Tujuh

1693 Words
Ale menepati janjinya untuk membawa Lea beserta kedua anaknya naik mobil Van milik Papanyanya yang diakui milik bosnya, tidak berbohong juga sih karena memang Papanya masih bekerja aktif disana dan dia masih berstatus bawahannya. Sebuah Van bermerk Klassen buatan Jerman sudah bertengger di depan rumah Lea, sempat membuat beberapa orang yang lewat berdecak kagum karena baru melihat mobil mewah seperti itu. Yang membuat Lea terkejut adalah, Ale tidak menyetir karena mobilnya di setiri oleh driver lain, yang entah siapa? Lea tak ingin terlalu ikut campur, yang dia tahu Ale bilang dia juga ingin duduk di belakang. Justin berkali-kali mengucapkan kata "Wah, Wah," sementara Kay yang memang belum mengerti hanya duduk sambil menggoyangkan badannya, menikmati nyamannya jok yang kini didudukinya. Mobil pun mulai berjalan, Ale menyalakan saluran televisi yang memutar acara kesukaan Justin, dia sudah mempersiapkan itu dari semalam, untuk anak-anaknya ups maksudnya calon anaknya kelak, itu juga kalau Lea menyukainya. Wajah Ale mendadak bersemu memikirkan hal itu. "Kenapa lo?" Lea melihat gelagat aneh Ale. "Hah! Enggak kenapa-kenapa." "Justin, jangan di pegang-pegang itu ntar lecet kasian omnya ganti rugi," Justin menarik tangannya dari tombol tablet yang tadi sempat ingin dipegangnya. "Gak apa-apa, nih Justin begini cara kerjanya." Ale memajukan tubuh di dekat Justin dan mulai mengoperasikan tablet dalam pegangannya, mulai dari mengatur suhu AC, mengatur kursi dan juga beberapa barang, yang membuat Justin semakin terkesima. Sementara Kay sudah asik dengan dunianya, karena Ale memang menyiapkan beberapa boneka barbie dan perlengkapannya di mobil itu. Perjalanan yang cukup panjang itu tak terlalu terasa, karena fasilitas mobil yang sangat mewah yang membuat siapapun nyaman. Mobil van mewah Ale sudah terparkir di pelataran Jungle Land Bogor, mereka akan bersenang-senang menghabiskan waktu disana sebelum pulang kerumah sore hari. Terlihat Ale yang sangat kompak dengan Justin, bahkan sesekali dia menggendong Kay yang terlihat kelelahan. Kay bahkan mencium pipi Ale ketika mereka pulang dan Ale memilih ikut dengan driver yang mengemudi Van itu, dia duduk di depan sambil menyerahkan tip karena hari ini Drivernya sangat menurut dengan tidak membocorkan rahasianya. Driver bernama Agus, berusia empat puluh tahun itu hanya tersenyum senang ketika lembaran-lembaran merah bergambar Presiden pertama RI itu berpindah ke dompetnya. *** Empat hari ini Ale sangat sibuk dengan urusan pekerjaannya, Pak Pandi , papanya Ale sudah mulai memberikan beberapa tugas tambahan untuknya, dengan dalil Ale akan lebih menguasai usahanya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, baru saja Ale mengambil handphonenya sambil menunggu makanan pesanannya datang, matanya membelalak melihat chat Lea setengah jam lalu. Bisa-bisanya dia tak mendengar suara notifikasi penting itu. Lea meminta tolong padanya, untuk bisa mengantarkan dia dan kedua buah hatinya ke rumah sakit, karena sepertinya Justin dan Kay demam setelah pulang dari Jungle Land kemarin. Orangtua Lea tidak ada karena harus menghadiri acara pemakaman salah satu saudaranya di luar kota, dia hanya sendiri dirumah dengan dua anak sakit yang tentu saja tak akan bisa membawanya sekaligus dengan motor apalagi tubuh Justin terlihat lemah. Dia juga tidak bisa meminta tolong pada Randy karena pria itu sedang keluar kota, untuk launching salah satu album dari band yang di sponsori Petra Fm, tempat mereka bekerja. Dan secepat itu pula Ale menyambar jasnya dan keluar dari ruangan, berpapasan dengan Cacha yang membawa baki makanannya. "Pak Ale mau kemana? Bapak kan belum makan dari tadi siang pak?" "Saya ada keperluan urgent Cha," Ale mengibaskan tangannya sambil terus melangkah menuju lift dengan tangan yang berusaha memasang kancing jasnya. Karena biar bagaimanapun sebagai petinggi perusahaan, dia perlu untuk menjaga penampilannya di depan seluruh karyawan yang mungkin akan bertemu dengannya. Sampai parkiran, Agus membuka pintu mobil untuk Ale, tapi Ale menggeleng dan mengambil kunci mobil di tangan Agus, drivernya itu karena dia ingin membawa sendiri mobilnya. Dengan terburu-buru Ale memutar kendaraannya dan membawa mobil keluar dari parkiran menuju rumah Lea. Rasa khawatirnya sudah memuncak tak perduli pekerjaan yang ditinggalnya, tak perduli cacing di perutnya sudah demo minta makan. Yang dia perduli hanya satu, pergi secepat mungkin membawa Lea dan kedua anaknya menemui dokter. Sesampainya di depan rumah Lea, Ale segera menghampiri Lea dan menggendong Justin, dia membawa justin ke kursi belakang mobil dan merebahkannya disana. Tubuh justin terasa sangat panas. Sementara Lea duduk di kursi belakang juga atas permintaan Ale yang merasa bahwa Justin juga membutuhkannya disampingnya. Jadilah Ale seperti Driver yang duduk di depan, mengemudi mobilnya mengikuti instruksi Lea. Sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar tak jauh dari rumahnya, Ale lagi-lagi menggendong Justin sementara Lea menggendong Kay, Ale mengikuti langkah Lea yang terlihat sudah akrab dengan rumah sakit itu. Mereka sampai di sebuah ruang tunggu dokter anak. Terlihat ruangan itu sudah penuh sesak dengan banyak sekali anak-anak yang sakit. "Lo udah daftar sebelumnya kan? Ini kok rame banget begini?" "Udah ini dapet nomor empat puluh dan empat puluh satu, ya namanya juga pake BPJS ya begini harus antri," "Empat puluh?" Mata Ale melotot, dan seorang suster nampak memanggil nomor urut tiga. Gila! Masih tiga puluh tujuh orang lagi ke urutan anak-anaknya Lea. Tak lama nomor urut Lea dipanggil, bukan untuk periksa pasien, tapi untuk pemberkasan. Ya sebagai pasien BPJS biasanya mereka mendapatkan dua kali panggilan, yang pertama untuk pemberkasan, mengecek apakah dokumennya lengkap dan valid, lalu panggilan kedua untuk periksa. Belum lagi mereka juga harus antri di ke farmasi lalu loket kasir untuk pengecekan kepesertaan dan kesediaan obat, baru ke farmasi lagi untuk mengambil obatnya. Justin duduk di kursi samping Ale, sementara Kay duduk di pangkuan Ale. Melihat mata-mata orang yang memandanginya lekat membuat Ale gamang dan salah tingkah, beruntung dia sudah melepas jasnya sebelum menjemput Lea tadi. Ale merogoh handphone di kantongnya dan menekan satu nomor, panggilannya berakhir ketika Lea sudah menyelesaikan administrasi dan duduk di sampingnya. "Udah nomor berapa?" tanya Ale sambil mengunci handphonenya. "Baru enam," Ale menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, matanya melirik ke jam dinding, sudah hampir setengah jam dan baru enam pasien yang masuk ke dalam. Sangat membuang waktu kan? Handphonenya berdering diapun langsung menekan tombol hijau. "Iya, baik saya kesana sekarang." Lea menoleh, melihat Ale yang memasukkan handphonenya dan menyerahkan Kay ke gendongan Lea. "Lo,, mau kemana?" "Ayuk, kita ke ruangan lain." Ale menggendong Justin dan mengajak Lea untuk keluar dari ruangan penuh sesak itu, Lea berniat menolak tapi melihat mata tajam Ale yang nampak tak ingin dibantah membuatnya menurut. Sampai dalam Lift yang membawa mereka ke ruang periksa lain, Ale akhirnya membuka suara, "Gue punya asuransi yang bisa dipakai di rumah sakit ini, jadi kita bisa lewat jalur khusus, oke! sekarang kita langsung temuin dokter anak yang lain ya, yang lebih berpengalaman disini. Dan stop melototin gue kayak gitu." Ucap Ale sesaat sebelum pintu lift menuju ruang VIP terbuka. Tak seperti ruang periksa yang tadi, ruangan ini terlihat sangat mewah dengan fasilitas lengkap di dalam satu ruangannya. Justin segera di rebahkan di ranjang dibantu oleh seorang perawat. Lalu seorang dokter pria yang terlihat cukup tua karena rambutnya sudah penuh uban masuk kedalam dan mengangguk pada Ale. Dokter itu memeriksa Justin, dan setelah Justin diperiksa, dia bergantian memeriksa Kay. Setelah itu Kay yang tertidur di gendong oleh seorang suster, sementara Justin masih tiduran di kasur. "Saya lihat tenggorokannya sudah mulai infeksi dan memerah, anak ibu dua-duanya kena cacar. Apakah habis dari tempat umum belum lama ini?" tanya dokter itu sambil membuka kacamatanya yang menggantung di lehernya. "Kami dari tempat wisata beberapa hari lalu dokter," Jawab Lea. Dokter itu mengangguk paham dan tak lama seorang suster membawa berkas Justin dan Kay yang tadi sudah berada diruang periksa awal. Dokter membuka catatan itu dan menuliskan beberapa coretan mengenai diagnosa dan sebagainya. "Imunisasinya bagaimana bu? Lengkap kan?" "Lengkap dokter, bahkan beberapa bulan lalu juga mereka imunisasi MR," jawab Lea, sementara Ale hanya duduk disampingnya mendengarkan. "Baguslah bu, jadi penyakit yang mereka derita itu tidak terlalu parah, mungkin terkena oleh anak yang sempat bersinggungan di tempat itu, atau bisa jadi dari sekolah juga. Ibu tidak lagi hamil kan?" Lea menggeleng, "Virus ini cukup berbahaya jika menyerang ibu hamil karena berdampak pada janin yang dikandungnya, bisa menyebabkan, buta, tuli dan kelainan lainnya." Lea menggidik ngeri, membayangkan jika terkena virus itu, kasian janin yang tidak tahu apa-apa namun terkena penyakit itu. Lea merasa sudah tepat pemerintah mewajibkan imunisasi bagi para bayi dan anak saat ini. terlepas dari pro kontra mengenai vaksin, sebagai ibu yang dia tahu adalah dia harus melakukan pencegahan, penanganan cepat untuk buah hatinya sebelum terlambat. "Ini saya kasih obat untuk seminggu ya bu." "Kenapa enggak dirawat aja dokter?" tanya Ale melihat kondisi Justin dan Kay yang tidak ceria. "Sebenarnya masih bisa dirawat dirumah hanya saja belum boleh keluar dari rumah atau bersinggungan dengan orang lain dulu agar tidak menulari yang lain. Tapi kalau memang mau dirawat disini ya tidak apa-apa, nanti saya berikan rujukan, bagaimana?" Lea menatap Ale yang hampir saja mengucapkan kata rawat inap, kalau dia tidak buru-buru memberinya kode dengan menggeleng. "Tidak perlu dokter, dirawat dirumah tidak apa-apa kan?" Lea bergantian menatap dokter dan Ale yang masih terlihat ingin protes. "Tidak apa-apa, saya lihat anak ibu masih bisa menelan makanan kan? Hanya saja mungkin karena kondisinya masih lemah, setelah minum obat, istirahat yang cukup juga akan berangsur pulih." Dokter itu menyerahkan selembar catatan ke seorang suster yang ada di dekatnya dan suster itu pun bergegas keluar. "Tunggu obatnya disini saja ya, nanti diambilkan suster." "Boleh seperti itu dok?" Lea menatap takjub pada dokter yang kini sudah tersenyum itu, luar biasa. Tak pernah sebelumnya dia merasakan diperlakukan se-spesial ini. hebat sekali asuransi Ale yang bisa mengcover orang lain dan dengan pelayanan spesial pula. Apa Ale ini marketing asuransinya ya? Benak Lea dipenuhi spekulasi antara Ale yang jadi marketing, atau bekerja di perusahaan asuransi. Tak ada sedikitpun pikiran bahwa pemilik rumah sakit ini adalah sahabat dari Pandi, ayah Ale. Yang memungkinkan dirinya diperlakukan spesial seperti ini. "Kenapa bengong?" Tanya Ale ketika mobil yang mereka kendarai sudah keluar dari rumah sakit. Harusnya mungkin mereka masih menunggu antrian di dalam, tapi berkat Ale bahkan mereka sudah bisa melenggang dengan nyaman keluar dari rumah sakit. "Mau tahu lo pake asuransi apaan? Bayarnya pasti mahal sebulannya ya? Bisa dapet fasilitas VIP gitu?" Justin meminta tiduran di belakang sendiri, jadilah Lea duduk di kursi depan sambil memangku Kay yang juga tertidur. Ale hanya mengedikkan bahunya sambil berucap, "Rahasia," lalu bibirnya tersenyum simpul melirik Lea yang nampak masih dipenuhi tanda tanya. *** bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD