Part 6

1412 Words
“Apakah itu berarti malam-malam dinginmu akan berubah menjadi malam panas dan membara?” goda Regar saat keduanya keluar dari apotek untuk menebus pil kontrasepsi dari dokter. Eyrin terlalu ngeri dengan pilihan-pilihan kontrasepsi lainnya yang dianjurkan oleh dokter. Suntik? Big No. Di dunia ini benda tajam itulah yang paling ia benci. Lalu memasang alat aneh di dalam ... Eyrin bergidik ngeri ketika membayangkan semua penjelasan dokter. Saat Edgar memasuki dirinya saja rasa sakitnya masih membekas hingga sekarang, dan dokter itu akan memasukkan benda asing ke sana, sampai batas waktu tertentu. Tidak!!! Pilihan paling aman adalah dengan minum pil. Yang sayangnya harus diminum dengan teratur, tapi menahan rasa pahit lebih baik daripada harus tertusuk  benda tajam. “Bagaimana Edgar saat di ranjang? Apa dia ...” “Dia ... sangat panas, dan lembut. Dia benar-benar membakarku.”  Wajah Eyrin kembali memanas. Dengan kedua telapak tangan menangkup wajah dan menepuknya dengan pelan. “Jika dia sampai seperti itu, kau pasti membakarnya dengan sangat baik. Bongkahan es itu akhirnya mencair juga. Aku pun ikut senang jika kau senang.” “Kau harus segera menikah. Berapa perawan yang sudah kautiduri?” “Aku tidak meniduri perawan.” “Baguslah. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak perawan yang kausakiti dan membuat mereka tak bisa melangkah dengan benar selama seharian penuh. Regar terkikik. Melirik ke samping dan mengamati cara jalan Eyrin yang memang tak seluwes biasanya, membuatnya harus menahan langkah lebih pelan. Wanita itu selalu bergerak lincah, seperti anak kecil yang kebanyakan makan gula dan butuh membuang energi yang masuk ke mulutnya. Tetapi sekarang, cara jalan wanita itu seperti ... perawan yang baru kehilangan keperawanannya? Ya, Eyrin memang baru saja kehilangan keperawanan wanita itu. Tawa membahana Regar bergema di kepalanya. “Apa yang kaupikirkan?” Seketika senyum di bibir Regar lenyap. Langkah keduanya terhenti. “Apa yang kaulihat?” “Cara jalanmu.” “Kenapa?” “Kau membuat kita berdua menjadi pusat perhatian.” Regar memutar kepalanya, memandang seluruh lobi yang dipenuhi orang-orang yang sebagian besar menyempatkan untuk memandang ke arah mereka. Eyrin mengikuti arah pandang Regar, seketika pandangannya tertunduk menahan malu. “Kau seperti perawan yang baru saja kehilangan keperawanan dan aku mendapatkan tuduhan atas perbuatan tidak bermoral kakakku.” “Gendong aku.” “Apa?” “Gendong aku.” Cicitan Eyrin sedikit lebih keras. “Tidak mau.” “Atau aku akan menangis keras-keras dan memegang kakimu. Membuatmu lebih dipermalukan daripada aku.” Regar kehilangan kata-katanya. Tanpa membuka mulut, ia berjongkok di hadapan Eyrin dan membiarkan kedua lengan Eyrin melingkari lehernya dari belakang. Wajah wanita itu tenggelam di punggungnya. “Bulan ini aku harus mendapatkan tambahan uang lembur dari Edgar,” gerutunya sepanjang perjalanan menuju halaman rumah sakit. “Kauyakin tidak hamil? Kenapa beratmu seperti naik dua kali lipat?”   ***   “Kau dari rumah sakit?” tanya Edgar begitu memasuki kamar tidur dan melihat Eyrin yang sudah bersiap tidur dengan piyama merah jambu wanita itu. Edgar terheran dengan penampilan wanita itu malam ini. Saat ia masuk ke kamar mereka, Eyrin selalu mengenakan pakaian tidur super minim dan tipis yang menampakkan hampir seluruh kulit tubuh wanita itu. Berpose mengundang penuh godaan. Padahal sebelum masuk ke kamar mereka, Edgar sudah bersiap memasang ekpresi terpesona sealami mungkin agar kali ini ia tak mengecewakan istrinya. Dan sekarang ia lagi-lagi terpaksa harus memasang ekspresi senormal mungkin. Agar tidak terlihat terlalu berharap ingin melihat pemandangan tubuh Eyrin yang segar dan mengundang. Sejak menyentuh tubuh wanita itu, bayang-bayang kenikmatan itu tak berhenti mengganggu isi kepalanya. Sepanjang hari ia seolah merasa belingsatan ingin segera pulang dan langsung naik ke ranjang bersama istrinya. Eyrin mengangguk. “Apa yang dikatakan dokter?” Eyrin menggeleng sambil mengambil plastik putih di meja dan memperlihatkan pada Edgar yang duduk di kursi mulai melepas sepatu. “Tidak ada. Dia hanya memberiku ini. Aku harus meminumnya sesuai jadwal.” Edgar selesai melepas sepatunya dan menegakkan punggungnya sambil membuka satu persatu kancing kemejanya. “Kemarilah. Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.” Edgar menepuk tempat kosong di sampingnya. Eyrin pun bergerak menurut. Tapi sebelum p****t wanita itu menyentuh tempat yang dimaksud Edgar, pria itu menarik lengan Eyrin dan mendaratkan tubuh Eyrin di pangkuan Edgar. Eyrin terkesiap kaget, menyadari keseimbangan tubuhnya yang berada dalam bahaya dan satu-satunya yang bisa ia pegang agar ia tidak terjatuh adalah tubuh Edgar, lengan wanita itu pun langsung melingkari leher Edgar. Yang memaksa wajah mereka begitu dekat. Selama beberapa saat keduanya saling pandang lekat-lekat. Jantung Eyrin berdebar kencang. Interaksi di antara keduanya terasa asing dan seolah membuat pandangan terhadap satu sama lain kini berubah seratus delapan puluh derajat. Bagi Eyrin, Edgar adalah kakak Regar. Edgar yang sibuk dengan urusan pria itu, dan ia yang sibuk bersenang-senang dengan Regar tak pernah memiliki interaksi lebih intens selain makan malam keluarga. Yang bergantian dilakukan di rumah Edgar dan Eyrin. Bahkan saat makan malam keluarga pun, Edgar selalu sibuk dengan ponsel pria itu, sedangkan dia sibuk bercanda dengan Regar. Lalu sekarang, keduanya terjebak dalam pernikahan. Yang memaksa mereka harus berinteraksi lebih intens. “A-ada apa?” Suara Eyrin tersekat gugup. Aroma mint dari bibir Edgar yang bercampur keringat di tubuh pria itu. Menyeruak kuat ke dalam indera penciumannya. Membuat Eyrin menahan napas kuat-kuat. “Kau sudah meminum pilmu hari ini?” Eyrin menjawab dengan anggukan tipis yang kaku. “Sepertinya kau juga sudah mandi,” gumam Edgar sambil mengendus kulit leher Eyrin. Bulu kuduk Eyrin meremang. Gelitik aneh menyebar dari hembusan napas Edgar ke seluruh tubuhnya. Membuat perutnya melilit tak terkendali. Saat suasana di antara keduanya mencapai tegang-tegangnya. Dengan wajah Edgar yang semakin memangkas jarak di antara keduanya. Mendadakn suara pintu yang didorong terbuka mengagetkan keduanya. “Edgar! Kenapa mobilmu terparkir sembarangan. Mama ingin ... ups.” Lely bergegas memutar tubuh dan kedua tangan menutup matanya. Eyrin melompat berdiri dari pangkuan Edgar. “Maaa...” Edgar mendesah kesal. “Maafkan, Mama.” Lely meringis. “Mama hanya minta kunci mobilmu. Biarkan sopir yang memarkirnya di carport. Kalian ... bisa lanjutkan.” Edgar merogoh saku celananya dan menyodorkan kunci mobil pada mamanya. Huftt ... tadi ia memang terburu masuk ke rumah sehingga lupa memarkirkan mobil di carport seperti biasa. Semua karena Eyrin. “Oke. Jangan lupa kunci pintunya.” Lely menutup pintu. Dalam keheningan panjang setelah pintu kamar kembali tertutup. Edgar hendak memulai kembali suasana romantis di antara mereka dengan menggeser tubuhnya ke arah Eyrin yang duduk di ujung sofa. Tetapi wanita itu malah beranjak menjauh dan berkata, “Aku akan menyiapkan pakaian tidurmu. Sebaiknya kau mandi dulu.” Edgar menghela napas kecewa menatap punggung Eyrin yang menjauh. Terpaksa harus menunda rasa laparnya terhadap Eyrin hingga selesai mandi. Tak sampai lima menit, Edgar sudah keluar dari kamar mandi dan Eyrin duduk di pinggir ranjang dengan pakaian tidur Edgar yang sudah tersiap di sisi wanita itu. Edgar berjalan mendekat ke pintu dan memutar kunci untuk memastikan tidak ada lagi yang menerobos masuk sebelum berjalan mendekati Eyrin, tapi pria itu tidak mengambil pakaian tidurnya. Langsung naik ke ranjang dan menarik lengan Eyrin untuk berbaring di sisinya. Eyrin tak menolak ketika Edgar mulai membuka satu persatu kancing piyamanya dan dengan perlahan mulai mendekatkan bibir mereka. Namun, baru sedetik bibir mereka menempel. Suara ketukan di pintu menginterupsi udara hangat yang mulai menyelimuti keduanya. “Eyrin!! Eyrin!!!” Eyrin mendorong d**a Edgar menjauh dan langsung terduduk sambil mengancingkan piyamanya. Tok ... tok ... tok ... Ketukan lebih keras menyusul lagi. “Pakai pakaianmu.” Eyrin melempar piyama tidur Edgar dan turun dari kasur. Melangkah mendekati pintu sambil membenarkan rambut dan pakaiannya yang baik-baik saja. Setelah menunggu Edgar selesai berpakaian, Eyrin membuka pintu. “Ya, Ma?” Sonia langsung masuk. “Eyrin, papamu mendadak harus pergi keluar kota. Salah satu truk di luar kota mengalami kecelakaan.” Eyrin tertegun sejenak mencerna pernyataan mamanya. Lalu matanya mengerjap sekali dengan tangan menyentuh leher. Jika ia takut pada jarum atau segala macam peralatan medis, mamanya adalah penakut paling mengkhawatirkan yang ada di dunia ini. Dengan imajinasi mamanya yang selalu mengada-ada dan tak masuk akal, mamanya tak pernah berani tidur sendirian. Jika papanya sedang harus ke keluar kota, maka ialah satu-satunya cadangan yang harus menemani mamanya tidur. “Malam ini, mama sendirian di rumah. Jadi ...” Pandangan Sonia beralih pada Edgar yang duduk di pinggiran ranjang. Eyrin meringis, menyerahkan keputusan pada Edgar. Keluarga mereka punya lebih dari sepuluh pelayan yang melayani selama dua puluh empat jam, dan mamanya mengatakan sendirian di rumah? “Edgar, tidak apa-apa, kan, jika malam ini Eyrin menemani mama di rumah?” Sonia menggabungkan kedua telapak tangannya di depan d**a dan menatap Edgar dengan tatapan memohon. Matanya mengerjap-ngerjap merayu dan bila perlu ia akan menumpahkan air matanya. Edgar memaksa satu senyuman di bibir. Lalu mengangguk. “Tidak apa-apa, Ma.” Seketika wajah Sonia berubah cerah. Memeluk dan mengecup pipi menantunya lalu menarik tangan Eyrin keluar kamar. “Ayo, kita pulang.” Edgar menatap kosong pintu kamar yang tertutup. Lalu mengusap-usap kasar wajahnya sambil membanting tubuhnya di kasur. Geraman keras keluar dari tenggorokannya. Sialan, sekarang ia harus meredam gairah yang sudah sampai di ubun-ubun hingga besok lagi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD