Pandi, ayah Ale yang usianya sudah lebih dari setengah abad, terlihat mengenakan baju santai. Kaos berkerah dan celana bahan. Sementara istrinya Erika mengenakan baju terusan dengan rambut yang digerai.
Seminggu sekali mereka biasa makan malam dirumah, agenda wajib ditengah kesibukan masing-masing. Ale yang mengenakan kaos polo berwarna putih dan celana selutut itu sedang menyendok nasi dan lauk ke piringnya. Ada dua pelayan disana yang menata meja makan, lalu pergi ketika Erika mengangguk, merasa sudah lengkap.
Erika meletakkan beberapa lauk ke piring suaminya dan meletakkan di hadapannya. Lalu dia baru menyendok untuk makannya sendiri.
"Kemarin siapa yang sakit Le? Kok ke dokter anak?" pertanyaan Pandi sontak membuat Ale tersedak, Erika menyodorkan air minum dan melotot ke suaminya yang selalu saja berbicara blak-blakan pada putranya itu.
"Anak temen," Ale bersikap cuek sambil menyuap makanan lagi, Pandi tersenyum miring seolah mengejek. Tak perlu ditanya karena Ale yakin sahabat papanya itu yang memberitahu kalau dia ingin berobat disana, saat itu dia menelepon ke Cacha untuk disambungkan ke pihak rumah sakit. Makanya pihak rumah sakit yang langsung meneleponnya dan memberikan pelayan ekstra padanya.
"Iyalah anak temen, toilet kan enggak punya rahim mana bisa hamil?" Pandi tertawa keras diiringi cubitan Erika yang merasa bercandanya tidak tahu tempat.
Wajah Ale memerah namun mulutnya terus mengunyah berusaha melupakan ucapan papanya yang sejujurnya sangat menohok. Sebagai pria tentu dia terkadang ingin menyalurkan hasratnya tapi jajan diluaran bukan pilihannya dan dia tak mau sembarangan melakukan hal itu mengingat bisa berdampak fatal terutama bagi kesehatannya.
"Makanya cari istri! udah mau tiga puluh tahun, belum juga menikah, papa dulu dua puluh tiga tahun udah nikah, masa sih enggak ada yang mau sama kamu?"Ale mendongak dan melihat papanya yang masih memasang tampak seolah meledeknya.
"Papa kenapa jadi cerewet gini ya mah?" Ale mencebikkan bibirnya sementara Erika, mamahnya hanya mengangkat bahu dan terus menikmati santapannya.
"Kamu aja yang enggak tahu, papa sih memang dari dulu cerewet." Erika menyenggol siku Pandi yang terlihat tak terima disebut cerewet.
"Kapan mau ngenalin cewek itu ke kita?" tanya Pandi lagi.
"Papa!" Geram Ale yang disambut gelak tawa papanya, ya dia cukup senang bisa meledek anaknya. Hubungan mereka memang cukup dekat tak seperti keluarga setara mereka yang lainnya yang seolah individualis, sementara Pandi sangat menjunjung tinggi kekeluargaan apalagi dia hanya mampu mempunyai satu anak, itu yang membuatnya sangat menyayangi Ale dan tak ingin membatasi pergaulan maupun kesukaan Ale. Karena dia tak ingin kehilangan anak semata wayangnya itu.
***
Kondisi Justin dan Kay berangsur pulih, dengan pendampingan dari Tyo dan Rista – orangtua Lea. (Dan akhirnya ditulis juga nama orangtuanya siapa? Biar lebih mudah haha *skip)
Hari ini Lea lagi-lagi menjadi model Ale, seperti janjinya kala itu dia akan memakai busana kerja semi formal. Yang banyak di d******i kemeja berwarna cerah seperti baby pink, putih, cream ada juga kemeja hitam. Dan model rok A line, pencil dan sebagainya. Juga beberapa celana bahan.
Lea terlihat tidak setegang ketika foto pertama kali, apalagi Niko seringkali menghiburnya agar dia tertawa. Kali ini Erik tidak ikut karena memang hanya baju kerja wanita saja, Lea pun tidak sendiri, ada dua orang model disana mereka terlihat ramah dan bersahabat, meski sudah menjadi model professional tak jarang mereka ikut mengatur gaya atau cara berbusana Lea.
"Ini semua beneran buat gue?" Lea menutup mulutnya tak percaya ketika Niko menyerahkan sekoper pakaian yang tadi dikenakannya untuk foto.
"Iya Cin, sama designernya katanya buat modelnya aja. Tapi mereka berdua enggak mau, soalnya kan enggak kerja kantoran. Gak kayak lo yang duduk diatas meja, eh dibelakang meja hihi," Niko tersipu sambil menowel bahu Lea.
"Makasih ya Cin," Lea tersenyum sambil memiringkan kepalanya ke arah Niko.
"Senyumnya jangan lebar-lebar Cin, gue takut jadi normal karna jatuh cinta sama elo!" Ucap Niko diiringi gelak tawa yang cukup membahana.
"Dasar gembel!" Lea terkekeh, mereka masih asik bersenda gurau hingga Ale datang dan mengajak Lea pulang bareng.
"Sampein salam buat designernya ya, makasih banyak." Ucap Lea, Ale mengangguk.
"Dipake kalau mau berterimakasih sama dia," Jawab Ale sambil membuka pintu mobilnya. Lea duduk di samping Ale setelah meletakkan kopernya di bagasi belakang.
"Nanti kopernya gue balikin ke siapa?" Ucap Lea menarik seat belt, tangannya beralih ke rambutnya yang digerai dan menguncirnya, memamerkan lehernya yang tampak lebih putih dari sebelumnya.
Ya tentu perawatan seminggu dua kali di Mawar Salon dengan kartu dari Ale sudah mulai membuahkan hasil, kulitnya tampak lebih cerah dan tidak kering, rambutnya saja sudah lebih berkilau meskipun tidak jadi diwarnai karena dia lebih suka warna alaminya.
Ale memandang leher Lea yang terlihat menarik baginya, ingin rasanya dia mengecup dan memberikan tanda merah disana, berlama-lama menghirup aroma di ceruk leher wanita itu sambil tangannya memeluk Lea dan...
"Kok enggak jalan-jalan?" ucapan Lea sontak saja mengagetkannya Ale tergagap lalu membuang pandangan ke arah depan, mengemudikan mobilnya sambil sesekali berdehem menghilangkan canggung yang melanda.
"Tadi lo nanya apa?"
"Koper yang buat gue bawa baju itu nanti balikin ke siapa?"
"Ke gue aja," Lea mengangguk lalu memfokuskan pandangan ke arah jalanan, suasana mendadak sepi, karenanya Ale menyetel radio Petra Fm. Saluran Radio yang selalu diputarnya semenjak mengenal Lea.
Suara pembawa acara di tembang hits 2000-an malam ini terdengar sangat merdu dan familiar, ya Petra Fm memang tidak main – main dalam siarannya karena, dia lagi-lagi memakai Artis yang saat ini sedang top karena lagu solonya.
Tembang hits 2000-an memutar lagu-lagu populer di tahun dua ribuan seperti band Sheila On 7, Ungu, Slank dan lain sebagainya. Karena memang membidik pendengar yang berusia diatas dua puluh lima tahun. Pilihan jamnya pun berada di prime time, setiap malam minggu mulai pukul delapan malam, tepatlah untuk menemani mereka-mereka yang sedang ngapel atau sedang berkendara bersama kekasihnya, seperti Ale dan Lea saat ini. Eh mereka kekasih bukan sih?
Dan lagu pun mulai mengalun, lagu TTM atau teman tapi Mesra yang dulu dinyanyikan Ratu yang kala itu Mulan dan Maia masih dalam satu grup.
"Aku punya teman.."
"Ah ah ah," tiba-tiba Lea menyauti lagu itu sambil memiringkan kepala ke kanan dan kiri.
"Ngapain ngomong ah ah ah gitu?" tanya Ale, meski fokusnya pada jalanan.
"Ngikut nyanyi maksudnya sih, kenapa?"
"Jangan ah ah ah gitu, ish."
"Lah kenapa sih?"
"Jangan pokoknya. Titik."
"Aneh!"
"Bodo!" Jawab Ale sambil menetralkan debar jantungnya, tak tahukah kalau suaranya tadi persis wanita b****i yang sedang mendesah. Bahaya kalau junior Ale bangun hanya dengan suaranya itu kan? Siapa yang mau tanggung jawab coba?
Setelah lagu itu habis, berganti lagu yang lain, namun Lea masih cemberut. Ale pun tak banyak berkomentar dan lebih banyak diam sepanjang perjalanan.
"Enggak nyanyi lagi?"
"Ogah!" Sinis Lea
"Nyanyi lagi biar gak sepi."
"Tadi dilarang?" Lea menyilangkan tangan di depan dadanya.
"Ya jangan ah ah gitu, aneh dengernya," Lea tertawa mulai paham kemana arah bicaranya Ale.
"Makanya otak bersihin biar gak mikir yang kotor-kotor." Ledek Lea, Ale hanya mendengus sebal. Wajar kan berfikiran seperti itu? Apalagi disampingnya ada wanita yang sejak awal sudah ditaksirnya. Salahkah?
***
Erika, mama Ale masuk ke ruang kerja Ale dan duduk di sofa sambil memandangi tumpukan foto hasil jepretan anaknya, lalu Cacha datang membawakan teh Chamomile, konon katanya teh itu bisa memberikan efek tenang bagi siapa saja yang meminumnya.
"Istirahat dulu Al, mamanya dianggurin gini." Ucap Erika, sementara bibirnya tersenyum pada Cacha sekretaris Ale dan dia menggumamkan kata "Thanks," Cacha pamit keluar berbarengan dengan Ale yang ikut duduk disamping mamanya.
"Gimana hasilnya mah?" Ale menghirup dalam-dalam aroma teh itu dan meminumnya secara perlahan.
"Bagus, ini siapa namanya? Dari agensi mana?" Erika menunjuk satu foto dimana Lea tersenyum cerah dengan baju yang di desainnya. Ale mengangkat kedua alisnya lalu menghirup lagi teh tersebut berusaha tak memandang Erika. Hal yang justru menarik Erika untuk mengorek lebih lanjut.
"Dia model?"
"Apa sih mah?"
"Lho mama Cuma nanya aja, kenapa wajah kamu bersemu gitu?" Ale menggaruk kepala dengan jari telunjuknya. Kentara sekali kalau dia salah tingkah.
"Jadi dia wanita yang kamu buatin kartu salon Mawar? Apa dia juga yang bersama kamu dirumah sakit beberapa minggu lalu?" Ale lagi-lagi mengangkat alisnya, tapi kini dia tak bisa menutupi lagi. Dia tahu mamanya bukan tipe yang suka menyewa detektif untuk tahu berbagai informasi, tapi mamanya ini adalah seorang yang sangat mengenalnya yang pasti sudah lama curiga dan lebih memilih menyimpan semua informasi yang dia peroleh sendiri dari gelagat sang anak.
"Ya,"
"Then,"
"Ya kami berteman saat ini, dia single parent. Masih proses cerai tapi sudah sidang dua kali tinggal nunggu akta cerai aja. Dan... dia gak tahu kehidupan Al yang sebenarnya." Kening Erika tertaut.
"Maksudnya,"
"Yang dia tahu, Al itu hanya karyawan biasa yang bekerja sambilan jadi fotographer. Just it." Ale menggigit bibir bawahnya. Erika mengusap kepala putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.
"Why?"
"Al enggak mau dia minder, dia berasal dari keluarga biasa-biasa aja, meskipun Al yakin dialah wanita terhebat nomor dua setelah mama yang Al kenal di dunia ini." Erika tersenyum, bisa-bisanya si anak ini menggombal di tengah curhatnya.
"Kasih tahu dia nak, sebelum terlambat."
"Ya, nanti.. enggak sekarang."
"Mamah ngerti, Yaudah kamu lanjut kerja ya, mamah mau bawa foto-foto ini untuk di cetak ke tabloid kita," Ale mengangguk setelah itu dia mencium kedua pipi mamanya.
Sepeninggal Erika, Ale berdiri menghadap kaca yang memperlihatkan pemandangan jalan raya depan perusahaannya. Tangannya dimasukan ke saku celana. Sementara pandangannya lurus kedepan.
Dia sadar tak mungkin menutupi hal ini dari Lea terus-terusan, tapi dia takut Lea akan menjauhinya. Dia tahu Lea bukan tipikal cewek matre yang setelah tahu kekayaannya akan bertekuk lutut dan mengejarnya kemanapun. Lea justru bisa bersikap sebaliknya.
Lagi-lagi Ale menarik nafas panjang, benaknya berfikir kalau lebih baik Lea menjadi cewek matre saja biar dia lebih mudah mengungkapkan jati dirinya. Dan mungkin lebih mudah memikat Lea. Karena beberapa bulan belakangan mengenal Lea, sikap wanita itu masih sama terhadapnya. Tak ada yang berubah, Lea masih menganggapnya teman biasa. Tidak lebih!
***