Part 12

1194 Words
Edgar merasa dirinya sudah kehilangan kewarasan. Hasrat sudah memenuhi pria itu hinga naik ke ubun-ubun. Dan karena terlalu jauh juga terlalu lama untuk sampai di rumah. Edgar menghentikan mobilnya di hotel terdekat. Memesan kamar, dan langsung naik. Bahkan masih menyempatkan mencium Eyrin di lift. Begitu masuk di kamar yang mereka pesan, dengan lihainya pria itu melucuti pakaian Eyrin dan membawa tubuh mereka naik ke ranjang. Menyentuh Eyrin di mana pun dan menuntaskan hasrat yang seakan tiada habisnya terhadap tubuh Eyrin. Mencumbu, menyentuh, mengelus, mencium, dan menggigit dengan penuh nafsu yang berkobar. Well, mereka pengantin baru. Kesediaan Eyrin dan gairah muda Edgar yang menggebu-gebu, tentu tak ada halangan bagi keduanya untuk saling memuaskan diri dan pasangannya, kan. Terlebih tak ada gangguan mamanya, mamanya Eyrinm ataupun Regar di tempat ini. Berkali-kali, hingga Edgar berhenti ketika Eyrin mengeluh lelah dan tak bisa membuka matanya karena terlalu mengantuk. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah memejamkan mata dalam dekapan hangat Edgar dan akhirnya Edgar memberikan apa yang diinginkannya. Rasanya baru beberapa saat yang lalu Eyrin memejamkan matanya, ia kembali terbangun oleh suara dering ponselnya. Ia menggeliat pelan, mengabaikan suara yang mengganggu itu. Tetapi lagi-lagi dering itu membuatnya mengerang keras. “Edgar, ponselmu,” gumam Eyrin dengan mata masih terpejam erat dan tangan menggoyang-goyangkan lengan Edgar yang melingkari pinggangnya. Tak ada sahutan dan suara ponsel itu masih terdengar. Menusuk-nusuk telinganya dari alam bawah sadar. Memaksa tangan Eyrin meraba-raba ke samping nakas, merogoh tasnya, dan membawa ponsel itu di telinganya. “Hmm??” Suara tawa Regar yang dipanjang-panjangkan menyahut dari seberang. “Di ... mana kau?” Regar tertawa lagi. Sial, ia lupa Regar masih di klub malam dan pergi tanpa ijin pria itu karena Edgar. Tapi ia pun terlalu lelah untuk kembali, bahkan untuk membuka mata. Eyrin mengingat-ingat nama hotel yang ia masuki bersama Edgar. “My Night. 15 ... 0 ...7.” Eyrin tak ingat lagi, setengah kesadarannya kembali menggelap dan terlelap dalam mimpinya. Sebelum kemudian gangguan lainnya datang lagi. “Eyrin! Bangun!” Suara Edgar yang bergema di telinga dan goyangan pelan di lengan berusaha membelah alam mimpi penuh ketenangan Eyrin. Wanita itu tak bergerak dan mengeluarkan erang pelan akan gangguan yang datang. “Bangun Eyrin.” Goyangan di lengannya semakin kuat dan memaksa Eyrin membuka mata. Melihat wajah Edgar yang begitu dekat dengan wajahnya. “Kita harus pulang.” “Masih mengantuk.” “Tidak bisa. Kau harus bangun sekarang.” Eyrin kembali memejamkan matanya. “Kau pulang duluan.” “Tidak bisa!” Suara Edgar terdengar lebih kuat. Memaksa Eyrin membuka kedua matanya yang menempel erat.   “Seluruh badanku terasa nyeri dan pegal, Edgar,” rengek Eyrin dengan suara parau sehabis bangun tidur.   “Kalau begitu aku akan menggendongmu.” Eyrin merasa tubuhnya melayang dan terayun. Kedua tangannya melingkar di leher Edgar dan wajahnya menempel di d**a Edgar. Sangat hangat, sangat nyaman, dan harum. Tetapi kemudian kehangatan itu lenyap saat Edgar menurunkan tubuhnya dan kakinya menginjak lantai yang dingin.  “Kau harus bergegas mandi.” Edgar melepas jubah tidur dari tubuh Eyrin kemudian membalik tubuh wanita itu dan mendorongnya ke bawah shower. Eyrin terkesiap, matanya membeliak kaget ketika air shower yang dingin langsung mengguyur kepala dan seluruh tubuhnya. “Edgar!” jeritnya sambil melompat mundur. “Atau kauingin kumandikan?” Mata Eyrin terbuka lebih lebar. Ya, mereka memang beberapa kali telanjang bersama di ranjang. Tetapi mandi bersama tetap saja membuatnya merasa canggung. Terutama saat menyadari ketelanjangannya saat ini sedangkan Edgar sudah rapi dengan pakaian santai pria itu yang berbeda dengan yang dipakai tadi malam ketika menjemputnya di klub malam. Eyrin langsung menutupi d**a dan pangkal pahanya dengan kedua tangannya, menyadari tatapan menurun Edgar yang mulai dihiasi gairah. Tidak, tenaganya belum pulih setelah kegilaan Edgar tadi malam, dan ia tak ingin itu berlanjut sepagi ini.   “Keluarlah, aku akan mandi sendiri.” Eyrin mendorong d**a Edgar menjauh dan mundur ke belakang. Secepat mungkin menggeser pintu kaca dan kembali berdiri di bawah guyuran shower menggosok seluruh tubuhnya. Edgar tersenyum tipis, mengamati bagian belakang tubuh Eyrin yang telanjang. Jika tidak ada sesuatu yang menahannya untuk bergabung bersama Eyrin di luar, mereka berdua pasti sudah kembali terbakar di bawah guyuran shower. Dan mungkin akan keluar setelah kulit Eyrin memucat karena terlalu lama terguyur air dingin. Sialan, adiknya benar-benar pengganggu. Edgar membanting tertutup pintu kamar mandi dengan kesal.   ***   Selesai mandi, Eyrin melihat kantong berisi pakaian baru diletakkan di meja di samping wastafel, yang sepertinya diperuntukkan dirinya. Dress yang panjangnya di bawah lutut dan lengan yang hampir menutupi telapak tangan, berwarna mint dan terasa longgar di tubuhnya ini benar-benar pakaian terburuk yang pernah ia kenakan. Pakaian ini nyaris menenggelamkan tubuhnya yang mungil dan Eyrin mulai tak yakin pakaian ini untuknya. Selama ini isi lemarinya dipenuhi dengan pilihan Regar. Yang kesemuanya paling tidak memamerkan salah satu dari paha, d**a, lengan, pundak, atau bahunya. Selalu pas di tubuhnya. Selera Edgar benar-benar membosankan. Kerah yang hampir menutupi seluruh leher membuatnya tak bisa bernapas, meski kain itu berhasil menutupi kissmark yang memenuhi kulit lehernya. “Kau salah memilih nomor, Edgar. Ini lima nomor di atas ukuranku,” gerutu Eyrin berjalan keluar dari kamar mandi.   Edgar yang duduk di sofa menoleh. Mengamati penampilan Eyrin dari atas ke bawah dengan kepuasan. “Tidak. Aku memilih ukuran yang tepat.” Bibir Eyrin manyun. Mengepak-ngepakkan kedua tangannya seperti burung sambil berjalan menghampiri Edgar. “Kau membelikanku selimut.” Edgar hanya menyeringai. Satu persatu, ia harus mulai mengganti pakaian Eyrin di lemari. “Duduk dan makanlah.” Eyrin hendak menurunkan pantatnya di sofa ketika tanpa sengaja gerakan dari arah ranjang membuatnya menoleh. Tersentak kaget, menemukan sosok lain yang berbaring di ranjang. “Regar?” “Sejak kapan dia ada di sini? Dan ... kenapa dia ada di sini?” tanya Eyrin pada Edgar yang mulai menyantap roti dengan sikap santainya. Sama sekali tak terkejut dengan kekagetannya akan keberadaan Regar di kamar mereka. “Kaupikir?” desis Edgar dengan tatapan tajamnya. Semalan ia terbangun karena suara gedoran di pintu, berpikir suara itu akan membangunkan Eyrin yang kelelahan dan berniat memaki si pembuat onar. Ia membuka pintu dan Regar yang sudah kehilangan kesadaran karena pengaruh alkohol, meracau tiada henti dan menghambur ke arahnya. Dengan sempoyongan menerobos masuk dan langsung berbaring di ranjang di samping tubuh polos Eyrin yang hanya ditutupi oleh selimut. Setelah aktifitas panas mereka. Dilanda kefrustrasian yang tak tahu harus dilimpahkan ke mana. Edgar bergegas mendorong tubuh Regar menjauh dari istrinya, memakaikan wanita itu jubah tidur dan menutup tubuh Eyrin dengan selimut. Kemudian ia berbaring di tengah dan memeluk tubuh Eyrin erat-erat memunggungi Regar. “Lain kali biarkan dia tidur di jalanan. Semalaman aku tidak bisa tidur karena suara dengkurannya,” sinis Edgar. Merasakan lingkaran hitam di kedua matanya karena tak bisa tidur setelah kedatangan Regar. Takut jika ia tertidur dan lengah, kemudian Regar dan Eyrin berbaring bersama melihat tingkah Regar dan Eyrin kalau tidur selalu banyak gerak dan tak bisa diam. Ia sudah mencoba membangunkan Regar dan memindahkan tubuh pria itu ke sofa karena tak mungkin ia membiarkan Eyrin yang pindah ke sana. Tetapi Regar mengerang marah dan bahkan memukul kepalanya. Ia benar-benar harus memberi pelajaran pada Regar. Eyrin meringis sambil mengusap lehernya yang tak gatal penuh rasa bersalah. Ia memang ingat Regar menelpon dan memberitahu di mana dirinya berada setelah itu ia tidak ingat apa-apa. “Aku benar-benar tak bisa memberi kelonggaran lagi pada hubungan kalian, Eyrin. Kau sudah menjadi istriku dan kedekatan kalian mulai menjadi tidak normal.” Wajah Eyrin membeku. Karena kata-kata Edgar juga oleh tatapan pria itu yang menjadi lebih tajam. Dingin dan ... serius. Amat sangat      *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD