Awal perkenalan kukatakan bahwa aku hampir punya kelebihan yang nyaris sempurna, bukan? Tapi ternyata kenyataan itu tidak selalu benar, tidak sepenuhnya benar. Kini, takdir cinta menggiringku pada sebuah kenyataan yang menyakitkan. Cintaku dan Putri yang awalnya sempurna bak retak begitu saja hanya karena sebuah kenyataan menyakitkan. Entah datang darimana penyakit itu, yang jelas itu benar-benar menghancurkan senyum bahagia kami. Sekarang, kami hanya harus tersenyum palsu demi menutupi luka yang lain. Kami bak memeluk bom waktu yang entah kapan meledaknya.
Pernikahan impianku dan Putri telah maju seminggu dari perkiraan. Kini di penghujung bulan Januari 2015 tanggal 28, Putri telah resmi jadi milikku. Kami resmi menikah sore tadi walau dihiasi air mata. Dan malam ini, kami akan menggelar sebuah pesta resepsi megah tapi rapuh di sebuah hotel berbintang di Kota Malang. Walau awalnya banyak yang bertanya bingung, tapi terjawab ketika ayah mertuaku mengumumkan ke semua pihak. Bahwa Putri sakit dan harus segera menikah denganku. Itu jadi pengumuman yang menyakitkan bagi kami, tapi juga sebuah kenyataan.
Aku berdiri di ambang pintu jati ballroom yang sudah ramai. Para tamu sudah datang untuk menyaksikan prosesi resepsi kami yang kental dalam nuansa biru muda, warna kesukaan Putri. Para pasukan jajar pedang pora juga sudah bersiap dengan tegapnya. Telah kubalut tubuh tinggi ini dengan PDU-1. Istriku yang pucat dan kurus, Putri, telah berada di ruang yang lain di dekat ballroom. Ia telah duduk tenang di atas kursi rodanya. Semua tampak baik saja kendati kami menyimpan luka.
Awalnya aku sempat ingin menunda prosesi ini. Sebab kulihat Putri sudah tak kuat lagi berdiri lama. Tubuhnya yang ringkih sering bergetar hebat dan minta duduk. Sumpah, hatiku telah basah menangis melihat deritanya. Tapi, bibir tetap kupaksa tersenyum agar ia kuat. Ya, dia sangat kuat memacu semangatnya. Ia benar-benar ingin tampil seperti wanita yang sedang berbahagia.
“Putri hanya ingin mengenang sakit ini dalam keadaan tersenyum dan bahagia, Mas,” ujarnya siang tadi yang langsung kubalas dengan pelukan. Kata-kata itu sangat menyakitkan di hari bahagia kami.
“Tidak, kumohon jangan melarangku berkata seperti itu Mas. Putri benar-benar bahagia walau keadaannya seperti ini. Ini adalah momen terindah dalam hidupku. Makanya aku takkan menangis kesakitan. Kelak, kenanglah sakit ini dalam senyuman ya Mas? Mas tidak boleh bersedih,” timpalnya lagi yang membuatku tak lagi bisa bicara.
“Sa, sudah siap?” sebuah suara memecah lamunan sedihku. Kutoleh asal suara dan mendapati ibu mertuaku tersenyum pilu sambil mendorong kursi roda Putri.
Aku tersenyum hangat walau hatiku dingin, “saya sudah siap, Bu. Apa kamu siap, Dek?” tanyaku pada Putri.
“Aku sudah siap Mas,” jawab Putri tegar. Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri dari kursi roda.
“Yakin tidak mau mas gendong saja?” ulangku lagi. Ia menggeleng dan tersenyum jenaka.
“Mana ada pedang pora digendong, Mas? Jalan dong!” jawabnya semangat. Aku tak tega meremehkannya.
Akhirnya aku hanya bisa menurut pada kata-kata Putri. Aku tak lagi meremehkan kekuatannya. Kini kupercaya bahwa Putri sangat kuat menjalani kesakitannya ini. Kugenggam tangannya sekuat mungkin. Kulitnya terasa dingin dan sesekali tremor. Kini, kami sudah berdiri berdampingnya. Sebagai pasangan suami istri yang sempurna. Perlahan musik klasik Beethoven’s 5 Secrets mulai berhenti dan terganti dengan alunan tambur militer. Suasana mulai berubah. Sesekali aku melirik wajah cantik rembulanku.
“Dek, kalau kamu gak kuat, kita bisa naik kursi roda saja,” responku ketika melihatnya pucat dengan keringat dingin.
Ia menggeleng kuat, “jangan Mas. Nanti mas malu punya pengantin sepertiku. Aku ingin tampil sempurna di depan semua orang sebagai istrimu.”
“Kamu bercanda, Dek? Ya gaklah Sayang! Mana mungkin mas seperti itu,” ujarku sambil tersenyum pilu.
“Ya udahlah. Mas percaya sama kamu. Tapi kalau kamu gak kuat, cengkram tangan mas kuat-kuat ya? Mas langsung gendong kamu!” imbuhku tegas. Ia mengangguk kuat. Baiklah, prosesi menyakitkan sekaligus membahagiakan baginya ini dimulai juga.
Kami berjalan perlahan di bawah jajaran pedang yang teracung ke udara. Menikmati alunan musik militer yang menggema tegas mendirikan bulu roma. Menikmati suara nyaring jepretan kamera dan kilatan lampu silaunya. Wajahku datar seperti biasa ketika sedang berseragam. Sementara itu, pegangan tangan Putri di lenganku terasa kuat. Ia terlihat mengeluarkan semua kekuatan yang dimilikinya demi malam ini. Hingga langkah terakhir, ia masih bisa tersenyum demi mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Aku hanya bisa melirik wajah cantiknya, pucat berusaha berseri dan lemas.
“Kamu adalah anugerah terindah untukku, Putri. Aku mencintaimu, sebanyak yang kamu mau. Aku mencintaimu, sebanyak yang kamu tahu.” Aku berucap seperti itu ketika kami berada di tengah formasi payungan pedang.
Ia memandangku lembut, “terima kasih atas segala cintamu Mas. Putri beruntung pernah dan bisa jadi pengantinmu.”
“Ya Tuhan, izinkan aku membahagiakan istriku sampai kapanpun. Ialah permata hatiku. Izinkan kami memiliki cinta yang sempurna,” batinku keras yang hanya terkristal dalam bentuk senyuman hampa.
---
“Kamu gak apa-apa, Dek?” tegurku halus sambil menyentuh punggungnya. Kutemukan Putri sedang bernapas berat di dekat jendela lebar kamar hotel. Keringat dingin membanjiri dahinya.
“Eh, mas darimana?” dia malah bertanya balik tanpa menjawab tanyaku.
“Dari antar kerabat yang mau pulang. Mereka nitip salam untukmu,” jawabku sambil tersenyum. Kupeluk pinggang kecilnya. Rambut panjangnya tergerai wangi.
“Maaf ya Putri gak bisa antar mereka,” ujarnya sambil melekat pada pelukanku.
“Gak apa-apa. Mereka mengerti kok. Kamu tidak lapar?” ia menggeleng kecil.
“Bukankah kamu harus makan sebelum minum obat?” tanyaku lagi, ia menggeleng lagi.
“Rasanya aku tak ingin malam ini berakhir. Malam ini terlalu indah untuk diakhiri dan dilupakan, Mas,” ucapnya mulai aneh.
Aku mengangkat wajahnya, “maka jangan lupakan malam ini, Dek. Ingat selamanya sebagai salah satu malam indah kita. Masuk ke dalam jajaran malam berkesan selain makan bakso di taman Tugu jam 12 malam.”
“Hehe, iya. Kapan ya kita bisa makan bakso lagi di taman Tugu?” mata indahnya berbinar cerah, seperti tak sakit sama sekali.
“Jangan pikirkan itu, Dek. Pikirkan mas saja,” aku memeluknya erat sekali, “maaf mas tidak bisa menepati janji.”
“Janji apa?” tanyanya pelan. Aku menghela napasku berat.
“Janji untuk menciummu ketika bulan sedang bulat-bulatnya. Di tanggal seperti ini, bulan sudah menghilang di balik awan,” ucapku sendu. Ia menggosok punggungku dengan tangan panasnya.
“Untuk apa melakukan itu, bukankah mas sudah mencium rembulannya langsung?” dia menatapku manis. Membuatku tak tahan untuk mengecup bibirnya.
Kami berciuman. Pelan sekali tanpa nafsu berlebih. Bagaimana pula Putri masih seorang pasien. Tak tega aku menjamahnya dengan kasar. Tak ada lagi bayangan malam pengantin seperti umumnya saat ini. Yang ada adalah kami saling melepas rindu itu saja. Toh, malam seperti itu tak penting saat ini. Yang terpenting adalah aku ingin Putri sembuh dan bebas dari penyakit menyakitkan itu. Agar kami masih bisa menikmati malam-malam indah yang lain.
“Aku tidak akan menyakitimu malam ini Dek,” kataku di sela napas kami yang tersengal.
“Kenapa gitu? Tunaikan kewajibanmu, Mas. Putri kuat kok. Putri tak apa. Kata mama Putri tak apa,” ia menegaskan berulangkali padaku. Tapi kenyataan tak bisa berbohong, dari dahinya sudah mengalir banyak keringat dingin.
Aku menggeleng pelan dan mengusap mata indahnya, “tidak Sayang. Masih ada malam yang lain.”
“Esok, belum tentu Putri bisa menikmati malam bersamamu,” aku mulai tak suka mendengar perkataan itu.
“Mas gak suka ya dengar kamu bicara gitu, Dek!” ujarku keras. Aku menghindari tatapan wajahnya.
“Mas, bukankah itu benar? Mas tidak usah bersikap seolah aku baik saja. Sekuat apapun aku saat ini, penyakit ini sudah parah dan susah diobati. Memangnya mas pikir aku gak tahu. Kemungkinan hidupku sangat tipis,” suaranya meninggi, ia menangis.
“Bukan manusia yang menentukan hidup manusia yang lain, Dek!” jawabku merendah.
“Tapi itulah kenyataannya, Mas. Sewaktu-waktu aku bisa kritis dan jatuh dalam koma. Keadaanku makin parah karena daya tahan tubuhku tak kuat. Mau sampai kapan kita menghitung waktu mundur?” tegasnya lagi yang membuat kepalaku penuh.
“Putri! Kumohon jangan berkata seolah kita akan berpisah!” teriakku yang membuatnya kacau. Napasnya tersengal. Ia terduduk di lantai sambil memegangi dadanya. Sesaat kemudian dia terjatuh dalam gelap, pingsan.
“Putri!” seruku keras.
---
Aku duduk menunduk menatap lantai dingin rumah sakit di depan ruang ICU. Pukul 1 malam, Putri masuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lagi. Ia kembali terjatuh dalam sakit di malam pernikahan kami. Yakin malam ini masih masuk ke dalam jajaran malam berkesan? Entahlah…mungkin benar kata Putri, kami sedang menghitung waktu mundur. Tapi, jangan beginilah. Ini benar-benar menyakitkan, aku tak siap kehilangannya. Ini bukan akhir yang indah dari kisah kami.
“Sa, Putri mencarimu,” tegur ibuku sambil melepas maskernya. Aku mendongak dan mendapati beliau sedang menatapku cemas.
“Terima kasih, Ma,” ucapku lesu.
“Jangan memancing emosi dan perkataan yang berat-berat, Sa. Kondisinya belum baik,” pesan ibuku sesaat sebelum aku masuk ke dalam ruang ICU.
Aku mengangguk dan melangkah masuk. Sebelumnya, aku dipakaikan baju lapis agar steril. Sebuah penutup kepala juga sudah terpasang tak begitu rapi. Dengan langkah lesu, kudatangi Putri yang sedang tertidur. Napasnya terlihat kembang kempis beradu dengan suara alat penunjang kehidupan. Apa yang sudah kulakukan padamu, Dek? Aku sudah melukaimu di malam yang indah ini.
“Kenapa kita harus bertengkar di malam yang indah ini sih, Dek? Maafkan mas ya, Dek?” gumamku pelan sambil memegang tangannya yang tertancap jarum infus.
Mata indahnya terkejap perlahan, “mungkin karena kenyataan ini menyakitkan, Mas.”
“Sayang? Kamu gak apa?” serbuku cemas pada Putri yang mulai sadar.
“Aku gak apa-apa, Mas. Cuma sakit, dikit. Berasa digebukin sama orang sekompi,” ujarnya jenaka.
“Siapa mereka? Bilang sama Mas, beraninya gebukin istriku,” kami tersenyum pelan bersama. Tabah.
“Mas, bolehkah Putri meminta sesuatu?” hatiku berdebar setiap istriku berkata seperti itu.
“Minta apalagi? Semua milikmu,” ucapku tabah sambil tersenyum.
“Mas harus janji sama aku, mas tidak boleh marah kalau kita membahas tentang perpisahan. Mungkin memang itu yang terbaik buat kita,” deg, hatiku retak mendengar kalimat itu.
Bibirku bergetar, tak tahu harus berkata apa, “itu sedikit sulit untuk diwujudkan.”
“Mas Aksa, aku tahu waktunya gak banyak. Aku rasa semua sudah dekat mas. Bukannya aku menyerah, tapi aku lelah. Semua ini sangat menyakitkan. Kulitku sudah mati rasa karena terlalu banyak kemasukan jarum. Aku kasihan sama badanku,” keluhnya nanar. Entah apa dia sadar atau tidak kalau sedang berkata seperti ini.
“Dek, sepertinya kamu sedang kena obat tidur ya? Kok melantur gini ngomongnya!” hiburku berusaha biasa.
Ia menggeleng pelan, “tidak Mas. Aku sadar kok. Perpisahan itu kelak memang sakit, tapi percayalah itu yang terbaik buat kita. Bukankah mas mau aku gak sakit lagi?”
“Iya, tapi gak dengan pergi, Dek. Kamu masih bisa diobati. Secepatnya kamu akan mendapatkan operasi transplantasi tulang belakang. Kamu pasti sembuh dan kita pasti bahagia,” hiburku sambil menyentuh puncak kepalanya.
“Iya, Mas. Putri tahu itu sangat bahagia. Tapi, seandainya saja, seandainya kebahagiaan bukan akhir kita, mas harus tetap tersenyum ya? Sebab Putri juga akan pergi dengan senyuman. Sebab Putri sudah bahagia pergi sebagai istrimu,” ucapnya makin menyakitkan.
“Tapi Sayang…”
“Janjilah Mas!” desaknya lagi dengan suara bergetar dan air mata yang mengalir deras.
Dengan berat kepala, aku mengangguk berulang, “I…iya Dek. Mas janji sama kamu.”
“Mas harus semangat dan tak boleh menangis lebih dari semalam. Janji sama aku ya?” apakah ini wasiatmu, Dek?
“Iya Dek. Tapi, kalau mas merindukanmu, bolehkah mas menangis?” ia tersenyum jenaka.
“Badanku hanya berpindah tempat mas. Cintaku tetap di hatimu, selamanya. Jangan menangisiku terlalu banyak ya, Mas? Aku gak mau mata mas sakit,” tutup istriku sebelum aku memeluknya erat.
Tuhan, dapat kekuatan darimana wanita ini? Sampai bisa kuat mengatakan kalimat sepahit itu? Sampai bisa mengatakan kalimat perpisahan di puncak bahagianya, bahagia kami? Apakah ini wasiatmu, Dek? Benarkah kamu akan meninggalkan mas selamanya? Yakin mas bisa menepati janji ini, Dek? Benarkah hanya kematian akhir untuk kita, Dek? Tidak maukah kamu berjuang sekali lagi, demi bahagia kita? Demi mas, demi ayah ibu dan adik, demi calon anak-anak kita yang belum lahir? Rasanya mas tak rela berpisah denganmu, Sayang? Terlalu singkat kemesraan kita.
“Nantinya, mas harus bisa bertemu dengan wanita baik yang lain,” pesannya lagi ketika aku memeluknya.
“Permintaan mustahil apalagi itu, Dek?” batinku pilu. Ia memasang wajah penuh keyakinan.
“Hem…” aku hanya berdehem karena bersuara itu terlalu menyakitkan.
---
Aku terduduk menunduk di bangku dingin rumah sakit masih dalam balutan seragam loreng. Sesekali sambil memutar-mutar cincin emas putih di jemari manis tangan kanan, cincin nikah kami. Sejam yang lalu aku memang izin ke atasan untuk segera meluncur ke rumah sakit. Katanya Putri kritis dan jatuh dalam koma. Entah katanya tadi mau dioperasi atau apa. Aku tak lagi bisa fokus. Sebab hatiku hanya terus menyebut nama Tuhan. Berharap Tuhan memberikan kesembuhan dan kekuatan padanya. Apa memang benar waktunya telah dekat? Secepat ini?
Aku hanya bisa mengamati dokter dan suster yang terus sibuk keluar masuk kamar operasi. Mereka rerata berwajah cemas dan datar. Apakah memang sekritis itu kondisimu, Dek? Haruskah aku melepasmu di sehari setelah pernikahan kita? Rasanya aku tak sanggup melalui hari yang berat ini. Sejak kemarin hingga sekarang bahkan aku tak bisa bernapas lega.
Tes, air mataku jatuh setetes. Tanpa sadar jatuh begitu saja. Sesekali kepalaku memutar ingatan kemesraan mesra kami bertahun, berbulan, berminggu yang lalu. Semua keindahan itu masih jelas tergambar di benakku. Ketika kami menghabiskan waktu di toko buku, di taman kecil depan kesatuanku, di jogging track lapangan Rampal sambil makan jajanan tak jelas, di bangku taman Tugu sambil membicarakan rencana masa depan. Semua terampas oleh kedatangan penyakit terkutuk itu.
Masih kuingat semua ekspresi manisnya. Tertawa manis saat memberiku karangan bunga, di hari Praspa beberapa tahun yang lalu. Tersenyum kuat dan memberiku karangan bunga hyacinth di saat hari pembaretanku beberapa tahun yang lalu. Tertawa sesudah menangis ketika kami bertengkar kecil. Saling menggoda ketika kami rindu dipisah jarak. Tertawa usil ketika pertama kali aku bertemu sang ayah yang galak. Sejuta kenangan manis itu terbingkai rapi di otakku.
Masih kuingat semua ekspresi sedihnya. Menangis kesakitan ketika pertama kali disuntik TT sebelum menikah. Menangis sedih ketika kami berpisah karena jarak. Menangis karena merindukanku. Menangis takut ketika tahu sakit yang dideritanya. Dan tangis itu hanya terdengar sekali. Menangis kesakitan ketika menjalani pengobatan. Menangis tersayat ketika jarum-jarum tajam itu menusuk kulit putihnya. Semua kesakitan itu masih tersirat jelas di benakku.
“Aksa,” suara ibuku memecah lamunan pilu ini, “masuklah. Dia mencarimu.”
“Bagaimana operasinya, Ma?” tanyaku yang hanya dibalas tundukan lesu dari ibuku. Pupus harapankah?
Aku berjalan pelan mendekati ranjang ruang ICU tempat tubuh Putri terbaring tak berdaya. Monitor kecil yang berbunyi dan berkelip-kelip berada di sebelah kepalanya. Ia terlihat lemas dan pucat. Sebuah kantong hitam ada di bawah matanya. Hidung dan mulut yang sangat kusukai itu tertempel masker dan selang oksigen. Bahkan untuk bernapas, ia harus dibantu alat? Dia benar-benar tak berdaya lagikah? Haruskah semenyakitkan ini, Tuhan? Seharusnya aku tak meninggalkan Putri untuk dinas pagi tadi.
“Kondisi Putri benar-benar sudah kritis, Sa. Tubuhnya bahkan sudah menolak pengobatan. Operasi juga tak banyak membantu. Di luar dugaan, sel-sel kanker sudah menyebar ke semua organ vitalnya. Semua tim dokter termasuk mama sudah berbuat yang kami bisa. Tapi, kita harus mulai menyiapkan yang terburuk.”
Kata-kata ibuku mulai terngiang lagi. Barusan kalimat menyakitkan itu kudengar. Sesaat sebelum akhirnya aku masuk ke ruang tempat Putri tertidur. Perlahan, hatiku tak dapat merasakan apapun lagi. Bahkan, aku tak tahu apakah saat ini aku sedang menangis atau terdiam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dengan tangan bergetar, kusentuh puncak kepalanya yang tak berambut lagi. Hanya bisa menggigit bibir sekuat mungkin agar tangisku tak terdengar.
“Sayang, kamu pasti sembuh. Kamu pasti gak sakit lagi,” bisikku lembut di telinganya. Ia tak menjawab dan hanya air bening yang mengalir dari kedua matanya yang terpejam. Mungkin ia masih mendengarku.
“Mas, tidak bisa menepati janji lagi. Boleh kan? Mas tidak bisa melepasmu pergi, tak apa kan?” ia tak menjawab. Hanya air bening yang mengalir.
“Putri, jangan tinggalkan ibu, Nak?” terdengar suara ibu mertuaku yang pilu berada di sisi ranjang yang lain. Ayah mertuaku terlihat jauh lebih kuat sambil menyokong punggung sang istri.
“Sayang, banyak yang ingin kamu sehat. Ayolah buktikan pada mereka kalau kamu kuat. Kata-kata dokter hanya perkataan manusia. Bukan ketetapan Tuhan. Kembalilah pada kami, Dek!” bisikku kuat-kuat.
Namun, alat-alat ruwet itu berbunyi dengan cepat dan nyaring. Monitor kecil itu menunjukkan tekanan darah istriku yang terus menurun. Detak jantungnya juga berubah-ubah. Sebentar cepat, sebentar pelan. Namun, kemudian berkelip kuat lagi dan terdengar suara tuts panjang. Garis lurus terpampang jelas di sana. Tuhan, jangan ambil istriku. Kasihani kami yang mencintainya ini.
Tim dokter dan suster masuk dengan bergegas sambil menyiapkan alat kejut jantung. Sesaat kemudian, alat mirip setrikaan itu ditimpakan pada d**a istriku. Ia terguncang sekali ke udara. Masih tak ada respon. Kemudian, ibuku memberi aba-aba lagi dan menimpa Putri dengan alat itu lagi. Terdengar 1 nada, detak jantung istriku kembali lagi. Sesaat kami bernapas lega. Tapi, kemudian sesak lagi. Putri telah mengalami brain death.
“Alat-alat ini hanya bersifat sementara Pak, Bu, dan Aksa. Itu hanya akan semakin menyiksa Putri,” ucap ibuku dengan tangisan deras. Berat baginya mengatakan itu, mengatakan bahwa menantu kesayangannya tak bisa diselamatkan lagi.
“Putriiiii!” seru keras ibu Mita di pelukan Pak Satya. Pak Satya hanya bisa menangis dan terdiam.
Aku mendekati tubuh ringkih istriku. Bersimpuh di lantai masih dalam balutan seragam loreng dilapis baju steril. Memegang tangannya yang dingin dan kusut. Memandangi sejenak wajahnya yang damai, pucat, tapi tak menyiratkan kesedihan. Memandangi matanya yang terpejam, ia tak lagi menangis. Apakah ini saatnya aku melepasmu, Dek? Haruskah kamu pergi secepat dan seperti ini? Apakah kamu sudah lelah kesakitan dan tak ingin merasakan sakit lagi?
“Dek, kalau kamu memang mau pergi duluan, mas rela. Nanti mas susul adek. Adek yang setia yang nunggu mas seperti selama ini. Adek selalu setia nunggu mas pulang bertugas. Terima kasih sudah hadir dalam hidup mas walau hanya sejenak. Cintamu akan ada selamanya di hatiku, Dek. Pergilah kalau memang itu membuatmu tak sakit lagi. Nanti mas susul. Pertemuan itu tidak abadi sama seperti perpisahan,” ucapku kelu dengan air mata, senyum yang dipaksa, dan suara bergetar hebat.
Mama memeluk punggungku, tangis mertuaku semakin seru, “srek…srek…maafkan mama tidak bisa membantumu Nak. Maafkan mama ya, Nak?”
“Tidak Ma,” jawabku pendek sambil masih bersimpuh berusaha tegar, setegarnya.
“Pergilah Nak. Maafkan ayah karena sering memarahimu. Maafkan ayah yang selama ini sering overprotektif padamu. Semua karena ayah sayang sama Putri,” imbuh Pak Satya tegar.
“Mas akan berusaha mewujudkan janji itu, Dek. Mas akan melepasmu dengan senyuman, seperti maumu selama ini,” aku berusaha melukis senyum pahit empedu ini.
“Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt!” sebuah suara panjang terdengar nyaring dari alat ruwet itu.
“Putri sudah pergi,” ucapku kelu sambil menutup kedua mata indahnya yang terpejam. Tangisan makin merdu, kecuali milikku. Aku berusaha mengucapkan itu dengan tegar. Selamat jalan istriku.
***