Eyrin melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah mamanya yang terlelap. Tak ada reaksi apa pun, Eyrin pun menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Mengambil sandal di tangannya dan melangkah sehati-hati mungkin menuju pintu.
“Eyrin, mau ke mana kamu?” Suara mengantuk Lely menghentikan Eyrin yang sedang memutar handle pintu.
Eyrin tersenyum meringis, memutar tubuh dan melihat mamanya yang mengusap mata sambil bangkit terduduk. “Eyrin ingin ke bawah sebentar, Ma.”
“Kenapa?”
“Eyrin ... haus.” Eyrin menyentuh tenggorokannya.
“Di sini ada air.” Lely menunjuk dua gelas berisi air putih yang ada di nakas.
“Eyrin ingin minum susu.”
Lely langsung turun dari ranjang dan mengambil jubah tidurnya. “Ayo, Mama antar. Di luar gelap.”
“Eh?” Eyrin melongo.
“Ayo.” Lely menggandeng tangan Eyrin dan membuka pintu. “Kenapa kau memegang sandalmu?”
Eyrin menunduk dan langsung melempar sandalnya ke lantai lalu memakainya. Memaksa satu senyum hambar untuk mamanya. “Eyrin, ... takut membangunkan Mama,” alasannya. Gagal sudah rencananya untuk kembali kamarnya dan Edgar.
“Ma, bagaimana kalau kita tidur di kamar Eyrin?” Langkah Eyrin terhenti ketika keduanya sampai di tangga setelah kembali dari dapur.
Lely berpikir sejenak. Lalu mengangguk dan langsung menaiki anak tangga. Eyrin tak tahu kenapa mamanya menuturi keinginannya begitu saja. Biasanya mamanya akan menggerutu tentang kamarnya yang ada di lantai dua dan harus naik tangga untuk naik ke atas. Belum tentang kamarnya yang bercat merah muda dan terlalu terang.
Eyrin membuka pintu kamarnya. Sejak menikah dengan Edgar, ia hanya beberapa kali mampir ke sini untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal. Atau terkadang merenungkan pernikahannya yang sempat mendingin.
Pelayan membersihkan kamar itu dengan baik. Meskipun tidak pernah ia tiduri lagi, semua rapi dan bersih. Berada di tempat yang tepat.
“Kenapa? Apa kau merindukan suamimu?” sela Lely melihat Eyrin yang mengintip dari balik gorden. Menarik gorden tersebut terbuka lebar-lebar dan menampakkan jendela kamar Eyrin dan Edgar di seberang sana.
Eyrin menggeleng, langsung berpaling berjalan ke ranjang. Menyelipkan tubuh di balik selimut. Edgar pasti sudah tertidur, melihat lampu kamar mereka. Eyrin menutup kepalanya dengan selimut, menyembunyikan kekesalannya. Bisanya pria itu tidur dengan nyenyak tanpa dirinya? Eyrin memberengut kesal.
Lely menutup kembali gorden dan ikut bergabung di ranjang. Mematikan lampu tanpa tahu kekesalan yang mendera putrinya.
***
Eyrin berjalan melewati rumput di halaman rumahnya yang langsung terhubung dengan halaman rumput keluarga Arsafarich. Sesekali menguap dalam perjalanannya kembali ke rumah Edgar dengan hanya mengenakan pakaian tidur dan rambut yang masih berantakan khas bangun tidur. Gara-gara memikirkan Edgar, ia tak bisa tidur hingga jam tiga pagi dan harus terlambat bangun seperti ini. Berencana melanjutkan tidurnya di kantor nanti. Seperti yang biasa Regar lakukan.
Di depan teras mobil Edgar sudah terparkir dengan mesin menyala. Si sopir menunggu di dekat mobil bersiap menunggu Edgar yang sepertinya masih makan pagi. Eyrin berjalan di samping mobil, mendadak pintu mobil terbuka dan tangannya langsung ditarik masuk.
