Satu
Angkasa Langit Wiradhika, kesan apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar nama itu? Nama yang berbau dunia militer mungkin? Gagah? Keren? Pemiliknya pasti seorang lelaki dengan tubuh tinggi gagah dan berbalut seragam dinas. Sepertinya anggapan itu benar. Setidaknya aku boleh sombong sedikit dengan mengatakan kelebihanku itu. Aku lelaki bernama Angkasa Langit Wiradhika atau Aksa yang hampir punya semua kriteria tadi.
Deskripsi singkat dari namaku itu memang tak sepenuhnya salah. Aku seorang lelaki berusia 27 tahun dengan tinggi 180 cm dan berat 69 kg. Cukup ideal dan tak gemuk bukan? Kulit kuning tak legam walau aku seorang tentara. Mata tajam sedikit sipit dan senyum khas yang jadi daya tarik. Seragam dinas? Aku punya itu, sebuah seragam dinas warna hijau dengan hiasan pangkat hitam di leher, 2 balok. Aku seorang letnan satu Angkatan Darat. Gagah dan keren? Ya setidaknya aku tak jelek-jelek amatlah. Aku berhasil menggaet seorang gadis cantik dan membuatnya tergila.
Ia bernama Putri, Putri Purnamaria Kirana. Seorang gadis 23 tahun, cantik bertubuh mungil dengan kulit putih, rambut panjang hitam, mata lentik bulat, hidung mancung mungil, dan bibir tipis berwarna merah. Dia gambaran wanita sempurna bagiku dengan sikap lembut dan manis khas wanita Jawa. Ia juga kadang bisa sedikit gila atau gokil mungkin lebih tepatnya. Putri, biasa kupanggil, punya sejuta pesona yang membuatku jatuh cinta hingga nyaris tergila. Hingga membuatku ingin mengajaknya ke pelaminan dengan segera.
Rencanaku menikahi Putri tak berjalan lambat. Aku tak lagi mengulur waktu seperti sikapku pada para wanita sebelumnya. Kali ini kuajak dia melaju ke pelaminan dengan kereta Shinkansen. Pengajuan nikah di militer sudah selesai sebulan yang lalu. Kami sudah resmi menikah secara dinas. Sekarang, kami tinggal mengurus nikah di KUA atau secara agama. Tahapan itu terasa lancar-lancar saja tanpa kendala.
Bahkan, untuk urusan katering dan lain sebagainya, kami mendapatkan bantuan dari keluarga besar. Keluarga besar terutama keluargaku sangat bersemangat dengan pernikahan ini. Mungkin karena anak lelakinya ini benar-benar serius sekarang. Apalagi wanita pilihanku ini adalah wanita pilihan semua orang termasuk kedua orang tuaku. Mereka sangat sayang pada Putri dan secepatnya ingin menikahkan kami.
Hari ini, kami akan fitting baju pengantin di sebuah butik di kawasan pinggiran Kota Malang. Belum kukatakan ya kalau kami tinggal di sebuah kota yang indah dan romantis seperti Malang. Kota yang penuh dengan pesona tempat tinggalku semenjak jadi tentara. Kota tempatku bertemu dengan Putri. Kota tempat kami memadu asmara yang akan segera berlabuh di pelaminan secepatnya. Kota dengan sejuta kenangan manis antara aku dan Putri. Kota yang akan jadi saksi lahirnya anak-anak kami ke dunia.
Masih dengan seragam loreng aku mendatangi ‘Wedding Home’, tempat fitting baju pengantin sekaligus WO pilihan Putri. Pernikahan kami akan digelar dalam adat Jawa dan penuh dengan bunga Hyacinthus warna biru. Bunga mungil itu adalah bunga kesukaan Putri. Entah karena apa, tapi kekasihku sangat suka itu pada aroma bunga indah itu. Bahkan, dia sampai melupakanku saking asyiknya bercengkrama dengan tanaman itu.
Padahal legenda menyeramkan ada di balik bunga indah itu. Konon, bunga itu tercipta dari meninggalnya seorang ksatria Yunani kekasih Apollo yang terbunuh. Tragisnya, ksatria itu adalah seorang penyuka sesama jenis. Duhai Putri, kenapa harus bunga dengan legenda seperti itu yang kamu sukai? Tapi, sudahlah, toh kami adalah pasangan beda jenis yang saling mencintai bukan? Cinta kami normal dan pada tempatnya. Anggap saja Putri suka bunga itu karena suka dengan aromanya, itu saja.
Sambil memegang kunci mobil dan berjalan dari parkiran aku tersenyum sendiri memikirkan hal itu. Sebenarnya bunga itu cukup langka di kota bunga seperti Malang ini. Tapi, pihak WO akhirnya mendatangkan bunga itu dari Jakarta demi calon istri tercintaku, Putri. Demi dia, kulakukan apapun. Sebab aku sangat suka pada senyuman manis dan hangatnya. Senyuman yang bisa menguatkanku dari beratnya dunia ini, beratnya dinas di TNI.
“Kok lama, Mas?” sapa sebuah suara manis tatkala aku masih ada di ambang pintu kaca butik.
Aku mendongak dan mendapati Putri memasang wajah gemas sambil membawa botol air mineral kesukaannya, “maaf tadi macet.”
“Ah, alasan!” celetuknya berpura-pura marah, “Putri udah capek nungguin Mas!”
Aku melingkarkan kedua tangan di tubuh mungilnya, aku berbisik mesra, “ah masak bosan menunggu Mas?”
Putri tak menjawab lagi dan langsung memukuli bahuku pelan. Dia gemas dan malu sendiri. Tentu saja, para petugas butik memperhatikan kami. Mungkin karena tentara berseragam yang sedang merayu wanita ini terlihat unik kali ya? Ah biar saja, memang gejolak menjelang pernikahan itu begini adanya. Mungkin karena inilah aku ingin segera menikahi Putri. Ingin segera memangkas dosa seperti ini dengan menikah.
---
“Gimana, Mas?” tanya Putri antusias sambil memutar badannya di depan kaca lebar.
Aku hanya bisa berdecak kagum melihat penampilan Putri. Sebuah kebaya beludru panjang warna hitam dengan aksen manik emas terlihat pas di tubuh mungil Putri. Ia juga mengenakan jarik warna coklat emas dan sandal hak tinggi warna hitam. Putri terlihat sangat cantik dan menawan seperti Putri Solo. Oh inikah gadis yang akan jadi wanitaku selamanya? Inikah pujaan hatiku itu? Sepertinya aku benar-benar tak salah pilih. Putri adalah pemilik tulang rusukku.
“Great, Dek! Kamu sangat cantik, Dek!” aku mengepakkan kedua tangan tanda kagumku.
Dia menyentuh pipinya malu-malu, “Mas Aksa ah. Bikin kesel mujinya!”
“Loh bikin kesel gimana? Mas jujur nih. Kamu benar-benar cantik, Dek! Gak sabar rasanya pengen nikah sama kamu, Dek!” ujarku berulangkali. Aku mendekatinya, menyentuh pipi hangatnya.
“Putri juga gak sabar ingin segera jadi nyonya Angkasa,” balasnya manis.
“Tapi, Mbak dan Mas harus sabar ya? Bajunya Mbak Putri masih agak kedodoran. Saya kecilkan dulu,” potong Mbak Sari sambil memecah kami. Ah, mbak satu ini. Paling bisa deh ganggu orang kasmaran.
“Aku juga ingin melihat Mas Aksa pakai beskap. Mas pasti gagah,” balasnya sesaat sebelum meninggalkanku, masuk lagi ke dalam ruang ganti.
“Kamu pasti jauh terkesima kalau melihatku dalam balutan PDU-1,” balasku setengah berteriak. Hanya terdengar gelak tawa dari dalam.
Aku hanya mesem sendiri. Terutama karena mbak-mbak butik yang ikut terkesima dengan kata-kataku barusan. Bukannya benar ya? Katanya, lelaki berseragam punya nilai plus di mata wanita. Ya, tergantung seragamnya sih menurutku. Yang jelas, Putri pernah tak berkedip ketika melihatku berseragam PDU-1 untuk pertama kalinya, saat foto bersama di studio. Tanpa sadar, ia menyentuh lenganku dan juga pundak tempat pangkat 2 balok itu menempel. Ia kagum dan terjatuh makin dalam pada cintaku.
“Mas, berhenti sebentar di Tugu yuk?” pecah Putri yang membuatku tersadar bahwa kami dalam perjalanan pulang.
Aku menoleh pada calon istriku yang terlihat mengamati Tugu yang ramai, “ngapain Dek? Keburu malam nih!”
“Ah, sebentar saja. Putri juga sudah telepon ke ibu dan ayah. Mengenang sejenak tempat kita bertemu,” ucapnya manis.
“Kamu ini, Dek. Suka nostalgia melulu. Gagal move-on,” olokku sambil memarkir Honda HRV hitam di depan gerbang SMAN 4 Malang.
Putri tak menjawab dan langsung membuka pintu di sebelahnya. Kuikuti langkah riangnya menuju tempat kesukaan kami itu. Kami menyebrang dengan hati-hati. Tak pakai lama, Putri langsung berlari seperti anak kecil menuju tengah Tugu. Ia bersandar di pagar di tepi kolam bundar Tugu. Matanya yang indah dan lentik asyik mengamati ketenangan air dan teratai yang mekar. Warnanya cantik dan harumnya semerbak.
“Cantik sekali teratainya,” gumamnya senang. Aku berdiri di sebelahnya, mengamati wajah damainya.
“Sebenarnya kamu suka teratai atau hyacinth sih, Dek?” tegasku. Dia menatapku lekat.
“Dua-duanya bunga yang menyimpan kesedihan. Putri suka itu, Mas. Sebab banyak orang yang susah merasa sedih, banyak orang yang tak suka sedih, banyak orang yang ingin melupakan rasa sedih,” jawabnya mulai berfilosofi. Putri adalah gadis yang suka mengajak imajinasiku menari.
Aku menariknya untuk duduk di bangku taman, “kenapa kamu bicara seperti itu di tengah kemesraan kita sih, Dek? Kamu sedang cemas ya?”
“Maaf kalau Putri ngelantur,” menghela napas panjang, “Putri cuma ingin mengajak Mas Aksa untuk tidak berlebihan. Katanya senang dan sedih yang berlebihan itu tak baik. Mari kita mengendur sedikit.”
“Kamu gak yakin ya nikah sama Mas?” aku merasa bingung sendiri. Ia menggeleng kuat.
“Putri sangat yakin, Mas. Tapi, Putri ingin kita berjalan biasa saja,” ucapnya yang membuatku makin bingung.
“Kamu gak mau nikah sama Mas ya? Kamu gak cinta sama mas?” tanyaku lembut, berusaha menyelami pikiran kekasihku.
Dia terbahak, “gaklah Mas! Aku sangat yakin kok. Ah sudahlah, Mas Aksa nih gak bisa diajak mellow-mellowan. Padahal aku sedang galau, sama seperti calon pengantin yang lainnya.”
“Apa yang kamu galaukan, Dek? Katakan sama aku!” ia menunduk.
“Gak ada kok. Aku cuma khawatir gak bisa bikin Mas Aksa bahagia,” ucapnya pelan. Aku menyentuh dagunya lembut.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu, Dek? Kehadiranmu saja sudah membuat mas bahagia. Jangan pernah berpikir yang macam-macam. Fokus saja pada pernikahan kita, okay?” tanyaku manis. Ia mengangguk dan melabuhkan kepala kecilnya di pelukanku.
“Ngomong-ngomong, kemesraan kita ini cocok dengan judul Love in The Moonlight,” ucapnya jenaka. Aku tersenyum tanpa suara.
Ia menunjuk ke langit gelap di atas kami, “see? Sinar rembulannya indah sekali.”
“Ah kamu ini, Dek. Selalu hidup seperti drama romantis. Tenang saja, nanti kita juga akan bermandikan sinar rembulan saat malam pernikahan. Mas akan menciummu manis di bawah sinar rembulan seperti ini. Awal bulan depan pasti rembulan sedang bulat-bulatnya,” balasku yang ditanggapi senyuman tanpa suara olehnya. Kutahu, dia makin tergila padaku.
***
bersambung...