"Kamu nggak apa-apa 'kan?"
"Aku nggak apa-apa," jawabku ketus.
"Kamu ngapain ada di rumah tadi?"
"Motorku hilang dan si Boy yang curi motorku." Aku pun membuka pintu mobil dan bergegas turun dari mobil Pak Alvin.
Sepanjang perjalanan, kami diam membisu. Berkutat dalam pikiran kami masing-masing. Gejolak amarahku amat ada di ubun-ubun, malas banyak bicara. Eh, Pak dosen ini malah mengajak mengobrol dulu saat tiba di depan rumah.
"Lantas kamu datang gitu aja? Kenapa nggak lapor polisi?" protesnya menaikkan sebelah alisnya menukik tajam itu yang kulihat. Pak Alvin ini sudah seperti Jailangkung yang datang tiba-tiba dan nanti pulang dengan sendirinya di kehidupanku.
Kamu berhadapan dan tangannya terulur meremas lenganku dengan kencang. "Lain kali kalau ada apa-apa itu ngomong. Jangan kayak gini, saya itu calon suamimu."
"Lepas, Pak. Itu masalahku dan nggak usah ikut campur. Aku masih menjaga nama baik keluarga Boy. Kalau pemuda itu di penjara bagaimana? Keluarganya akan menanggung malu."
"Kenapa kamu peduli banget sama mereka? Mentang-mentang Alexander itu mantanmu 'kan. Jadi kamu pikir nama baik. Lantas motormu bagaimana, ah?!" bentaknya sambil memelotot.
"Tahu dari mana kalau si Bellek itu mantanku? Eh, Alexander. Lagian ngapain juga Bapak ada di sana?"
"Kamu kira saya nggak tahu tentang kamu. Kebetulan sekali rumah teman saya ada di daerah sana. Eh, malah lihat kamu di depan rumah orang."
"Bella, ada apa ini?" Suara Ibu menegur kami yang tengah berdebat di halaman rumah.
Aku pun mengurungkan niat ingin melontarkan pertanyaan pada Pak Alvin. Padahal ingin kulontarkan, kenapa dia sangat manis sekali di depan Alexander dan Boy? Lalu, aku menoleh sembari mengukir senyum sangat manis. "Nggak ada apa-apa, Bu."
"Ibu perhatikan dari tadi. Kamu bersikap ketus dan judes sama calon suamimu."
What? Ibu jadi merhatiin aku dan Pak Alvin sedari tadi. Kenapa aku tidak menyadari kalau Ibu sudah ada di depan pintu? Pantas saja, Pak Alvin mendadak semanis gulali.
"Iya, Bu. Bella itu dikasih tahu ngeyel. Motornya hilang," celetuknya. Refleks kubungkam mulut Pak Alvin.
Kudekatkan bibirku ke telinganya. "Pak, tolong jangan sampai Ibu tahu kalau motorku hilang."
Lantas aku segera beringsut sembari tersenyum tipis.
"Apa, Bella? Tadi kamu bilang apa? Jangan kasih tahu motor hilang." Suara bassnya memecah gendang telinga siapa pun yang mendengarnya.
Ini agaknya sengaja agar buat Ibu dengar. Disuruh jangan bilang malah sengaja suaranya diperbesar. Mau Pak Alvi apa? Benar-benar Pak Alvin minta dijitak, nih.
"Bella, apa benar motormu hilang?" tanya Ibu bergegas menghampiri kami. Dari sorot matanya tampak cemas dan dari suaranya juga sudah panik.
"Nggak, Bu. Ada, kok." Aku menjawab singkat dan datar. Sebenarnya aku tidak mau melihat Ibu sakit mengetahui motorku hilang. Ibu tahu perjuanganku untuk bayar motor itu tiap bulannya.
"Kenapa kamu harus bohong?" sela Pak Alvin.
Mau tidak mau langsung kucubit sekencang-kencangnya pinggangnya Pak Alvin. Dia tidak bisa diajak kompromi.
"Bella, terus motormu ada di mana?" tanya Ibu.
"Ditaruh di bengkel, Bu."
Kemudian aku melingkarkan tangan kananku di lengan Pak Alvin. Kuapit tangannya bersikap sangat manis kepadanya sembari merebahkan kepalaku di pundaknya. "Pak Alvin, benar 'kan kalau motorku di bengkel."
Tak ada jawaban sama sekali dari Pak Alvin dan kutatap lamat-lamat wajah Ibu yang mungkin masih kebingungan.
"Bel, jangan bohong? Bener nggak kalau motormu di bengkel."
"Iya, Ibu," sahutku.
"Maaf, Bella. Bu, saya pamit pulang dulu. Ada perlu," tukas Pak Alvin sembari mengurai tanganku yang bertengger di lengannya.
"Hati-hati, Pak!" seruku sambil melambaikan tangan.
Kemudian aku balik badan dan terburu-buru melangkah lebar ke rumah. Aku tak mau membuat Ibu sedih. Besok aku harus paksa Boy untuk kembalikan motorku. Suara Ibu memanggil tidak aku indahkan. Maaf, Bu. Aku harus berbohong.
*
Suara alarm memekak telinga. Aku menggeliat sambil merentangkan kedua tangan dan bola mataku membulat sempurna seketika itu juga saat melihat Pak Alvin tengah berdiri di depanku sembari melempar senyum dan melipat kedua tangannya di atas perut.
"Pulas tidurnya?"
"Tunggu, ini kamar siapa?" Langsung aku terlonjak duduk dan berusaha mengumpulkan separuh nyawaku yang tengah jalan-jalan. Setelah sukmaku sudah kumpul baru aku mengedarkan pandangan. Ini kamarku masih lengkap dengan lemari dan meja rias serta alat tempur makeup.
"Ngapain, Pak Alvin. Ada di sini?"
"Mau ajak kamu ke makam. Sebelum kita menikah. Saya bisanya pagi kalau ke makam. Siang harus ngajar."
Kemudian dia tiba-tiba saja duduk di tepi tempat tidur. "Malah bengong, cepat mandi."
"Eh, iya. Pak."
Aku garuk-garuk kepala sambil turun dari ranjang. "Tapi, kenapa harus masuk ke kamarku tanpa izin? Aku nggak suka juga kalau Pak Alvin masuk saat aku tidur."
"Lagian saya sudah tau kalau kamu tidur pasti ileran. Untungnya kamu sudah bangun. Tadi malah mau aku tarik hidungmu agar bangun."
"Enak aja," dumelku sambil mencebik dan berjalan gontai ke arah kamar mandi.
Butuh waktu tiga puluh menit. Aku sudah rapi dengan memakai pakaian kasual. Aku sudah izin akan datang terlambat. Lantas aku beranjak dari kamar dan melihat Ibu tengah mengobrol dengan Pak Alvin begitu sumringah dan akrab sekali.
Aku berdeham memangkas jarak mendekati. "Seru banget, ngobrol apaan?"
"Pak Alvin ceritain soal masa kecilnya. Rupanya nakal juga suka maling mangga tetangga sama kayak kamu."
"Ibu, aku nggak maling. Cuma minta," protesku sambil mengerucutkan bibir dan langsung membuang muka. Betapa terkejutnya saat kulihat motorku sudah ada di depan rumah. Ini seperti mimpi.
"Bu, motorku ada di sini!" seruku refleks sambil menghambur mendekati motorku. Ah, bahagia sekali rasanya hari ini sangat cerah. Lalu, kupeluk motor kesayanganku ini.
"Kayak nggak ketemu satu tahun?" tegur Ibu.
Spontan aku terkesiap dan lekas melepaskan tanganku dari motor. "Ibu, motor ini siapa yang bawa?" Aku beralasan dengan wajah tenang. Padahal sebenarnya aku ingin jingkrak-jingkrak kegirangan karena motorku kembali. Tapi, siapa yang mengembalikan motorku? Apa si Boy atau si Bellek?"
"Kamu harus terima kasih pada Pak Alvin. Dia yang bawa motormu ke sini. Sampai dia sewa mobil pick up untuk bawa motormu."
"Pak Alvin?" Aku pun seperti dicubit ulu hati mencerna ucapan Ibu kalau Pak Alvin yang membawa motorku kembali dengan selamat. Aneh, kenapa bisa dia yang bawa?
Banyak pertanyaan bertengger di benakku. Lalu, aku melirik ke arah Pak Alvin. "Pak, kenapa nggak hubungiku? Harus repot-repot segala. Bawa motorku ke sini."
"Apa sih yang nggak buat calon istri."
"Eleh, modus, bisa saja Pak Alvin," jawabku sambil memicingkan mata.
"Sudah sana kalian pergi. Pak Alvin mau bekerja dan kamu juga 'kan kerja juga." Ibu mendaratkan tangannya di pundakku.
"Iya, Bu. Aku mau ke makam dulu sama Pak Alvin."
Ibu mengangguk pelan. Tiba-tiba saja tangan Pak Alvin menarik tanganku agar masuk ke dalam mobilnya sembari berucap, "Hari ini nggak usah bawa motor. Biar saya yang antar jemput kamu bekerja dan ke kampus."
Apa aku salah mendengar? Atau aku tengah halu kalau Pak Alvin berbicara seperti itu. Namun, dia kini sudah duduk tepat di sampingku dan tangannya terulur memakaikan selt belt. "Pakai ini biar aman. Jangan dulu mati, saya belum menikah denganmu."
"Terus kalau udah nikah. Boleh gitu aku mati, Pak?" hardikku sebal mendengar ucapannya yang seperti itu.
"Iya, biar saya jadi duren. Dan saya bisa dapatkan harta banyak dan bisa menikah dengan tiga wanita sekaligus," timpalnya sambil menyetir mobil. Kulihat dia seperti tidak ada beban mengatakan itu.
Kenapa aku jadi takut seperti ini? Rasanya ada sesuatu yang melingkar di leherku bak kawat berduri. d**a terasa sesak dan sakit saat mendengar ocehan dari playboy cap gajah duduk ini. Cita-cita Pak Alvin mau punya istri banyak. Ya Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam naik ranjang ini? Pasokan oksigenku nyaris saja menipis.
"Pak, aku bisa nawar nggak?"
"Nawar apa, Bella?"
"Sebenarnya Pak Alvin mau menikah denganku alasan amanat atau sebenarnya soal harta? Jawab dulu, Pak. Biar aku bisa nawar."
"Ngapain nanya itu?"
"Terus kenapa motorku bisa Pak Alvin temukan?" Selidikku dengan mata yang memicing tajam.