8. Kecupan Ringan

1407 Words
“Elu yakin yang nemenin elu itu cewek, Rex?” Jon sepertinya masih meragukan Rex. Ia duduk bersila di atas kursi Lusi. Sudah mirip Mbah Dukun. “Yaelah, nanya lagi.” Nada kesal terdengar menyertai jawaban Rex. “Mungkin malam ini dia lagi cuti.” “Tuh cewek sebenarnya beruntung bisa nemenin elu, Rex. Jarang-jarang ada cewek yang bisa deket sama elu, kecuali elu yang deketin duluan kayak si Emily,” celetuk Bosi dari seberang meja. Huft! Rex mengembus napas lega setelah mengelap meja Lusi yang menjadi bagian akhir dari tugasnya malam itu. “Gue sebenarnya alergi kalau suruh deketin cewek duluan, tapi si Emi beda, Bos. Dia tuh spesial banget.” “Terus, kapan elu mau nembak dia?” Pertanyaan Jon membuat Rex senewen. Jon sudah tahu Rex paling susah ngungkapin isi hatinya. Dari orok sampai segede itu, Rex hanya sekali pacaran dan tanpa acara tembak-tembakan. Tiba-tiba jalan bareng gitu aja. Dua kali jalan ke mall bareng temen-temen yang lain dan sekali waktu jalan berdua ke Gramedia untuk membeli buku. Itu pun waktu dia SMP. Eh, apakah itu bisa disebut pacaran? “Hari Minggu besok. Kalau enggak kesiangan,” jawab Rex asal. Jon menurunkan kaki lalu meletakkan sikunya di atas meja menopang dagu. “Serius lu?” “Dua rius. Beneran. Gue ada janji nge-date sama dia hari Minggu besok. Semoga nanti gue bisa nembak dia,” kata Rex antusias. Bosi ikut menopang dagu. “Kok si Emi enggak bilang-bilang ke gue ya mau nge-date sama elu?” “Lha, apa hubungannya sama elu, Bos?” sambar Jon. “Si Emi kan sepupu gue. Biasanya sih dia suka curhat sama gue.” Bosi menimpali sambil menarik tangannya dari meja ke pangkuan. Rex mencebik. “Kepo lu ah.” Setelah tugas Rex selesai, ketiganya memutuskan untuk pulang. Karena besok hari Sabtu dan tidak ada jam kuliah, Jon dan Bosi berencana menginap di rumah Rex. Rex sengaja menghentikan laju mobilnya tepat di depan bekas gedung pemerintahan yang sedang direnovasi. “Guys, di sekitar sini nih rumah tuh cewek. Kemarin gue nganter pulang dia soalnya.” Rex menjelaskan pada kedua sobatnya. Jon yang duduk di samping Rex celingukan. Ekspresi wajahnya kalau di tempat yang terang akan terlihat seperti orang kebingungan tingkat dewa. Berhubung hanya cahaya temaram nyaris gelap yang menerangi ruang dalam mobil, jadi tidak kelihatan. “Mana ada rumah, Rex? Bukannya di belakang gedung ini area pemakaman?” Nada ketakutan terdengar dari pertanyaan Jon. “Bukan di belakang gedung ini. Tuh, di belakang warung ....” Ucapan Rex melayang ketika setelah ia menyerongkan posisi duduknya ke kiri dan menoleh ke belakang. Di mana warung burjonya? Tanya Rex dalam hati. “Warung apaan sih lu? Orang toko-toko di mari sudah pada tutup semua. Lagi pula, enggak ada warung burjo,” bantah Bosi yang ikut menoleh ke belakang. Rex tetap berpikir rasional. Warung burjo yang ada diingatannya mirip warung-warung pecel lele beratap terpal yang mendadak didirikan saat mau launching barang dagangan. “Lagi libur juga kali tuh tukang burjo. Mau weekend-an dia juga.” Aneh. Kenapa semuanya serba bersamaan? Pikir Rex. Namun, masa bodoh dengan semua itu. Mau kedua sobatnya percaya atau tidak, ia toh sudah mengatakan hal yang sebenarnya. ○○○ Sabtu kelabu sudah terlewati, kini Rex berusaha meraih hari Minggu yang penuh rindu. Rindunya pada Emily sudah menggebu-gebu. Pagi-pagi sekali Rex sudah bangun. Ia tidak mau terlambat walaupun sedetik saja untuk menjemput Emily. Rex galau memilih outfit untuk kencan pertamanya dengan Emily. Ia hampir mengeluarkan seluruh pakaiannya dari walk-in closet. “Pakai saja yang menurut kamu nyaman, Rex.” Saran Andrew sambil berjalan menghampiri Rex. “Tapi kan harus match juga, Pa.” Rex masih sibuk memadu dan memadankan pakaiannya. “Kamu udah ganteng dari lahir, Rex. Mau pakai baju apa saja, pasti kamu kelihatan keren.” “I know it, Pap,” ucap Rex percaya diri. “Rex hanya mau yang spesial hari ini. This is my first date.” Andrew berdiri di ambang pintu ruangan khusus tempat pakaian Rex sambil menguburkan tangan di saku celana kargo pendeknya. “Cewek itu lebih tertarik sama cowok yang bersih dan wangi. Percuma pakai baju branded kalau bau ikan. Satu lagi—“ “Apa tuh, Pa?” potong Rex. “Cewek lebih suka sama cowok yang bilang, ‘aku yang bayar’ daripada cowok yang cuma nanya, ‘sudah makan atau belum?’” “Jiaaah.” Rex menepuk dahinya. “Kalau itu mah Rex juga tahu, Pa.” “Pakai baju yang biasa kamu pakai dan bersikap seperti biasa aja. Jangan berlebihan. Kalau cewekmu suka kamu apa adanya, berarti kamu tidak salah pilih.” Rex meletakkan tangan di atas pelipisnya memberi hormat, “Siap, Komandan!” Andrew mengangguk-angguk. “Good.” Dengan persiapan matang dan semangat 45, Rex tiba di rumah Emily lebih cepat 40 detik. Cool, kencan pertama tidak boleh sampai telat. Emily tampak imut dengan setelan babydoll berwarna merah muda dan rambut di kepang dua ala Anna Frozen. Kece banget deh cewek gue. Bibir Rex mengembangkan senyuman bangga. Gadis terkece di kampus akhirnya jalan bareng sama dia. Tanpa banyak basa-basi Rex dan Emily langsung tancap gas menuju mall. Namun, Rex terlebih dahulu meminta izin kepada mamanya Emily sebelum pergi. Etika itu nomer satu. Pria sejati tidak akan membawa pergi anak orang begitu saja. “Kita mau nonton apa, Em?” tanya Rex saat mereka berdiri di eskalator menuju ke lantai tiga ke tempat bioskop berada di mall tersebut. “Apa saja asal jangan nonton film horor.” “Oke.” Hari Minggu bioskop lumayan ramai. Apalagi, isinya rata-rata anak baru gede. Beli tiket pun harus mengantre. Rex paling anti antre. Namun, ia rela berdiri berpuluh-puluh menit demi terwujudnya cita-cita yang sudah sekian lama ia coba raih. Waktu nonton masih tiga puluh menit lagi. Emily mengajak Rex untuk berkeliling mall, window shopping. Rex sih menurut saja. Ia bisa apa untuk menolak? Demi cintanya yang segede dinosaurus pada Emily. Lebay. Sampai tiba waktunya film akan segera diputar, Rex dan Emily masuk ke bioskop. Banyaknya penonton dan antrean tiket yang cukup panjang membuat mereka kebagian tempat duduk di deretan paling belakang. Sumpah demi kegantengannya yang hakiki, Rex merasakan bosan yang teramat sangat menyaksikan drama romantis dalam film tersebut. Bukan Rex banget nonton film cinta-cintaan. Rex sesekali menyesap minumannya lalu mengunyah popcorn lagi dan lagi. Waktu terasa sangat panjang dan lama menanti film itu selesai. Salahnya yang menyetujui usulan Emily untuk menonton film itu. Tidak tahan dengan cerita monoton yang disuguhkan film itu, Rex berniat ke toilet untuk menenangkan diri barang sebentar saja. “Em.” “Rex.” Emily dan Rex saling memanggil dalam waktu hampir bersamaan. Niat yang sudah sebulat bola basket di kepalanya mendadak ambyar melihat wajah Emily dalam kilatan cahaya yang terpancar dari layar bioskop. “Kamu mau ngomong apa tadi?” desis Emily sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Rex. Aroma vanila yang manis dan hangat napas Emily di telinganya membuat jantung Rex berdegup dua kali lebih kencang. Darahnya dengan cepat mencapai kepala dan membuat seluruh saraf dalam tubuhnya menegang. “Mm, enggak. Enggak apa-apa,” jawab Rex gugup. “Bohong. Kamu tadi mau ngomong sesuatu, ‘kan?” desak Emily. Nyerah deh. “Iya,” desis Rex nyaris tak terdengar. “Apa?” Apa ya? Otak Rex mendadak blank. “Mm ... mm ....” “Apa?” “Kamu mau enggak jadi cewekku, Em?” Ups. Rex spontan nembak Emily. Kini, jantungnya terasa benar-benar mau copot. “Apa? Coba bilang sekali lagi, aku enggak denger.” Emily memaksa. Rex melirik ke bangku di sampingnya mencari tahu apakah mereka yang duduk di sana memperhatikannya dan Emily atau tidak. Syukurlah pandangan mereka tertuju ke layar. Aman. “Kamu mau enggak jadi cewekku?” Rex mengulang pertanyaannya. Emily terdiam selama beberapa saat. Ia seperti sengaja sedang menggantung Rex dalam sebuah penantian yang mendebarkan. Namun, ia bersuara sesaat kemudian. “Enggak, Rex,” cetus Emily. Pundak Rex melorot. Harapannya pupus seketika. Ia butuh ember atau kantung plastik segera untuk menutupi wajahnya karena sengatan rasa malu yang menghanjarnya tiba-tiba. “Aku enggak nolak, Rex,” ralat Emily dengan suara sedikit gemetar. Rex mengembus napas lega. Pundaknya kembali tegak. Tanpa tedeng aling-aling, Rex merangkul pundak Emily dan menarik tubuh gadis itu mendekat. Bahu Emily menempel di d**a Rex. Dan saat gadis itu menoleh serta mengangkat wajah, Rex mengecup mesra bibir Emily. Kecupan ringan yang tanpa nafsu dan hanya sebagai perwujudan rasa terima kasihnya lantaran gadis itu sudah menerima cintanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD