Namun, belum sempat mereka membahas itu, pria tua itu langsung membuka suara.
“Tapi lebih baik kau membaca beberapa halaman dulu, sebelum kami memulai ini,” sahut seorang pria bernama Prof. Gil Beker hingga membuat Zea mendongakkan wajah kembali, menatapnya.
Prof. Gil Beker, pria berusia 69 tahun yang merupakan seorang Ilmuwan dan Ahli Biologi. Professor Gil adalah rekan kerja Zea. Dia sudah menganggap Zea sebagai cucunya sendiri.
Beberapa orang yang ada disana langsung melirik ke arah Prof. Gil.
“Ya … aku pikir Professor Gil benar. Zea harus membaca beberapa halaman terlebih dulu agar tidak bingung dan bisa menyesuaikan pikirannya dengan cawan petri yang ia lihat,” ujar pria berdiri tepat di sebelah Professor Calder Dilbert.
Pria itu, dr. Atlas Blakeley. Pria berusia 28 tahun. Seorang Dokter sekaligus Ilmuwan di Laboratorium Nasional Amerika Serikat. Dia juga bekerja di laboratorium yang sama dengan Zea.
“Bukankah seharusnya begitu? Zea memang harus membaca terlebih dahulu agar dia tidak bingung dengan penelitian baru kita,” ujar pria yang berada di sebelah sana, di seberang meja.
Semua orang menatapnya serius. Terutama Zea. Yah, pria itu bernama Axton Bouncour. Pria berusia 28 tahun, dia seorang Ilmuwan yang juga merupakan anggota satu tim di laboratorium Zea.
Zea menatap tajam pria yang berkata barusan.
“Ya … aku tahu kalau membaca itu memang penting. Tapi aku bisa sedikit paham kalau kalian langsung menjelaskannya padaku. Karena buku ini akan menjadi penuntunku bila aku tidak paham. Bukankah begitu?” ujar Zea menatap mereka bergantian.
Wanita itu mengangguk paham.
“Ya sudah. Bacalah, Zea. Kami akan menjelaskannya padamu,” ujar wanita yang berdiri di sisi kanan Zea.
Wanita itu, dr. Viona Jocasta. Dia seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik-Infeksi. Dia juga salah satu Ilmuwan yang bekerja di Laboratorium ini, sama seperti yang lain.
Zea mengangguk kecil menatap mereka bergantian. Dia menghela napas lalu kembali menatap lembaran pertama di map yang tengah ia pegang. Zea mulai membacanya.
Setelah hampir beberapa menit ia membaca sampai beberapa halaman, Zea mengerutkan kening. Dia menoleh ke kanan, menatap dr. Viona lalu melirik mereka bergantian.
“Kenapa diam, Dok? Prof? Silahkan jelaskan. Aku akan mendengarkannya,” ujar Zea menatap mereka semua bergantian. Dia menoleh ke kanan, melihat wanita yang akrab disapa dr. Viona.
“Dok? Kenapa kalian diam saja?” tanyanya lagi.
Wanita yang merupakan rekan kerja Zea sekaligus telah menganggap Zea sebagai putrinya sendiri, dia kembali membuka suara.
“Zea … sepertinya kami harus memberimu waktu beberapa menit untuk membacanya. Tidak masalah, kami akan menunggu sampai kau selesai,” ujar dr. Viona.
Pria berusia 72 tahun itu mengangguk sambil berjalan lambat mendekati Zea.
“Baca sebentar saja, kami bisa menunggumu. Sepertinya saran yang lain memang benar,” ujar Prof. Calder.
Professor Calder Dilbert adalah seorang Ilmuwan sekaligus Ahli Virologi. Usianya sudah 72 tahun, sehingga hampir semua rekan kerja satu profesi di tim mereka menyebutnya sebagai sesepuh.
Apapun yang menjadi saran atau kritikannya pasti akan dipertimbangkan dengan matang. Apalagi Beliau adalah Ahli Virologi yang sudah pasti paham mengenai berbagai virus. Beliau termasuk salah satu Professor ikut menangani dan meneliti virus yang sekarang ini tengah melanda dunia.
Zea menatap mereka bergantian. Entah kenapa, rasanya dia ingin memberontak dan mengatakan bahwa tidak masalah jika mereka menjelaskan sembari dirinya membaca penelitian yang ternyata tidak ia ketahui dari timnya.
“Zea, ayolah … kau membaca tidak memakan waktu 30 menit. Dan kami akan menunggu disini,” ujar Rega.
Rega Matthias, wanita berusia 27 tahun. Dia juga seorang Ilmuwan di Laboratorium ini. Selain rekan kerja, dia dan Zea juga sudah menjadi sahabat setelah berada di satu tim yang sama.
Walau Rega berada 1 tahun diatas Zea, tetapi pertemanan mereka layaknya usia sebaya. Selain berada di satu frekuensi yang sama, mereka juga saling bertukar pendapat dan sering melakukan curahan hati satu sama lain disela-sela waktu santai.
Zea masih memperhatikan mereka satu sama lain. Mereka semua mulai duduk di kursi tinggi sambil menunggunya selesai membaca.
Tidak mau membuat mereka menunggu lebih lama, akhirnya Zea mengalah. Dia menarik satu kursi tinggi di dekatnya, lalu mendaratkan bokongnya disana.
Dia menoleh ke kiri, melihat Prof. Calder yang duduk di sebelahnya.
“Baiklah. Aku akan melanjutkannya lagi,” ujarnya kembali membaca map putih yang tengah ia pegang. Dia membaca beberapa halaman yang tersisa sambil melirik mereka yang masih diam menatapnya.
Hening, yah ... memang hening. Laboratorium mereka akan selalu hening bila mereka tengah bekerja. Tidak ada suara apapun karena konsentrasi masing-masing berada pada pusat tertentu.
Termasuk sekarang ini, mereka diam dan tidak banyak bersuara meski hanya dengan gerakan sekalipun. Karena mereka tahu bahwa Zea perlu berkonsentrasi dengan halaman yang tengah dibaca.
Mereka juga memperhatikan Zea, sesekali dia melirik beberapa cawan petri yang berada di tengah meja keramik putih, di hadapan mereka.
“Haahh …” Zea menarik panjang napasnya, lalu membalik halaman pertama.
Dia menatap mereka, lalu menoleh ke arah dr. Viona yang duduk di sebelah kanannya.
“Aku sudah memahaminya. Kalian ingin menjelaskannya lebih dulu atau aku yang bertanya pada kalian?” tanya Zea menatap mereka satu persatu.
Yah, inilah yang mereka kagumi dari sosok Zea Mays Coates. Wanita berusia 26 tahun itu sangat cepat tanggap. Tidak heran bila ia memiliki kecerdasan diatas rata-rata bahkan menyeimbangi kecerdasan Prof. Calder dan Prof. Gil.
Apalagi seisi Laboratorium Nasional ini paham kalau Zea berwatak keras. Apa yang sudah menjadi keinginannya, sudah pasti akan dia lakukan.
Seperti sekarang ini, sejak awal Zea tetap bersikeras untuk melanjutkan penelitian mengenai satu ramuan yang ia anggap bisa menjadi solusi untuk menghancurkan virus yang tengah bertebaran di udara bebas.
Walau Badan Kesehatan Dunia sudah melarang keras, tapi Zea tetap teguh pada pendiriannya. Wanita itu mengatakan bahwa penelitiannya tidak berbahaya. Dia tidak akan mempraktekkannya secara langsung sebelum menemui kebenaran bahwa ramuannya bisa berhasil menyembuhkan dunia dan seisinya.
Mereka saling melirik satu sama lain mendengar pertanyaan Zea barusan. Kemudian Prof. Calder mulai membuka suara.
“Kalau kau ingin bertanya, tidak masalah. Tanya apa yang ingin kau tanyakan pada kami,” ujar Prof. Calder.
“Ya, Zea. Aku yakin kau bisa memahaminya dengan cepat. Bicaralah. Tanyakan saja,” sahut Rega.
Sementara dr. Viona masih menatap lekat Zea. Dia merasa bahwa Zea sedikit tidak menyetujui mengenai media bakteri yang mereka buat.
Entah untuk alasan apa, tapi dia tahu bahwa Zea bukan tipikal yang mudah untuk mempercayai segala sesuatu jika dia tidak meneliti dan mencari tahu secara langsung. Sikap diam Zea sedikit membuat dr. Viona paham.
“Atau kau ingin mengatakan sesuai mengenai pembiakan bakteri dan virus ini?” tanya dr. Viona lalu menatap mereka sekilas, bergantian.
Mantap, Zea langsung mengangguk iya.
“Sebelumnya … aku minta maaf dan sangat menyayangkan untuk apa yang aku pahami dari kebaikan kalian, Professor, Dokter. Kalian mencoba untuk membantuku,” ujar Zea tersenyum tipis sambil melihat 10 cawan petri yang masih ada di hadapan mereka.
Hening, mereka masih mendengarkan dengan baik apa yang hendak disampaikan oleh Zea. Namun, dari kalimat pembukaannya, sepertinya Zea kurang menyetujui pembiakan bakteri yang dicampur oleh virus lain untuk menguji ramuan yang diracik oleh Zea.
“Bukan aku tidak menghargai kalian. Tapi apa yang aku racik, tidak cocok bila diuji dengan bakteri dan virus yang kalian tanam di media ini,” ujarnya sambil menatap media disana.
“Kalian tahu sendiri … kalau apa yang aku racik hanya difokuskan untuk tidak hanya menghambat tetapi juga membunuh massal virus-virus yang bertebaran di udara,” sambung Zea lagi. Dia menutup map putih yang tengah ia pegang, kemudian meletakkannya diatas meja keramik putih itu.
Dia tersenyum menatap mereka.
“Terima kasih … Prefessor Calder, Professor Gil, dr. Atlas, Axton, dan … dr. Viona. Terima kasih karena kalian sudah berniat membuat ini selama 2 minggu untuk membantuku. Jika aku tahu dari awal … mungkin aku bisa menghentikan penelitian ini sebelum aku menolaknya seperti sekarang,” ujar Zea tersenyum tipis.
Axton menyeringai sambil menggelengkan kepala.
“Kau tidak bisa menolaknya sebelum membuat uji cobanya, Zea?? Kita tidak akan pernah tahu hasilnya bila kau belum melakukannya, bukan??” ujarnya seakan tidak setuju dengan penolakan Zea mentah-mentah.
Mereka semua mengangguk kecil, menyetujui ucapan Axton barusan.
“Axton benar, Zea. Kau tidak bisa memutuskan ini dengan cepat. Bukankah kau bisa mengujinya lebih dulu? Kami akan menunggu hasilnya. Sementara kami akan mencari alternatif lain agar penelitianmu segera tuntas. Dan kau menemukan penawar yang tepat untuk virus Monodna,” jelas dr. Atlas Blakeley.
Wanita berusia 27 tahun itu berjalan maju dan menjangkau 1 cawan petri yang tersusun rapi disana. Dia sudah memakai sarung tangan tebal, sehingga tidak takut bila saja tangannya terkontaminasi dengan bakteri dan virus yang sengaja mereka tanam bercampuran di 1 media itu. Dia membuka suara.
“Kami tahu bahwa hanya kau yang mengetahui mengenai semua penelitianmu itu, Zea. Tapi tidakkah kau mau melakukannya? Aku sendiri sangat yakin jika saja bakteri dan virus ini bisa membantumu mencari jalan lain. Atau kau bisa menemukan bahan lain untuk dicampur oleh racikan yang sedang kau buat dan kau teliti,” ujar Rega Matthias ikut menimpali.
Prof. Gil mengangguk setuju.
“Ya, Rega benar. Dan kami tidak membenarkan apa yang sedang kami uji dan kami berikan untukmu. Tapi aku yakin, ini mungkin bisa bermanfaat untukmu, Zea. Ambil setidaknya 1 saja untuk kau uji. Jika tidak mau mengambil sisanya, biar kami membuangnya,” ujar Prof. Gil Beker berusaha untuk meyakinkan Zea.
Dia menoleh ke kanan, melihat dr. Viona yang sudah tersenyum padanya.
“Ikuti kata hatimu, Zea. Dan semua orang berhak mengikuti kata hati mereka. Tapi … kita juga tidak boleh mengabaikan saran dari orang lain jika itu demi kebaikan kita. Apalagi kami tidak mungkin melakukan ini tanpa alasan,” ujar dr. Viona terus tersenyum.
Rega mengangguk mendengarkan ucapan dr. Viona barusan. Dia meletakkan kembali cawan petri yang sejak tadi ia pegang.
“Ya sudah begini saja … kau ikuti kata hatimu. Apapun keputusanmu, itu artinya kau tahu apa yang terbaik untuk penelitianmu,” ujar Prof. Calder Dilbert berusaha membuat Zea yakin dan mau mencoba untuk menguji media bakteri dan virus yang sudah mereka kembangkan.
Zea menoleh ke kiri, melihat Prof. Calder sudah tersenyum. Otaknya berpikir cepat dan tidak berhenti sampai disitu. Dia melihat beberapa cawan petri disana telah ditumbuhi oleh beragam macam bentuk bakteri.
Sebenarnya dia juga tidak ingin menolak permintaan mereka. Sebab dia tahu bahwa membuat media pertumbuhan bakteri dan virus itu pasti mengalami beberapa kendala.
Apalagi media yang dipakai adalah untuk perkembangbiakkan bakteri jenis gram positif yang tahan asam. Dia sendiri belum tahu apakah bakteri aerob obligat yang tertanam dan tumbuh di media itu akan kalah atau menang dari Ribovirus yang ikut tertanam. Atau justru bakteri aerob obligat yang tertanam juga ikut mengembangkan Ribovirus yang ada di dalamnya.
“Tapi Professor, Dokter … ramuan yang aku buat hanya untuk diuji bersama virus, bukan bersama bakteri, apalagi untuk bakteri yang melekat dengan virus jenis Ribovirus. Kalian tahu sendiri bukan? Ramuanku hanya khusus untuk virus saja. Bukan untuk bakteri aerob obligat yang bertebaran di udara meskipun dia bersifat tahan asam,” jelas Zea menatap mereka satu persatu.
Mereka sempat hening selama beberapa detik, sebab mereka tidak mau asal bicara atau asal mengemukakan pendapat.
“Zea … kau tahu bahwa bakteri aerob obligat yang tahan asam juga bisa mempengaruhi virus influenza. Bahkan mereka sangat bebas di udara sejak zaman dahulu, jauh sebelum virus-virus mematikan ada, sebelum virus Monodna berkembang hingga menyatu bersama virus yang lain. Lalu apa salahnya jika kau menguji secara bersamaan tanpa harus terfokus pada Monodna IV-98??” sahut Axton mencoba untuk menyeimbangi Zea dan membuka pikiran wanita berusia 26 tahun itu agar tidak fokus hanya pada satu tujuan saja.
Zea menatap lekat Axton. Apa yang dikatakan Axton memang benar. Dia pernah memikirkan itu sebelumnya. Dan yah … Zea sudah meninjau apa yang sedang mereka bicarakan saat ini.
Hening, dia menatap lekat 10 cawan petri disana. Sebenarnya untuk bakteri jenis aerob obligat itu bukanlah hal yang sulit untuk menemukan penawarnya, sebab obatnya sudah ada atau hanya sekedar untuk meredam dan menghentikannya sementara. Tetapi untuk virus yang tengah melanda dunia sekarang ini, bukan hal yang mudah untuk menemukan penawarnya dan tidak bisa disepelekan.
“Aku tahu itu, Axton.” Zea menatap mereka, terutama menata lekat Prof. Calder dan Prof. Gil.
“Tapi … kalau aku menguji coba itu, justru aku akan bingung bagaimana kadar ramuan yang aku buat. Apakah benar cocok untuk Monodna IV-98 atau tidak,” ujar Zea menatap serius mereka.
Hening, mereka mencoba untuk merenungkan apa yang dikatakan Zea barusan. Yah, itu sangat masuk akal. Dan mereka melupakan satu hal itu.
..**..
Monodna IV-98 merupakan virus berbahaya yang melanda dunia mulai dari tahun 2198 hingga sekarang. Badan Kesehatan Dunia telah memutuskan pemberian nama virus Monodna IV-98 dengan mempertimbangkan beberapa hal penting.
Setelah diteliti dari jenazah pasien Monodna IV-98, virus ini merupakan salah satu virus dari tingkat taksonomi tertinggi seperti Riboviria. Virus ini merupakan salah satu kelas Monodnaviria.
Virus Monodna IV-98 menyebabkan kematian hanya dengan 3 hari dari masa inkubasi penyakit di dalam tubuh. Sistem kerja virus yaitu melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Hal ini mendorong klassifikasi virus ke dalam golongan virus imunodefisiensi.
Lalu, virus ini menyebar luas hingga menyebabkan pandemik global sejak tahun 2198 lalu. Itu sebabnya penyakit sekaligus virus ini diberi nama Monodna IV-98 yang artinya adalah Monodnaviria Immunodeficiency Virus tahun 2198.
Monodna IV-98 merupakan virus yang paling dibenci oleh seorang Zea Mays Coates. Karena virus Monodna IV-98 menyerang keluarganya, terutama kedua orang tuanya hingga nyawa mereka terampas dengan kejam.
Janji yang masih ia pendam di dalam benaknya menjadi semangat tersendiri untuk seorang Zea. Dia berjanji akan berusaha bagaimanapun caranya, supaya bisa menemukan penawarnya dan memusnakan virus yang tengah mengancam mereka.
Ini tidak hanya untuk kepentingannya, tetapi juga demi menyelamatkan nyawa keluarganya yang tersisa. Apalagi dia tidak sanggup mendengar berita tentang pasien Monodna IV-98 yang tengah sekarat. Sungguh, Zea tidak sanggup bila melihatnya.
Yah, walau pada hari itu penemuannya telah diejek masal oleh beberapa rekan kerja yang memang kurang menyukai Zea, tapi dia tidak patah semangat. Sebab beberapa rekan kerja seprofesi dan satu tim dengannya yang berada di lingkup yang sama, mereka justru sangat mendukung penelitian Zea.
Zea tahu kalau mereka juga ragu dengan hasil uji coba Zea selama beberapa bulan terakhir sejak Monodna IV-98 menyerang massal. Tetapi Zea tidak akan berhenti mencari tahu sampai ia menemukan keberhasilan dari penawar yang ia teliti.
…
Mereka masih menatap lekat Zea, membiarkannya berpikir untuk mengambil keputusan saat ini. Tidak lama kemudian, Zea kembali membuka suara.
“Baiklah,” ujarnya menatap mereka bergantian.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)