“Edgar?!” Eyrin tersentak kaget ketika pantatnya terbanting di jok mobil, dan pelakunya adalah suaminya sendiri.
“Aku harus segera ke kantor.”
Eyrin memandang wajah Edgar yang semakin mendekat dengan kerutan di kening. “Lalu?”
“Aku ingin ini sebentar.” Edgar mendorong wajah Eyrin hingga wanita itu bersandar di jok. Edgar memutar tubuhnya dan memenjara tubuh Eyrin dengan kedua tangan memegang kedua pundak Eyrin. Kepalanya semakin mendekat, hendak menempelkan bibir mereka dengan sorot mata yang semakin berkabut oleh gairah.
“Tunggu dulu.” Eyrin menutup bibirnya dengan telapak tangan sebelum kedua bibir mereka sempat bersentuhan.
“Ada apa?”
“A-aku ... belum sikat gigi.”
Edgar hanya tersenyum tipis, lalu menurunkan tangan Eyrin dan sebelum ada gangguan lainnya lagi. Ia langsung memagut bibir Eyrin. Menyesap kerinduan semanis madu yang sejak semalam tak bisa membuatnya terlelap dengan tenang. Tetapi, baru saja kerinduannya akan kelembutan bibir Eyrin terpuaskan untuk sejenak, gangguan lainnya muncul lagi.
Tok ... tok ... tok ...
Edgar menggeram sambil melepas lumatannya. Mendadak merasa hampa dan sangat kesal karena bibir mereka harus berpisah.
Eyrin menoleh ke samping. Melihat Regar membungkuk ke arah mobil Edgar dengan wajah yang tepat berada di sampingnya dan hanya terpisah oleh jendela mobil. Pria itu langsung membuka pintu mobil, tanpa memedulikan amarah yang bergelung di mata Edgar.
“Ehemmm ...” Kepala Regar mengintip masuk. “Maaf mengganggu pagi panas kalian. Tapi ini ada sesuatu yang mendadak.”
Eyrin mengusap bibirnya yang masih basah, lalu mendelik kesal pada Regar. Anak ini mengganggu saja! dengusnya dalam hati.
“Klien baru kita datang sepuluh menit lagi dan kau terlihat belum mengenakan pakaian yang layak. Juga ...” Regar mengipas-ngipas tangannya di depan wajah. “Kenapa kau bau sekali?”
Eyrin memukul kepala Regar.
“Aakhh ...” Regar menarik kepalanya keluar dan mengusap-ngusap bekas pukulan Eyrin sambil meringis kesakitan.
Sesaat Edgar dan Eyrin hanya saling pandang. Dengan suara kakunya, Eyrin berpamit. Tapi gerakan wanita itu sempat terhenti ketika akan menurunkan kaki, tubuh Eyrin kembali berputar, lalu mengecup pipi Edgar dan langsung melompat turun dari mobil dengan malu-malu.
Melihat itu, Regar hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap manja Eyrin. “Kau tersenyum?” Mata Regar mengerjap tiga kali karena tak percaya apa yang ditemukan oleh matanya.
Seketika wajah Edgar berubah dingin dan berhenti menatap Eyrin yang sudah menghilang ke dalam rumah. Ia menatap Regar sejenak, kemudian membanting pintu di depan adiknya keras-keras dan menyuruh sopir untuk bergegas berangkat.
Regar mendengus sebal. Kembali berjalan masuk ke rumah untuk menyusul Eyrin.
***
“Kau benar-benar mempermalukanku, Ey. Berapa kali kau menguap di depan tuan Wijaya?” gerutu Regar berjalan dari ruang pertemuan mendahului Eyrin.
“Aku benar-benar mengantuk.” Lagi Eyrin menguap. Mengalungkan lengannya di lengan Regar dan membaringkan kepalanya di pundak pria itu lalu memejamkan mata.
Regar menghela napas pasrah. Keduanya berjalan melewati lorong-lorong karyawan yang menyempatkan menatap mereka dan memberi salam berupa anggukan kepala. Regar membalasnya dengan senyum tipis, sesekali melirik lebih lama pada karyawan yang memiliki kecantikan di atas rata-rata plus bonus kerlingan mata.
“Berhentilah menggoda karyawanku, Regar,” gertak suara dingin Edgar yang mendadak muncul di hadapan Regar.
Regar hanya membalas dengan cengiran kuda. Lalu menyodorkan berkas di tangannya. “Aku sudah membuat tuan Wijaya menandatangi kontrak.”
Edgar mengambil berkas tersebut, membuka berkas tersebut dengan tatapan mata ke arah Eyrin yang langsung mengangkat kepalanya dari bahu Regar dan merapikan ikatan rambut yang masih rapi. Ia sudah terbiasa melihat Eyrin yang selalu pergi ke mana pun bersama Regar dan bahkan saling merangkul di depan umum. Keduanya sangat lengket dan kebanyakan orang yang tak tahu hubungan Eyrin dan Regar akan mengira mereka adalah pasangan kekasih. Bahkan yang tahu pun nyaris memperkirakan keduanya akan menikah. Saat pesta pernikahan pun, selain para undangan yang mengira nama dalam kartu undangan salah ketik, beberapa malah mengucapkan selamat pada Regar. Bukan pada dirinya yang jelas-jelas berdiri di pelaminan. Edgar pun tak pernah mempermasalahkan hal itu, tetapi mendadak sekarang hal itu membuatnya terusik.
Sejak pernikahannya dengan Eyrin, kedekatan Eyrin dan Regar perlahan mulai mengganggu ketenangan hatinya. Apalagi setelah tahu bahwa lingerie-lingerie seksi yang pernah dipakai Eyrin untuk menggodanya pasti adalah rekomendasi dari Regar. Sebelum ia melihat Eyrin mengenakan kain tipis itu, Regar pasti sudah melihatnya lebih dulu. Dan kenyataan itu membuat Edgar semakin kesal pada adiknya.
“Kau harus memberi bonus untukku bulan ini. Harga kontrak ini tidak sedikit, kan,” ucap Regar dengan pongah.
Edgar memberikan berkas di tangannya pada Danu, asisten pribadi Edgar yang berdiri di belakang pria itu. Lalu menukar berkas tersebut dengan yang ada di tangan Danu dan menyodorkannya pada Regar.
“Apa ini?” Regar membuka berkas tersebut. “Jangan bilang kontrak baru ...”
“Di FH Resto. Jam sepuluh. Ruang nomor 5.”
“T-ta ...”
“Bonusmu akan naik dua kali lipat jika kau berhasil.”
“Oke!” Regar menyetujui sebelum Edgar menyelesaikan kalimatnya.
“Dan kau.” Edgar menunjuk Eyrin. “Ikut denganku. Ada pekerjaan untukmu.”
“Huh? Apa?” Eyrin melongo, menatap Edgar dan Regar bergantian.
“Dia asistenku,” protes Regar.
“Kau bisa melakukan pertemuan ini tanya istriku.”
“T-tapi ...”
“Sebaiknya kau cepat berangkat sekarang. Sebelum kau terjebak macet dan membuat dirimu terlambat yang otomatis akan memengaruhi keputusan kontrak ini.” Sebelum Regar sempat membuka mulut untuk mengeluarkan keluhan lagi, Edgar melangkah melewati adiknya dan menarik tangan Eyrin untuk ikut bersamanya.
Eyrin yang kebingungan, dengan langkah terseok-seok berusaha menyeimbangkan kecepatan langkahnya dengan Edgar dan pandangan yang masih terarah pada Regar dan menetap kepergian mereka penuh kepasarahan. Keduanya saling melambai, dengan ekspresi kesedihan yang semakin mendalam.
***