan kekar menangkap tanganku. "Kalau melakukan ini pakai mata!" bentaknya. Spontan kubuka penutup mata. Lalu melirik ke arah wanita memakai pakaian kasual dengan rambut yang dikucir satu tengah memegangi lengannya. "Lho, ada manusia di sini?" celetukku. "Kamu kurang ajar. Main pukul aja. Nggak lihat gitu." Wanita berkucir satu itu pun geram. "Aku pakai penutup mata. Mana kutempe?" "Tenang," ujar Pak Alvin sambil menarik tangan si wanita yang tiba-tiba muncul ada di tempat ini, jadi bukan salahku kalau dia terluka. Kebetulan Pak Alvin tepat berdiri di depanku dan pandangan kami berserobok. "Adik iparmu ini nyaris saja melukai wajahku yang cantik." "Cantik apanya? Dari sedotan Boba?" balasku sambil memeletkan lidah. Lalu aku mendongak ke atas. Memang di atasku ada balon air yang masih menggantung. "Kamu mau minta maaf nggak? Ini salah kamu." "Minta maaf, sama siapa, Pak?" "Dia itu pacar saya. Kamu harus hormati dia." "Mau ngajar atau mau pacaran, Pak?" protesku sambil berbalik badan. "Hai, Miss kentut!" teriak wanita itu yang menjadi kekasih Pak Alvin. Sontak aku menoleh ke belakang. "Jangan sok akrab sama aku. Orang-orang tertentu aja yang boleh panggil nama panggungku!" bentakku sambil berkacak pinggang. "Tanggung jawab, bajuku ini mahal sobek gara-gara kamu," urainya sambil merengek manja pada Pak Alvin. Aku saja yang melihatnya langsung mengendikkan bahu. "Apa kaitannya? Baju sobek sama pukulan kena kayu ini." Jelas aku membela diri sambil menyodorkan kayu itu yang menjadi saksi bisu. "Mau minta maaf atau kamu saya beri hukuman?!" tegas Pak Alvin. Melihat matanya yang tajam sekali. "Pilih mau yang mana, Arabella?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD