2. Hal Ganjil

1703 Words
Setelah terperanjat akan suara hempasan jendela, Alvin dan Novan saling tatap satu sama lain. Perasaan takut tergambar jelas di wajah Novan. Ya, selain cerewet dan banyak tanya, pria itu memang terkenal sebagai sosok yang penakut. Badannya saja yang besar. Tapi nyalinya memang sering menciut seperti kerupuk. "Vin, itu suara apaan? Kamu denger juga, kan?" Novan memutar bola matanya penuh awas. Menatap ke kanan dan ke kiri seraya terus menyelidiki suara apa yang baru saja ia dengar. "Iya aku juga denger," kata Alvin. "Wong suaranya nyaring gitu. Kayaknya, itu suara dari jendela kamar bang Raffi." "Mungkin kak Maria lupa nutup jendelanya," seloroh Novan. Perasaan takut masih saja menguasai pria berumur 34 tahun tersebut. "Tapi aneh nggak, sih? Perasaan di luar nggak lagi berangin, kan?" bisik Novan. Alvin menarik napas pelan, berusaha mengesampingkan rasa takut yang sedari tadi menjalar di hatinya. Bukan makhluk halus yang ia takuti. Alvin lebih takut kalau bunyi nyaring tadi berasal dari maling atau rampok yang mungkin mencoba untuk masuk ke rumah Bang Raffi. "Kamu tunggu di sini, aku intip keluar dulu takutnya itu orang jahat mau masuk rumah." Pelan-pelan Alvin menyeret kakinya menuju jendela. Baru beberapa langkah maju, tiba-tiba Novan menarik lengan pria itu. "Jangan Vin. Bahaya! Kamu denger sendiri, kata Juliar kita nggak boleh buka pintu, buka jendela atau keluar rumah kalau lagi bulan purnama. Nanti kalau kenapa-kenapa, siapa yang bakal tolongin? Lagian, nggak bisa apa, kamu liatnya pakai mata batinmu aja?" "Hush sembarangan!" Alvin dengan serta merta menjentik kening Novan. "Kelebihan yang aku punya itu nggak bisa juga dipakai seenaknya, Van." Asyik berbincang, suara hempasan jendela kembali terdengar. Bahkan sekarang lebih nyaring dari pada sebelumnya. Tak pelak, hal ini membuat Alvin dan Novan kembali terdiam. "Astaga, ini yang buat ribut maling atau setan, sih?" Novan kembali berseru takut. Pria itu bahkan langsung menarik Alvin agar kembali duduk di tepi ranjang. "Vin, suer tekewer-kewer. Kamu nggak usah ke mana-mana. Ini seriusan seremnya." Belum juga beberapa menit Alvin duduk, tiba-tiba giliran listrik yang sekarang malah padam tanpa permisi. Gelap? iya sangat gelap dan jangan lupa kalau saat itu juga sangat sunyi. Samar-samar hanya terdengar suara jangkrik dan terkadang suara lolongan anjing dari atas gunung yang tak jauh dari rumah bang Raffi. Sontak saja Novan yang memang ketakutan dari tadi langsung gelagapan. "Vin, aku nggak mau mati sekarang. Aku belum nikah. Aku takut kita kenapa-kenapa." "Huss, kamu ngomong apaan,sih!" sanggah Alvin. "Ini cuma mati lampu biasa, Van. Nggak bakal bikin kamu mati. Kamu diam di sini. Bia aku cari hp buat nyalain senter," ucap Alvin menenangkan. "Aku ikut ya aja, ya," mohon Novan. Ia terlihat benar-benar ketakutan sekarang. "Aku nggak kemana-mana Van," sahut Alibin. "Kamu ini mirip perempuan aja! Dasar penakut!" Detik berikutnya, Alvin langsung menyisiri setiap sudut kamar untuk mencari di mana ia meletakkan ponsel. Setelah dapat, Alvin langsung bergegas keluar kamar mencari lilin untuk penerangan. Seingatnya, Bang Raffi pernah mengingatkan kalau kotak p3k dan peralatan darurat seperti korek api lilin serta pisau kecil di taruh menjadi satu di atas kulkas. Dengan perlahan pria muda itu berjalan mencari kotak yang di maksud. Setelah ketemu apa yang dicari, Alvin langsung menyalakan lilin dan bersiap kembali ke kamar. Namun saat dirinya baru saja melangkah, ada pemandangn aneh yang sempat membuat Alvin sedikit terperanjat. Ia yakin benar kalau melihat sebongkah cahaya merah menyeruak masuk ke kamar kak Maria lalu berubah menjadi asap. Bukannya takut, Alvin dibuat semakin khawatir. Cepat-cepat pria itu berlari menuju kamar kakak iparnya tersebut seraya menggedor pintu. "Kak maria ... Kak maria! Kakak ada di dalam?" tanya Alvin begitu cemas. Namun, setelah beberapa kali memanggil nama kakak iparnya tersebut, tidak ada satu pun sahutan dari dalam kamar. Mungkin saja tidur kak Maria saat itu terlalu nyenyak sehingga tidak mendengar panggilan dari luar. Karena merasa tidak ada jawaban, Alvin memutuskan untuk langsung kembali ke kamar menemui Novan yang sudah sangat ketakutan. "Astaga Alvin, kamu ambil lilin di pasar apa gimana? Kenapa lama banget? Aku hampir mati ketakutan kamu tinggal sendirian di kamar!" protes Novan. "Nggak usah lebay, Van. Ini cuma mati lampu biasa. Kenapa heboh banget!" sahut Alvin dengan raut wajah kesal. "Kalau aja posisi kita saat ini ada di tengah kota, mungkin aku nggak bakal se-repot atau se-rempong seperti sekarang. Masalahnya, saat ini kita berdua lagi terdampar di desa terpencil yang bahkan sama sekali belum pernah kita kunjungi sebelumnya. Jelas aja aku takut kenapa-kenapa." "Ya sorry, Van," cicit Alvin. Ia tidak menyangka kalau Novan bisa se-emosi ini. "Tadi pas aku mau balik ke kamar, nggak sengaja liat kumpulan cahaya masuk ke kamar Bang Raffi trus berubah jadi asap. Karena khawatir, aku coba bangunin kak Maria." Novan menyipitkan sebelah matanya. "Terus, kak Maria nya bangun, nggak? "Nggak," sahut Alvin seraya menggelengkan kepala. "Udah biarin aja, Vin. Kita nggak usah usik. Lagi pula, Juliar tadi siang juga udah kasih peringatan untuk nggak keluar rumah selama bulan purnama berlangsung trus harus lebih hati-hati kalau terjadi sesuatu. Kita main aman aja dari pada kenapa-kenapa." Alvin kemudian mengangguk setuju. Rasa penasaran yang sebelumnya memuncak kini menguap begitu saja. "Ya udah, sekarang lebih baik kita tidur aja biar besok nggak kesiangan," ajak Alvin. "Nanti kejadian malam ini, kita coba ceritain sama Juliar. Siapa tau dia paham." **** Keesokan harinya, seperti biasa Alvin dan Novan bersiap untuk pergi ke balai desa. Sebelum berangkat, mereka berdua bisa melihat bagaimana sarapan sudah tersedia di meja makan. Namun anehnya Kak Maria yang menyediakan sarapan, sedari kemarin tidak terlihat keberadaannya di rumah. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. Kamar yang ia tempati pun dari kemarin tampak tertutup tidak seperti biasanya. Apa kak Maria sedang sakit di dalam kamar. Ataukah Kak Maria sedang tidak ingin diganggu? "Kak Maria ... " Panggil Alvin seraya mengetuk pintu kamarnya. "Kakak baik-baik aja? Alvin berangkat kerja dulu, ya." "Hmmm ... " Terdengar kak Maria hanya berdeham tanpa membalas salam adik iparnya itu. Tapi Alvin dan Novan tidak perduli. Mereka yang sudah terlambat langsung bergegas pergi walaupun sebenarnya penasaran dengan apa yang sedang terjadi pada kakak iparnya tersebut. Tepat pukul delapan pagi, keduanya tiba di balai desa. Novan yang memang sangat lebay tidak melewatkan kesempatan untuk menceritakan kejadian semalam pada Juliar. Awalnya Juliar mentertawakan apa yang Alvin dan Novan alami. Tapi, setelah mendengar keseluruhan cerita, ia nampak terperanjat. "Aku sempat aneh Jul. Setelah dapat lilin yang dicari, aku putusin untuk balik kamar. Tapi, saat hendak melintasi kamar bang Raffi, aku yakin banget liat kayak sekumpulan cahaya berwarna merah masuk kamarnya trus nggak lama berubah jadi asap." Juliar memandang dalam wajah Alvin. Ada sesuatu yang sepertinya pria itu pikirkan. "Kamu yakin liat cahaya merah, Vin? " tanya Juliar tidak percaya. "Iya seratus persen aku yakin," jawab Alvin seraya mengangguk-angguk. "Cahayanya warna merah. Terus berubah jadi kumpulan asap. Memangnya itu apa?" tanya Alvin penasaran. Juliar tidak langsung menjawab. Pria itu tampak terdiam beberapa saat. Terlihat dari raut wajahnya ia seperti mencemaskan sesuatu. "Nanti kalau sudah waktu aku ceritain deh ke kamu, yang penting kamu harus hati-hati," pinta Juliar. Setelahnya, mereka kembali melanjutkan pekerjaan. Hari ini Alvin dan Novan menyelesaikan kegiatan penyuluhan lebih cepat dari biasanya. Juliar bahkan memutuskan untuk pergi mengantarkan mereka berdua sampai depan rumah. Sesampainya di rumah, Juliar lagi-lagi terdiam. Pria itu bahkan menolak ketika Alvin mengajaknya untuk singgah sebentar. Entah apa yang menjadi motif teman barunya tersebut enggan untuk masuk. "Aku langsung pulang aja, Vin. Perasaan aku nggak enak nih," ucap Juliar, dari raut wajahnya ia seperti orang yang sedikit ketakutan. Jelas berbeda dengan Juliar yang biasanya. "Memangnya kenapa, Jul?" tanya Novan penasaran. "Pokoknya nanti aku ceritain. Kalian berdua hati-hati ya di rumah." "Hati-hati kenapa?" tanya Alvin kebingungan. "Pokoknya jangan keluar rumah sendirian, bahaya!" Selepas memberi peringatan, Juliar langsung pulang dengan tergesa-gesa. Pria itu meninggalkan Alvin dan Novan yang diliputi rasa penasaran dengan segala ucapan dan tingkah laku aneh yang ditunjukkannya. Saat memasuki rumah, Alvin bisa melihat dengan jelas kalau kamar kak Maria sudah terbuka seperti biasanya. Melangkah melewati kamar, terlihat kalau kakak iparnya tersebut tengah tertidur pulas di pembaringannya. Melirik jam di pergelangan tangan, hari baru menunjukkan pukul 11. Masih terlalu dini untuk memutuskan tidur siang. Apa kak Maria sedang sakit? Banyak sekali pertanyaan yang mengumpul di kepala Alvin. Ia penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada istri kakak kandungnya tersebut. Novan yang melihat Alvin seperti orang yang sedang mengendap-endap, langsung menegur. Pria itu bahkan menarik Alvin untuk segera masuk ke kamar mereka. "Kamu ngapain sih, Vin? Kayak maling aja di depan kamar kak Maria." Alvin terdiam sejenak. Mencoba untuk mencerna seluruh kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan ini. "Kamu ngerasa aneh nggak, sih? Dari kemarin sore kita kan nggak liat kak Maria terus kamar tidurnya juga nggak ada kebuka. Eh, sekarang, tiba-tiba kebuka dan dia malah tidur. Ini kan masih pagi." "Ya mungkin Kak Maroa lagi sakit. Itu sebabnya dari kemarin sengaja istirahat di kamar nggak mau di ganggu," seloroh Novan. Jawaban pria bertubuh besar itu sebenarnya masuk akal, tapi tetap saja rasa penasaran masih menyelimuti diri Alvin. Ia ngerasa ada yang ganjil dengan kak Maria kali ini. Tapi, Alvin juga belum bisa memastikan apa yang sedang terjadi dengannya. Malam harinya saat hendak tidur, sekitar pukul 12 malam. Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar. Ketukan tidak beraturan sehingga menimbulkan suara ribut dari luar rumah. Alvin yang penasaran, tentu saja memutuskan untuk segera membuka pintu rumah. Ia hanya takut kalau sesuatu yang darurat tengah terjadi. Siapa tahu ada warga yang membutuhkan pertolongan mereka. Tapi, niatannya itu tentu saja langsung dihalangi oleh Novan. "Kalau itu orang jahat gimana, Vin?" Alvin mendengkus kesal. Terkadang, Novan suka sekali bersikap berlebihan. "Astaga, Novan! Mana mungkin maling ngetok pintu nyaring-nyaring gitu. Terus kalau itu maling, dia mau permisi maling di rumah kita, gitu?" ketus Alvin begitu kesal. Sahabatnya itu memang selalu berlebihan dalam apapun. "Oke, anggaplah itu bukan maling. Tapi kalau ternyata itu hantu gimana?" tanyanya lagi. "Ah, aku mending liat hantu dari pada rampok, Van. Lagian kenapa sih penakut banget!" Alvin tentu saja tetap bersikeras membuka pintu rumah. Suara ketukan bahkan semakin lama terdengar semakin nyaring. Tapi anehnya Kak Maria sama sekali tidak menggubris suara ribut tersebut, pintu kamarnya tetap saja tertutup rapat. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian, Alvin dan Novan melangkah maju menuju pintu luar. Pelan-pelan mengarahkan tangan lalu memutar tuas pintu. Memastikan sendiri, siapa sebenarnya yang sudah tidak sabaran mengetuk pintu rumah sedari tadi. . . (Bersambung) . . Judul : DEAR SATANIC PENULIS : NOVAFHE
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD