Part 2

1826 Words
Seperti yang Eyrin ramalkan. Setelah kecewa karena tak ada aroma makanan apa pun yang membuat perutnya mula –yang kata Mamanya adalah tanda-tanda seorang wanita sedang hamil-, Mamanya tak henti-hentinya menyodorkan berbagai jenis makanan yang bisa menambah kesuburan rahimnya. Sudah cukup setiap hari ia berpura-pura tak tahu jika mama mertuanya menyelipkan entah ramuan apa di gelas minumannya, dan berkat bantuan Regar, ia bisa makan makanan apa pun tanpa sepegetahuan mama mertuanya. “Kau hanya perlu hamil dan melahirkan, dan biarkan mama dan tante Lely ...” “Mama, Sonia.” Lely membenarkan panggilan Sonia untuk dirinya. “Iya, biarkan mama dan mama Lely yang akan mengurus anakmu nanti.” “Tapi ... ini masih terlalu awal untuk mempunya anak, Ma. A-aku dan Edgar baru saja menikah. Kami perlu beradaptasi ...” “Beradaptasi? Kalian sudah saling mengenal sejak masih bayi,” sergah Sonia. “Kami tidak terburu-buru.” Eyrin melirik ke arah Edgar yang duduk di kursi seberang, sibuk menunduk dan tenggelam dalam tablet di genggaman pria itu. “Benar, kan, Edgar?” Sonia dan Lely menoleh ke arah Edgar. “Pst, Edgar!” panggil Eyrin. Edgar mendongak. Mengangkat alisnya dan menatap bergantian mulai dari Lely, Eyrin, dan Sonia. “Kau setuju, kan?” tanya Lely. Edgar tak tahu apa yang ketiga wanita itu bincangkan, ia hanya mengangguk sekali. Lalu berpamit ke lantai atas untuk memeriksa berkas-berkas Regar yang berantakan. “Melihat tubuh bugarnya, malam-malam kalian pasti sangat panas dan menggelora, kan?” Sonia menyenggol pundak Eyrin menggoda, matanya tak henti-hentinya mengamati bagian belakang tubuh Edgar yang menggiurkan. “Ma??” Eyrin memutar matanya jengah. Bahkan dalam pandangan mata wanita paruh baya seperti mamanya, Edgar adalah pemandangan terindah. Hanya wanita tidak normal yang tidak tergoda oleh pesona keseksian pria itu. “Papanya pun tak sebugar Edgar sewaktu masih muda. Kau benar-benar sangat beruntung, Eyrin.” “Kau yang memberinya keberuntungan ini,” sahut Sonia. Oke, pembicaraan ini mulai membuat Eyrin harus mengundurkan diri. Ia berpamit menjadikan toilet sebagai alasan. “Oke, kami memahaminya. Kalian masih muda.” Sonia mengangguk. “Pergilah. Edgar sudah menunggumu di kamar.” Eyrin membuka mulut, tapi kembali tertutup. Beranjak dari sofa menuju lantai dua. Menuju kamar Regar yang ada di bangunan sebelah kanan. “Regar!” Eyrin menerobos masuk ke dalam kamar Regar. Regar yang sedang sibuk berbicara mesra dengan ponsel di telinga dan berbaring di sofa panjang menoleh. Mengakhiri obrolan centil tersebut dengan suara ciuman yang menjijikkan dan kata-kata mesra yang membuat perut Eyrin mual. Tak ada waktu untuk berkomentar tentang mainan-mainan pria itu, Eyrin bergegas mengulurkan tangan. “Mana benda itu?” Regar mengerutkan kening, kemudian memahami apa yang dimaksud Eyrin dan menunjuk kantong berwarna hitam mengkilat yang ada di meja. Eyrin berjalan mendekati benda yang ditunjuk Regar, mengeluarkan isi kantong tersebut sambil merapal mantra. Lingerie berwarna ungu yang tadi siang dilihatnya di butik. “Kau yakin aku harus mengenakannya?” tanyanya lagi meyakinkan pendapat Regar yang sudah berdiri di sampingnya. Setelah menurunkannya di rumah tadi siang, ia tahu Regar pasti mampir ke butik itu lagi. Tahu sekarang atau nanti dirinya akan membutuhkannya benda itu.   “Aku akan mencobanya. Satu kali saja. Jika tidak berhasil, mulai besok kau tidak akan menjadi kakak iparku lagi,” ucap Eyrin. “Oke.” Regar mengangguk, lalu meletakkan tangannya di kedua pundak Eyrin. Memberi wanita itu dukungan dan semangat. “Apa yang harus kulakukan?” “Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan dengan kain itu? Walaupun kau bukan seorang pria di mataku, kau pasti tahu pikiran seperti apa yang diinginkan oleh seorang pria, kan?” Senyum tersirat di bola mata Regar yang seketika berkilau. Lingerie dan wanita, semua akan berakhir sangat panas dan membakar. “Aku membayangkan, lampu kamar yang remang, lilin, bunga, anggur, dan kau sebagai makanan utamanya.” Mulut Eyrin meringis jijik. “Kauyakin?” Regar terkikik. “Bercanda.” “Serius, Re.” “Oke. Tunggu sebentar.” Regar mengerutkan kening, tampak berpikir sejenak. “Aku akan masuk ke ruang kerja Edgar, memasukkan obat perangsang ke minumannya, lalu kau menunggu di kamar mengenakan lingerie seksi itu. Aku akan membawanya ke kamar kalian, dan kau hanya perlu menggodanya satu kali, aku yakin dia akan langsung menangkapmu. Sepertinya satu kali cukup untuk membuatmu hamil dan membuat mama kita bungkam. Bagaimana?” Eyrin tak yakin itu ide yang bagus untuk penyelesaian permasalahan mereka. Tetapi ia sudah merasa sangat putus asa. “Baiklah, cukup satu kali aku akan mengorbankan harga diriku. Jika ini tetap tidak berhasil, mungkin aku akan turun ranjang dan menikah denganmu.” Regar membelalak. Segera menjauhkan kedua tangannya dari tubuh Eyrin dan menyentuh tengkuknya. “Kau membuat bulu kudukku berdiri, Ey. Semangat kita mendadak berubah menjadi horor.” “Maka buat rencana ini berhasil!” Eyrin mengepalkan tangannya di udara. “Yeayy!!” Regar memukulkan kepalan tangannya menyentuh kepalan milik Eyrin. “Kita pasti berhasil!”   ***  Keesokan harinya ... Hancur berantakan. Selesai. Ia menyerah. Pagi itu, Eyrin bangun lebih pagi dan sibuk menyiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Menghindari bertatapan dengan Edgar dan bersikap seolah pria itu adalah makhluk tak kasat mata yang juga tak peduli dengan keberadaannya. Tak ingin makan pagi di meja yang sama dengan Edgar, Eyrin bergegas berangkat ke kantor dengan menyeret Regar dan sarapan di restoran langganan mereka. “Aku tak tahu bagaimana dia bisa tahu aku memasukkan sesuatu di minumannya, dan dia menebaknya dengan sangat tepat,” ucap Regar penuh penyesalan dan keheranan yang belum lenyap sampai sekarang. “Dua puluh tiga tahun hidup sebagai adiknya, aku baru tahu kalau dia punya indera keenam.” Eyrin mengembuskan napasnya dengan keras. Tak sungguh-sungguh mendengarkan gerutuan Regar karena rasa malu yang ia pendam dalam-dalam sejak tadi malam, kini kembali merebak di wajahnya ketika mengingat kejadian tadi malam. Bagaimana Edgar yang sama sekali tak melirik ke arahnya ketika ia berdiri menggunakan lingerie seksi itu di depan kamar mandi, setelah menunggu Edgar selama satu jam lebih. Ia berpose seseksi mungkin menyambut kedatangan Edgar dengan harapan akan menghabiskan malam panas konyol dengan pria itu. Dan dengan sikap dinginnya, Edgar hanya berkata, ‘Apa kau tidak tidur?’ “Dia juga mengatakan agar berhenti bergaul denganmu karena aku hanya memberinya pengaruh yang buruk. Ck, Apa di kamarmu tidak ada kaca?” decak Regar. Ponsel di tasnya yang mengintip keluar, tampak bergetar sejenak tanda satu pesan masuk. Eyrin membukanya kemudian membuang napas lagi. “Kenapa? Edgar?” Regar menjulurkan kepalanya ke seberang meja, mengintip layar ponsel yang menambah kegalauan Eyrin. Eyrin menunjukkan notif mbanking di layar ponsel. “Aku hampir mengira dia seorang pemurah,” sinis Eyrin. Mata Regarr membelalak,  kembali menghitung deretan nominal yang berjajar menambah saldo rekening Eyrin. “Kenapa gajimu sebagai istri lebih banyak daripada aku yang manager pemasaran?” Regar menarik tubuhnya menempel di sandara kursi restoran, sambil mengeluh, “Ini benar-benar tidak adil!” Eyrin melempar ponselnya ke tas. Ia bahkan lebih senang ketika gaji kerja –tidak terlalu- kerasnya masuk ketimbang uang dari Edgar yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Bertopang dagu dengan telunjuk mengetuk-ngetuk pipinya. Tampak berpikir keras. Sebulan mereka menikah, ini pertama kalinya Edgar mengiriminya uang. Sejak pernikahan, segala kebutuhannya tercukupi dengan benar. Gajinya sebagai asisten Regar lebih dari cukup untuk bersenang-senang dengan Regar selama sebulan penuh. Yang tentu saja berbeda dengan gaji para asisten di perusahaan Arsafarich, karena papa mertuanya memasukkannya ke perusahaan sebagai keluarga. “Uang ini adalah kunci kebebasanku,” gumam Eyrin pelan ketika mendadak sebuah ide muncul di kepalanya. “Apa maksudmu?” Eyrin hanya diam. Sekarang semuanya akan benar-benar selesai.   ***     “Hai, Edgar. Apa aku mengganggumu?” kata Eyrin melongok di pintu ruang kerja Edgar malam itu. Setelah seharian menimbang-nimbang keputusannya, ia pun memberanikan diri menemui Edgar di rumah. Yang tentu saja akan menghabiskan lebih waktu di ruang kerja ketimbang di kamar mereka. Eyrin masih berdiri di depan pintu menunggu Edgar mempersilahkannya masuk. Sedikit gugup, tapi ia berusaha menghalau perasaan itu. Edgar menunjukkan map yang dipegangnya. Mengisyaratkan pada wanita itu untuk menunggu sebentar. Tapi sekarang Eyrin sedang tak ingin menunggu karena takut keputusannya akan berubah dan keberaniannya akan pergi. Menggeram dalam hati, ‘Sialan, masalah kita lebih penting dari pekerjaanmu itu!’ Eyrin pun melangkah masuk, membanting pintu ruang kerja Edgar saat menutupnya. Okey, sudah cukup dirinya menjadi nomor dua bagi suaminya sendiri. Eyrin berdiri di depan meja kerja Edgar dan berkata dengan tegas, “Sebenarnya aku tidak peduli apa aku mengganggumu atau tidak.” Edgar tertegun, mengamati ekspresi memaksa di wajah Eyrin. Wanita itu seperti hendak meluapkan sesuatu entah apa itu yang tengah ditahan. Ada ekspresi sekuat baja di manik Eyrin, yang sebenarnya tak diperlukan. Karena ia akan memberikan perhatian penuhnya pada wanita itu kapan pun Eyrin minta. “Setidaknya berikan perhatianmu beberapa menit saja padaku yang tidak penting ini sebelum kau kembali pada pekerjaan terpentingmu itu, Edgar.” Edgar masih terdiam. Sekali lagi mengamati wajah Eyrin dengan kening berkerut. Ada cubitan kecil di hatinya dengan penggunaan kata ‘penting’ dalam kalimat Eyrin. Eyrin tentu orang terpenting dalam kehidupannya sejak sumpah pernikahan diucapkan, dan pekerjaannya tidak sepenting seperti yang wanita itu katakan. “Baiklah,” kata Edgar. Menutup map yang ada di hadapannya dan memberikan perhatian penuhnya pada Eyrin. Wanita yang sudah menjadi istrinya sebulan ini. Cantik dan manis dengan caranya sendiri. Eyrin menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kasar dan berkata, “Apa kau yang mengirim uang ke rekeningku?” Edgar mengangguk sekali. “Untuk?” Kedua alis Edgar bertaut heran dengan pertanyaan aneh Eyrin. “Kau istriku.” “Hah, istri kau bilang?” Eyrin mendengus, jawaban Edgar seperti yang sudah ia terka. Tawanya benar-benar akan meledak jika saja ia tidak ingat betapa marahnya dia dengan ekspresi terlalu tenang yang ditunjukkan Edgar saat mengatakan kata ‘istri’. “Aku tak butuh uangmu.” “Kau bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu.” “Oh, ya? Apa aku juga boleh menggunakannya untuk mengurus perceraian kita? Sepertinya aku butuh pengacara mahal hanya untuk sekedar menghamburkan uangmu.” Edgar tercenung. Wajahnya yang datar kini lebih datar lagi. Punggungnya menegang ketika dengan begitu lancarnya kalimat itu meluncur dari bibir Eyrin dengan sangat lancar. Perceraian? Apa wanita itu tahu dampak yang diberikan padanya? “Aku sudah muak dengan pernikahan ini, Edgar. Terutama padamu. Kau menganggapku seperti duri, seperti ….” Eyrin berhenti. Otaknya berputar mencari kosakata yang tepat. “… seperti kerikil, batu atau seperti entahlah apa pun itu sebagai penghalang di kehidupanmu yang sempurna.” Eyrin berhenti. Kembali mengingat kata-kata apa yang terlewat di ingatannya yang hendak ia semburkan pada Edgar. Setidaknya ia perlu mengeluarkan segala unek-unek yang mendekam di kepalanya sebelum ia dan Edgar benar-benar bercerai, kan. “Eyrin, kau bukan ….” “Apa ada yang salah dengan tubuhku? Apa mataku terlalu besar? Apa tubuhku terlalu gemuk? Atau wajahku terlalu aneh?” Edgar menggeleng, “Tidak ada yang salah dengan tubuhmu.” “Apa aku kurang memenuhi seleramu untuk kau tiduri?” Edgar menggeleng lagi. Lehernya sudah cukup pegal setelah menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerja dan menekuni semua pekerjaan, dan sekarang seperti akan patah hanya untuk menolak semua pernyataan yang dilemparkan Eyrin di depan mukanya. “Lalu kenapa kau tidak pernah menyentuhku? Kau bahkan tidak pernah ingin melihat wajahku. Apa aku kurang cantik untuk dipandang sebagai istrimu? Sepertinya matamu yang bermasalah.” Eyrin hampir berteriak melampiaskan semua kekesalan dan kecamuk yang ditahannya sejak malam pengantin mereka sebulan yang lalu. Ia tak sanggup lagi diperlakukan selayaknya parasit bagi Noah. “Eyrin.” Edgar berdiri dari duduknya, “aku ….” Eyrin terdiam, menunggu selama beberapa detik agar Edgar melanjutkan kata-kata pria itu. Tapi Edgar hanya membungkam sambil menyusurkan jemari di rambut. Nampak begitu tertekan dengan pembicaraan mereka. “Aku tidak akan memaksamu untuk terpenjara dalam pernikahan ini, Edgar. Mungkin ini jalan terbaik untuk kita berdua. Orang tua kita akan memahaminya.” Suara Eyrin mulai melunak. Kemudian wanita itu berbalik dan berlari keluar. Menghalangi air mata tumpah sebelum Edgar sempat melihatnya. “Eyrin!”   ***a
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD