Batu Segede Gunung

1602 Words
02 Dering bel pintu pagi itu mengejutkan Vlorin. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu dipicingkan untuk membiasakan diri dengan sinar matahari, yang menerobos dari jendela yang gordennya terbuka. Vlorin mengingat-ingat tentang semalam, kemudian dia memindai sekitar untuk mencari Jourell. Namun, pria bertubuh tinggi tersebut telah pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Vlorin mendengkus pelan. Dia menjengit ketika bel pintu kembali berbunyi. Perempuan berkulit tan memaksakan diri untuk bangkit. Vlorin berdiri dan jalan ke standing hanger untuk menyambar jubah satin hitam dan mengenakannya dengan tergesa-gesa. Tidak berselang lama Vlorin telah berada di dekat pintu. Dia meringis ketika Kakak sepupunya memasuki unit sambil mengomel, karena Vlorin terlambat membukakan pintu. Langkah Alicia Pearce, terhenti di dapur. Dia meletakkan kantung kertas berisi belanjaan ke meja, kemudian menunjuk dua cangkir di tempat cuci piring. "Apa ada tamu kemarin malam?" tanya Alicia. "Hmm, ya," sahut Vlorin sembari duduk di kursi seberang meja pantry. "Siapa?" "Teman." "Laki-laki?" "Hu um." "Akhirnya! Aku senang kamu bisa melupakan NR." Vlorin meringis. "Aku memang sudah tidak mengingat Nic." Alicia menaikkan alis. "Begitu?" "Ya." "Kuharap tamumu kemarin benar-benar membuatmu melupakan si rambut aneh." Vlorin mengulum senyuman. "Nic rambutnya memang selalu berantakan." "Stop bicara tentang dia. Sekarang, ceritakan padaku. Siapa temanmu semalam?" Vlorin mengerling sang kakak yang terlihat sangat penasaran. "Aku tidak akan menjawabnya." "Kenapa?" "Rahasia." Alicia berdecih. Kemudian dia menyipitkan mata. "Apa dia adalah pria yang pernah kamu sebutkan tempo hari?" "Yang mana?" "Teman bosmu itu. Aku lupa namanya." Vlorin menggeleng. "Bukan dia. Yang ini ... spesial." "Hmm. Apa dia hebat di ranjang?" Vlorin melengos. "Aku tidak akan menceritakan apa pun." Dia berdiri dan jalan ke toilet. "Hey, aku benar-benar penasaran!" pekik Alicia yang menyebabkan sang adik terkekeh. Sementara itu di tempat berbeda, Jourell telah berada di pesawat yang akan menerbangkannya menuju Sydney. Pria berkemeja hitam pas badan, memandangi luar kaca. Bayangan wajah Vlorin berkelebat dalam benak Jourell. Dia berencana untuk menelepon perempuan tersebut setelah tiba di tempat tujuan. Jourell mengulum senyuman. Dia menggeleng pelan saat mengingat percintaan mereka kemarin malam. Kulit halus Vlorin seakan-akan masih bisa dirasakan Jourell, yang akhirnya memejamkan mata sembari membayangkan perempuan berambut ikal. Tidak berselang lama pesawat telah tinggal landas. Jourell terkantuk-kantuk dan akhirnya terlelap sambil menyandarkan kepala ke dinding kabin. Tiba-tiba pesawat berguncang dan menyebabkan kepala Jourell terantuk. Dia meringis sambil mengusap area yang sakit. Kemudian Jourell membuka mata untuk mengamati sekeliling. "Ada apa?" tanya Jourell. "Enggak tahu, Mas," jawab Dedi. "Mungkin ada batu di depan," selorohnya. "Batu segede gunung." Dedi tersenyum. "Sudah pasti nabrak kalau ukurannya segitu." "Ehm, tolong mintakan minuman ke pramugari." "Kopi atau teh?" "Aku mau bir." "Mas, jangan aneh-aneh. Nanti aku diomelin Pak Tristan." "Abaikan aja." "Enggak berani. Beliau kalau mendelik aja, hatiku menciut." "Drama!" Dedi terkekeh, lalu dia menghentikan tawa dan berdiri. Jourell mengubah posisi badan miring ke kanan. Dia ingin melanjutkan tidur yang tertunda dengan posisi yang lebih nyaman. *** Acara rapat di kantor Timothy Grup baru saja usai beberapa menit lalu. Jourell dan keempat sahabatnya sesama anggota PG, masih bertahan di kursi masing-masing sambil mengarahkan pandangan pada televisi berukuran besar. Wajah Tristan, Rahagi, Ivan, David dan Heru terpampang di layar kaca dengan jelas. Sementara yang lainnya hanya terlihat rambut ataupun tangannya. Kelima pria tergelak ketika dua tangan yang membentuk huruf V, muncul dari belakang kepala Tristan. Tangan milik Yanuar bergerak lincah mengikuti kepala Tristan yang tidak menyadari bila dirinya tengah dicandai. Kala Tristan menoleh ke belakang, Yanuar berpura-pura tengah berpose sambil memanggil nama kelima pria di seberang lautan yang masih terbahak. Jourell kian tergelak ketika Tristan akhirnya berpura-pura mencekik Yanuar yang membalas dengan tinjuan. Tidak ada seorang pun yang berniat melerai. Mereka justru meneriakkan semangat agar keduanya kian antusias berkelahi. "Bang Yan, usilnya makin jadi," tukas Fairel Atthariz Calief, putra ketiga Hilman Gibran, pemilik HnB grup yang berpusat di Bandung, sesaat setelah sambungan video jarak jauh telah berakhir. "Bukan hanya dia, tapi semua Power Rangers," seloroh Arman Rinaldi, putra ketiga Bayu Setiawan yang juga merupakan partner usaha Hilman Gilbran di HnB. "Ide mereka itu, ada aja, dan selalu unik," cakap Keven Kahraman, CEO Timothy Grup. "Mereka itu makan apa, ya? Nemu aja hal-hal aneh yang sukses bikin ricuh," imbuh Bryan Achnav, CEO HKB, perusahaan bentukannya bersama Keven dan Hansel Arvasathya, putra kandung Timothy. "Entahlah," sahut Jourell. "Aku bagian ketawa aja. Lumayan bisa ngurangin stres," lanjutnya. "Ehm, Jo, aku lupa. Natasha, kira-kira kapan melahirkan?" tanya Keven. "Kalau nggak salah, dua bulan lagi, Mas. Sekarang sudah tujuh bulanan hamilnya," terang Jourell. "Berarti barengan dengan jadwal diklat kita?" "Enggak. Diklat, kan, akhir Juli. HPL-nya, akhir Juni sampai awal Juli." Keven manggut-manggut. "Nanti aku pulang agak lamaan. Aruna pengen ke Bali, napak tilas kisah cinta kami." "Aku ikut," sela Arman. "Ngapain? Jadi nyamuk?" ledek Fairel. "Aku juga udah lama nggak ke Bali. Kangen lihat pura," kelakar Arman. "Kupikir Arman juga ingin mengenang masa lalu," goda Bryan. "Mas, tolong jangan disebut. Nanti aku nekat paralayang dan nggak balik-balik, Mas mewek," canda Arman. "Kamu nyangkut di mana itu nggak balik-balik?" "Gunung Salak." "Kan! Ke situ lagi. Padahal banyak gunung lain, tapi cuma itu yang disebut," cibir Fairel. "Arman gagal move on!" seru Keven. "Padahal mantannya sudah punya anak satu," tambah Jourell. "Lupain, Man. Gaet perempuan lain," usul Bryan. "Mas sendiri, masih betah menduda," sanggah Arman. "Kalau aku, memang lebih sulit mendapatkan jodoh daripada kamu. Terutama karena orangnya harus menerima dua anakku dengan sepenuh hati," ungkap Bryan. "Dan sampai sekarang aku belum ketemu orangnya. Susah," keluhnya. "Bukannya waktu itu Kak Natasha ngenalin temannya?" "Enggak lanjut. Mungkin dia ngeri harus mengurus dua bocah yang sangat aktif. Padahal, aku cari pendamping hidup, bukan pengasuh." Matahari siang bergerak cepat ke barat. Jourell menumpang mandi di toilet khusus direksi. Sementara Dedi membersihkan diri di kamar mandi buat staf direksi. Tiga puluh menit berikutnya, mereka telah berada di mobil MPV hitam yang dikemudikan Nanang, ketua pengawal area Australia dan New Zealand. Arman yang juga akan pulang ke Jakarta, berbincang dengan Jourell mengenai proyek terbaru di Kanada, yang digagas Benigno. Dedi yang menemani Nanang di kursi depan, mencatat beberapa informasi penting dari percakapan kedua bos. Begitu pula dengan Hasbi yang merupakan ajudan Arman yang berada di kursi belakang bersama Syuja, wakil ketua pengawal area tersebut. *** Hari berganti hari. Kesibukan Jourell mengakibatkannya melupakan sosok Vlorin. Pria berparas manis nyaris tidak memiliki waktu untuk berlibur, karena perusahaan keluarga hanya ditangani dirinya dan Tristan. Semenjak Natasha hamil, Tristan mengurangi kegiatannya. Dia berusaha memenuhi janji untuk menjaga sang istri. Selain itu, Tristan benar-benar was-was kehamilan tersebut tidak berjalan lancar, karena Natasha sudah dua kali mengalami keguguran. Sebab itu, pada kehamilan ketiga, Tristan meningkatkah penjagaan pada istrinya. Dia bahkan melarang Natasha bekerja di agensi milik GIC, yaitu persatuan para istri bos PG. Natasha menuruti permintaan suaminya. Dia hanya sekali-sekali muncul di kantor untuk melakukan rapat bersama Jeehan, istri Elang Hastanta. Liana, istri Artio Laksamana Pramudya, dan Jewel, istri Trevor Aryeswara. Sore itu, Jourell mendatangi kakaknya di ruang kerja Tristan. Pria yang lebih muda kembali mendesak sang kakak, untuk meminta dicarikan asisten tambahan. "Ya, Mas? Sudah sebulan lebih aku nggak ada libur. Apalagi setelah anak Mas lahir dan Mas cuti, semua kerjaan aku yang pegang. Bakal habis badanku," rengek Jourell. "Kamu, nih. Aku lagi nunggu orang kiriman Wirya datang. Sabar dikit lagi!" sungut Tristan. "Enggak ada karyawan yang bisa dibajak gitu? Pinjam enam bulan aja." "Ngaco! Mau ngambil dari mana, coba?" "Karyawan Pramudya Grup, kan, banyak banget. Dicomot dua, nggak bakal ketahuan." "Boleh. Asal kamu siap dikemplang Tio, Marley, May dan Mala." "Duh! Ditabok May aja, aku udah pasti pingsan. Apalagi mereka turun berempat?" "Bonyok kamu." Jourell berdecih. "Atau dari PBK gitu. Pengawal sudah ratusan, pasti ada yang bisa ditarik kerja sama kita." "Varo sudah wanti-wanti agar tidak ada pengawal yang double job lebih dari dua perusahaan. Kecuali, tim dia dan tim-nya Haikal." Jourell meremas-remas rambut. "Padre Juna makin galak sekarang." "Dia harus begitu, supaya kondisi di lapangan tetap stabil. Enggak boleh ada tarik sana-sini, kecuali darurat." Jourell manggut-manggut. "Ya, udah. Aku tunggu asisten baru datang. Tapi, harus yang cantik." "Kamu butuh hasil kerjanya atau mukanya?" "Kalau bisa, dua-duanya. Biar aku semangat bekerja." "Enggak ada! Justru aku nyari yang orangnya judes dan gahar. Biar nggak bisa kamu kencanin." "Waduh! Kalau begitu, kapan aku ketemu jodoh?" "Carilah. Jangan menunggu orangnya datang, tapi kamu juga harus aktif mencari." "Hmm, gimana kalau aku menggaet Kyle?" "Kalau kamu mau jadi muslim, bisa diizinkan Harry. Kalau nggak, pasti ditolak." "Atau, Laura, deh." "Dia sudah punya pacar." "Ehm, Karen, gimana?" "Reinar pasti nantang kamu kayak Harry." "Pevita?" "Kayaknya sama dengan dua orang tadi." "Makin sedikit pilihan perempuan single." "Kenapa kamu nggak ngedeketin dua putri keluarga Brathadikara?" "Belvania, mantan Bang Samudra. Malinka, bukan seleraku." "Tipe kesukaanmu berubah-ubah terus. Aku jadi bingung mau ngenalin siapa lagi." "Sekarang aku lagi suka perempuan berkulit tan." "Warna kayak gimana itu?" "Di atas cokelat, dan di bawah kuning langsat." "Coba sebutin contohnya." "Ehm, kayak ... Vlorin." Tristan memandangi adiknya lekat-lekat. "Asisten Russel?" "Hu um." "Cari yang lain aja. Papa nggak bakal setuju." "Kenapa?" "Dia bukan dari kalangan pengusaha. Ayahnya bekerja di peternakan sapi skala sedang." "Kupikir itu bukan masalah besar, Mas." "Bagi kita, ya. Aku juga nggak akan meributkan asal keluarga perempuan pilihanmu. Tapi, Papa masih memegang teguh prinsip zaman dulu. Harus pas, bibit, bebet, dan bobotnya." "Hmm." "Apalagi Vlorin WNA asli. Dia nggak akan paham adat istiadat kita. Kamu juga bakal repot nanti, terutama kalau dia merengek nggak mau tinggal di sini." "Tapi, Mas, aku bisa tinggal di sana, dan akan pulang sekali-sekali." Tristan menggeleng. "Kita sudah berjanji akan selalu menemani orang tua. Karena kita cuma berdua. Keluarga lainnya jauh, atau sudah nggak ada. Papa dan Mama cuma punya kita. Nobody else." Tristan memandangi adiknya lekat-lekat. "Sebetulnya calonmu sudah disiapkan orang tua kita. Itu saja yang dinikahi. Biar tidak ada masalah ke depannya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD