Bukankah Kamu Mencintaiku?

1409 Words
03 Detik berganti menjadi menit. Jam berputar cepat hingga hari berubah hari. Minggu terlewati dengan laju, hingga waktu seolah-olah tidak terasa bagi insan di dunia. Vlorin tercenung di kamar mandi. Tatapannya tertuju pada alat tes kehamilan yang memampangkan dua garis biru. Vlorin mendengkus kuat, kemudian memegangi dahinya sambil menunduk. Perempuan berparas cantik menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Dia benar-benar tidak menduga bila kencan semalamnya bersama Jourell berbuah setitik janin dalam rahimnya. Vlorin menggeleng pelan. Dia menengadah untuk memandangi pantulan wajahnya di cermin. Perempuan bermata besar kembali menggeleng, kemudian dia menunduk untuk mengusap perut yang masih rata. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Vlorin tanpa ada yang menyahut. Perempuan berambut ikal memejamkan mata. Dia mulai kalut karena bingung hendak melakukan apa. Vlorin membuka mata, lalu keluar dari toilet dengan langkah gontai. Dia duduk di sofa sambil memandangi awan berarak dari jendela yang gordennya terbuka lebar. Vlorin mendengkus. Dia bermonolog dalam hati. Tanpa sadar tangannya bergerak mengusap perut. Selama beberapa menit berikutnya Vlorin melamun. Sebelum akhirnya dia berbaring miring dan memejamkan mata. Sementara itu di tempat yang waktunya empat jam lebih lambat dari Brisbane, seorang pria terbangun sambil memegangi perutnya yang mendadak mual. Jourell bangkit dan jalan secepat mungkin menuju kamar mandi. Dia membuka tutup kloset, lalu memuntahkan semua isi perutnya. Sekian menit berlalu, Jourell terduduk di lantai sembari menahan keinginan untuk kembali muntah. Tubuhnya berkeringat dingin seiring dengan sakit kepala yang tiba-tiba muncul. Jourell mengumpulkan tenaga agar bisa bangkit. Dia berdiri sambil berpegangan ke pinggir wastafel. Setelah merasa lebih tenang, Jourell menggosok gigi, lalu mandi. Pria bermata sipit mengambil handuk dari gantungan untuk menyeka butiran air dari tubuhnya. Jourell memandangi pantulan diri di cermin sambil bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia tiba-tiba mual dan muntah. Setelah merasa lebih kuat Jourell beranjak keluar. Dia duduk di tepi tempat tidur dan menyambar arloji dari meja samping kanan. Jourell membeliakkan mata kala menyadari bila saat itu masih subuh. Jourell menggaruk-garuk kepala. Dia ingin kembali tidur, tetapi perutnya lapar. Pria berbibir penuh berdiri dan jalan ke lemari. Dia membuka pintu putih dan mengambil kaus serta celana teratas, lalu mengenakannya dengan cepat. Jourell jalan keluar. Dia berhenti di dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sandwich. Pintu kamar kedua terbuka dan Dedi muncul dengan rambut acak-acakan. Lelaki berpipi tembam memandangi sang bos sesaat, sebelum dia menyambangi pria yang lebih tua tersebut. "Mas, lagi ngapain?" tanya Dedi. "Bikin sandwich," terang Jourell. "Kamu, mau nggak?" tanyanya. "Nanti aku buat sendiri." "Kalau mau, sekalian kubuatin." "Jika Mas memaksa, aku akan terima." "Semprul!" Dedi terkekeh, kemudian dia memasuki toilet yang berseberangan dengan dapur. Jourell melanjutkan aktivitas. Dia juga menyiapkan teh hangat dalam mug besar untuk dirinya. Sedangkan buat Dedi, dibuatkan teh dalam cangkir berukuran sedang. Sang ajudan keluar dari bilik termenung dengan wajah basah. Dia kembali ke kamar untuk menunaikan salat Subuh. Sementara Jourell berpindah ke sofa ruang tengah dan memulai sarapan lebih awal. Langit gelap perlahan sirna. Semburat jingga di ufuk timur kian menebal dan akhirnya matahari muncul menggantikan tugas rembulan, yang hendak kembali ke peraduan. Pasangan bos dan pegawainya menghentikan percakapan. Mereka berdiri dan bergegas ke kamar masing-masing untuk berganti pakaian. Tidak berselang lama, Jourell dan Dedi telah berada di luar unit apartemen. Mereka memasuki lift yang kebetulan pintunya terbuka karena ada penghuni yang hendak keluar. Jourell dan Dedi membalas sapaan hangat kedua perempuan muda yang merupakan penghuni unit terdekat dengan lift. Setelah pintu elevator tertutup, bos dan ajudan saling melirik, kemudian mereka sama-sama terkekeh. "Mereka sangat manis," tutur Jourell. "Yang baju biru, kayaknya naksir Mas," sahut Dedi. "Hmm, tapi bukan seleraku." "Tadi Mas bilang, dia manis." "Iya, tapi sayangnya dia pendek. Capek aku nunduk kalau lagi ciuman." Dedi meringis. "Mas omongannya ke situ mulu." "Namanya juga sudah dewasa. Memangnya kamu, pemuda tanggung." "Aku separuh dewasa." "Halah! Dideketin cewek pub aja, kamu langsung keringatan." "Ngeri, Mas. Mereka bukan perempuan baik-baik." "Mereka terpaksa begitu demi cari duit." "Banyak pekerjaan halal tanpa harus mengobral tubuh." "Kalau kamu di posisi mereka, pasti akan berpikiran sama. Itu pekerjaan paling gampang. Daripada nongkrong tepi jalan. Laku nggak, kena tangkap trantib, iya." Dedi menyunggingkan senyuman. "Kalau punya hati yang kuat dan mau kerja keras, mereka bisa dapat uang halal. Walaupun hasilnya nggak banyak, tapi jadi berkah buat keluarga." "Buat yang masih muda, mungkin bisa bersaing cari kerjaan lain. Beda dengan yang berumur, apalagi jika sudah janda. Berat itu jadi single mother." "Kakak tertuaku juga janda, tapi dia bisa cari uang halal. Seperti yang aku bilang tadi, keteguhan hati, itu yang paling penting." *** Russel Knight mengamati asistennya yang tengah mengusap keringat di dahi dan atas bibir dengan tisu. Pria asli Australia merasa heran, karena saat masuk kerja tadi pagi, Vlorin terlihat sehat. Akan tetapi, perempuan tersebut tiba-tiba pingsan. Tubuh langsingnya nyaris luruh ke lantai. Andai Russel tidak sigap, mungkin kepala Vlorin telah membentur ubin ruang kerja sang bos. "Apa kamu sedang sakit?" tanya Russel sembari memandangi asistennya lekat-lekat. "Ehm, hanya pusing dan sedikit mual," cicit Vlorin. "Kalau masih sakit, pulang dan istirahat. Besok kamu bisa cuti." "Tidak bisa. Pekerjaanku banyak." "Bisa ditangani yang lain, Vlo. Kamu santai saja." "Tapi ...." "Menurut padaku. Jangan membantah terus!" "Anda makin emosional, Bos." "Ya, terutama karena punya asisten keras kepala sepertimu!" Vlorin mencebik. "Aku masih pusing. Jangan membentakku." Russel melengos. "Playing victim." "Aku sedang merajuk." "Aku tidak peduli." "Bukankah kamu mencintaiku?" Russel berdecih. "Jangan diungkit lagi. Cintaku sudah padam sejak kamu kembali berhubungan dengan Nicholas." Vlorin mengulum senyuman. Dia memegangi tangan lelaki bercambang yang selalu perhatian padanya. "Aku mencintaimu, Bos," candanya. Russel memutar bola mata karena jengah dengan rayuan perempuan yang justru tertawa melihat tingkahnya. Pria berkemeja biru muda menatap Vlorin lekat-lekat, kemudian dia menepuk tangan sang asisten yang spontan berhenti terkekeh. "Aku antar kamu pulang," tukas Russel. "Masih ada satu rapat lagi, Bos," sanggah Vlorin. "Minta Daniel yang mengurusnya. Aku mendadak ingin tidur." Vlorin meringis. Dia bangkit dengan bertumpu pada kedua siku. Kemudian dia menggeser kaki hingga menjejak lantai, lalu mengenakan sepatunya. Russel memegangi Vlorin yang hendak bangkit. Dia menuntun perempuan bergaun putih sebatas lutut ke dekat meja. Russel menyambar tas kerja dan jasnya, kemudian meneruskan langkah bersama Vlorin ke luar ruangan. Bethany, sekretaris Russel, terkejut menyaksikan Vlorin dituntun sang bos. Dia berdiri dari kursi dan menanyakan kondisi rekannya yang tampak pucat. Selanjutnya, Bethany memandangi kedua orang yang tengah menuju lift. Dia khawatir pada Vlorin yang sejak beberapa hari lalu sering mengeluh sakit kepala. Puluhan menit terlewati, Vlorin bingung ketika Russel menghentikan mobilnya di depan rumah sakit. Dia hendak bertanya, tetapi diurungkan ketika pria bercambang memintanya turun. "Kita mau apa ke sini, Bos?" tanya Vlorin sambil memegangi lengan kiri lelaki bermata biru. "Bethany tadi sempat mengatakan, jika kamu sudah mengeluh sakit kepala selama beberapa hari. Jadi, lebih baik diperiksakan ke dokter," terang Russel. "Ini hanya sakit kepala biasa." "Aku akan lebih yakin bila dokter yang memastikan hal itu." "Bos, aku ...." "Diam dan pegang tanganku erat-erat. Jangan sampai kamu jatuh lagi dan kita akan jadi tontonan orang." Tiba-tiba Vlorin berhenti melangkah. Dia memegangi perut yang mendadak bergejolak. Vlorin mengamati sekeliling, lalu dia jalan secepat mungkin menuju toilet. Russel mengejar perempuan berblazer hijau. Dia nekat memasuki toilet ketika mendengar suara orang tengah muntah. Russel memegangi lengan kiri Vlorin yang gemetaran. Setelah menekan tombol agar air mengucur di kloset, pria berbibir penuh menuntun asistennya ke luar. Akan tetapi, tungkai Vlorin melemah seiring dengan berputarnya dunia. Hal terakhir yang diingat perempuan tersebut adalah dia mencengkeram lengan kanan Russel, kemudian pandangan Vlorin menggelap dan dia pingsan. Russel memeluk asistennya, kemudian mengangkat dan menggendong Vlorin sambil berteriak meminta tolong. Seorang pegawai rumah sakit segera mengantarkannya ke ruangan darurat, agar Vlorin bisa diperiksa dokter jaga. Puluhan menit berlalu. Vlorin telah selesai ditangani tim dokter. Russel termangu sambil memandangi asistennya yang terbaring lemah di ranjang. Terngiang kembali penjelasan dokter yang menangani Vlorin. Russel benar-benar kaget karena tidak menduga hal itu. Dia juga penasaran pada sosok pria yang telah menghamili asistennya. "Kenapa kamu tidak bilang jika sedang hamil?" tanya Russel, sesaat setelah Vlorin sadar dari pingsannya. Sang asisten tidak menyahut. Vlorin mengerjap-ngerjapkan matanya yang mengabut, kemudian dia menutupi wajah dengan kedua tangan. Isakannya terdengar pilu dan menyebabkan Russel terenyuh. Pria bermanik mata biru mengambil tisu dari lemari kecil di samping kanan ranjang pasien. Dia memegangi tangan kanan Vlorin, lalu menggesernya pelan. "Siapa ayahnya?" desak Russel sembari menyeka wajah asistennya yang basah. "Vlo, katakan padaku, siapa lelaki yang telah meninggalkan benih dalam rahimmu?" tanyanya sambil menahan nada suara agar tidak meninggi. Akan tetapi, Vlorin tetap bungkam. Russel akhirnya memutuskan untuk tidak mendesak sang asisten. Russel berniat menanyai Vlorin lain waktu, menunggu perempuan tersebut lebih tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD