PART 2

740 Words
Semua itu bermula, di tengah malam, di mana seorang pria masuk ke rumahnya dengan marah. Berteriak meminta sejumlah uang pada sang istri. Padahal dia sendiri tahu bahwa usaha yang dijalani istrinya sedang mengalami penurunan. Seakan tidak peduli pada kata-kata memohon sang istri untuk tidak mengambil sejumlah uang tersebut, karena uang itu akan digunakan untuk biaya kuliah Stella. Josh pergi keluar dan Sarah mengejarnya. Stella terbangun karena keributan itu, namun semuanya terlambat. Saat ia berniat mengejar ibunya, semua itu berjalan seperti putaran film yang dipercepat. Terdengar suara teriakan, darah berceceran di sekitar tempat kejadian, dan Sarah terkapar tak berdaya di tengah jalan. Dengan kesadaran yang hampir hilang, wanita itu menatap putrinya seraya tersenyum tipis, seakan mengatakan pada Stella bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Stella rahu, semuanya tidak pernah baik-baik saja. "Ibu!" Stella terbangun dari mimpi buruk yang telah menghantuinya selama lima tahun, keringat bercucuran di dahinya, ia menatap sekeliling dengan waspada. Saat menyadari di mana ia berada, segera Stella menatap ranjang ibunya. Stella sedang berada di rumah sakit, ia memang sengaja datang pagi sekali untuk mengunjungi ibunya dan ternyata ia tertidur di samping ranjang ibunya. Stella tersenyum tipis seraya tidak melepaskan genggaman tangannya pada Sarah. Sarah Caelan, wanita paruh baya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ia terbaring koma selama lima tahun sejak kejadian kecelakaan tragis itu. Hanya suara alat penopang kehidupan yang menyambut kehadiran Stella. "Ibu, mungkin aku terlalu rindu padamu, hingga mimpi buruk itu selalu menghantuiku. Bu, kembalilah, kumohon!" Ia tahu bahwa sebanyak apa pun ia mengajak ibunya bercerita, hanya suara-suara alat penopang kehidupan yang terdengar. "Baiklah, Bu, aku harus bekerja. I love you." ujar Stella sembari mencium kening ibunya dalam dan lama. Bulir bening jatuh tanpa aba-aba saat Stella berjalan keluar dari ruang rawat inap ibunya. Ia tidak boleh menangis di depan ibunya, meski ibunya terbaring lemah. Karena Sarah akan sangat khawatir bila mengetahui ia menangis. Stella selalu berharap, bahwa saat dia meninggalkan kamar inap itu, ibunya terbangun dari tidur panjangnya kemudian mendekapnya dalam sebuah pelukan hangat. ***** Stella merasa hari ini adalah hari kesialannya, selain hampir telat tiba di kantor, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Ia juga menabrak seseorang di lobby, sehingga membuat dirinya jatuh terduduk. Dan lebih sialnya lagi, saat orang yang ia tabrak itu bertanya dan Sarah mengenal suara itu. "Nona?" bagaimana tidak merasa sial, jika yang baru saja Stella tabrak adalah sang CEO. "Maaf Pak, tadi saya terburu-buru." ujar Stella seraya menerima uluran tangan Alex. Hangat. Itulah kesan pertama yang dirasakan Stella saat tangannya bersentuhan dengan tangan Alex. "Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Permisi." ujar Stella lagi dan pergi meninggalkan Alex sambil berlari, yang masih berdiri di sana. Ada desiran aneh yang dirasakan Alex saat tangannya bersentuhan dengan tangan Stella. Ia baru tersadar bahwa yang menabraknya adalah gadis yang sama yang mengatakan bahwa ia tidak peduli pada Alex dan dialah gadis yang ia tolong semalam. Alex tahu apa yang harus ia lakukan. Alex menekan sebuah nomor di ponselnya, lalu .... "Cari informasi tentang karyawan Edward Corp yang bernama Stella Caelan." Alex mengetahui nama itu dari sapu tangan yang diberikan Stella untuk lukanya semalam. Tanpa menunggu jawaban dari seberang telpon, Alex langsung menutup percakapan di ponselnya. ***** "Stella Caelan bekerja di bagian marketing. Di sudah bekerja di sini selama dua tahun dan proposal yang ia selesaikan selalu menarik minat para klien. Dan empat bulan terakhir ia berhutang sebesar satu juta dollar pada perusahan dan baru terbayar setengahnya. Hutangnya ia bayar dengan sebagian gaji dan bonusnya." Demikian penjelasan panjang lebar Galih, asisten Alex. "Jadi dia gadis yang selalu membantuku memenangkan tender karena proposal-proposalnya itu?" tanya Alex seraya meletakkan tangannya di atas meja kerjanya. "Benar, dia memang sedikit membantu Anda." jawab Galih. "Baiklah." Galih yang sudah tahu akan sifat bosnya segera pergi dari ruangan mematikan itu. Karena ruang kerja Galih penuh dengan intimidasi ditambah tatapan sang pemilik ruangan. Drtt ... drtt .... Ponsel Alex bergetar. Mama calling. "Ada apa?" tanya Alex tanpa basa basi, saat menjawab telpon Mamanya. "Bisa kau pulang sekarang? Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu." ujar Litina, sang Mama di seberang telepon. "Aku masih banyak pekerjaan." Alex paling benci jika membahas hal remeh-temeh yang disebut penting saat ini dengan Mamanya, karena ia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Mamanya. "Hanya sebentar, Tolonglah, Alex." ucap Litina memohon pada anak lelakinya. Karena jika tidak begitu, bisa dipastikan anaknya ini akan tetap keras kepala, sepertinya dirinya. "Hanya sebentar." jawab Alex. "Okay. Mama tunggu." Sambungan telepon langsing dimatikan begitu saja oleh Alex. Kebiasaannya. @@@@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD