(B)ART 5 – Menemui Pak De Kus

1102 Words
Syahla terdiam, dia juga tidak tahu kalau dia ke Jakarta dia harus ke mana. Samsul mengamati Syahla dengan saksama.   “Gimana kalau kamu jadi pembantu saja, Ani. Sekalian cari orang tua kamu.” Kata Desi memberikan usul.   Desi juga merasa tidak tega dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu.   “Hus, jangan sembarangan ngomong kamu. Kamu ndak liat apa, di tivi itu banyak kasus majikan jahat. Nanti kelau Ani sampai dijahatin gimana?” tanya Samsul.   Syahla terdiam. Dia merasa kalau apa yang dikatakan oleh Desi ada benarnya. Dengan dia datang ke Jalarta terlepas dengan pekerjaannya sebagai Asisten Rumah Tangga, Syahla bisa mencari kedua orang tuanya. Bagaimanapun dia merasa kalau kedua orang tuanya masih hidup.   “Apa yang dibilang sama Desi benar, Sul. Nyong harus ke Jakarta.” Kata Syahla.   “Tapi, Ni … Jakarta itu kejam, kehidupannya keras.” Kata Samsul.   “Kamu  pernah ngerasain emang?” tanya Syahla.   “Ya ora pernah sih. Tapi jare orang-orang seperti itu.” Kata Samsul.   “Kita ndak akan pernah tahu kalau belum nyoba, Sul. Nah, kalian tau gak siapa orang yang tau asal-usul aku sama adik-adikku?” tanya Syahla kepada Desi dan Samsul.   Desi dan Samsul terdiam sebentar, lalu mereka pun memikirkan siapa orang yang pernah mengetahui asal usul Syahla.   “Ah, aku tau. Pak De Kus, dia tahu siapa kamu, Ni. Dulu katanya waktu kamu sama adik kamu datang, Pak De Kus masih jadi Kades dan Pak De Kus sempet ngobrol sama orang yang bawa kamu.” Kata Samsul.   Syahla terdiam, fakta bahwa Syahla adalah anak buangan memang sudah menjadi rahasia umum namuan mengenai orang yang membuang dirinya, ini berita yang snagat eksklusif. Syahla belum mendengar berita ini dari siapapun sebelumnya.   Syahla pun langsung menatap Samsul.   “Temani nyong ke sana, Sul.” Kata Syahla.   Samsul melirik Desi. Di merasa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukan Syahla, namun dia juga merasa harus membant pujaan hatinya tersebut. Siapa tahu dengan membantu Syahla, hati Syahla akan luluh kepadanya.   “Nyong melu.” Kata Desi.   “DENDA!” seru Syahla dan Samsul berbarengan.   Sudah dijelaskan bukan kalau hari ini hari Rabu sehingga mereka diharuskan berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Mesti campur-campur setidaknya dalam satu kalimat ada Bahasa Indonesianya.   Desi membekap mulutnya dengan cepat. Dia mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri.   “Ayo, Sul. Lapor Bu Husnul!” kata Syahla yang sudah berdiri dan bersiap untuk berlari.   “Ayo!” seru Samsul.   Tingkat keisengan Syahla dan Samsul memang sebelas dua belas. Akhirnya, mereka pun berlari. Menuju ruang guru.   “Ani, Samsul! Dasar tukang ngadu!” seru Desi yang berlari mengejak kedua sahabatnya itu.   Syahla dan Samsul hanya tertawa saat di belakangnya ada Desi yangtengah berlari-lari mengejar dirinya.   ***   “Kita mau ke rumah Pak De Kus kapan?” tanya Desi.   “Sekarang aja.” Kata Syahla.   “Serius? Kamu ndak disuruh ke pasar sama ibumu?” tanya Samsul.   “Kita harus sekarang soalnya kalau udah sampe rumah. Nyong dak bakal diizinin pergi lagi.” Kata Syahla.   Samsul dan Desi pun menganggukkan kepalanya. Lalu mereka bertiga pun berjalan menuju rumah Pak De Kus. Kebetulan, Pak De Kus ini adalah mantan kepala desa dan merupakan saudara dari Samsul. Jadi mereka tidak perlu canggung untuk menyampaikan niat Syahla yang ingin mengobrol dengan beliau.   Mereka bertiga pun berjalan dengan penuh canda tawa sampai di rumah Pa De Kus.   “Assalamualaikum.” Salam ketiganya.   “Waalaikumsalam.” Jawab Pak Dek Kus dari dalam.   Pak De Kus pun membukakan pintu rumahnya. Desi, Samsul, dan Syahla pun langsung mencium tangan beliau dengan sopan. Bagaimanapun mereka tahu tata krama.   “Masuk, Nak. Masuk!” kata Pak De Kus.   Pak De Kus terlihat sudah tua dan berjalan pun sudah harus memakai tongkat. Ketiganya pun angsung menurut. Namu, mereka tidak langsung duduk ketika sampai di ruang tamu.   “Duduk duduk.” Kata Pak De Kus dengan suara gemetar.   “Makasih, Pak De.” Kata Samsul lalu duduk. Desi dan Syahla hanya mengangguk dan menucapkan hal yang sama dan langsung duduk juga.   Pak De Kus pun menatap ketia remaja yang kini saling melirik satu sama lain karena bingung cara memulainya.   “Sehat, Pak De?” kata Samsul berbasa-basi.   “Ya beginilah, Sul. Sering sakit-sakit mungkin karena sudah berumur.” Jawab Pak De Kus.   Lalu, Samsul pun mulai melakukan basa-basi begitu juga dengan Syahla dan Desi yang ikut menimpali. Mereka tentu tidak berani mengatakan maksud dan tujuan mereka secara langsung karena menurut kebiasaan di daerahnya hal tersebut tidak sopan.   Setelah puas berbasa-basi akhirny Samsul pun mengutarakan sesuatu kepada Pak Denya.   “Pak De, ini Ani mau tanya sesuatu sama Pak De.” Kata Samsul akhirnya.   Pak De Kus itu orang yang sangat tegas, dingin, namun hatinya sangatlah lembut. Mata beliau kini tertuju kepada Syahla. Syahla kini mulai kelimpungan menyusun kalimat yang tepat untuk menanyakan tentang keluarganya kepada Pak De Kus.   “Apa apa?” tanya Pak De Kus.   Ah, padahal usia Pak De Kus seharusnya sudah bukan dipanggil Pak De lagi, seharusnya Mbah. Namun, karena hubungan keluarga antara Samsul dan Pak De Kus mengharuskan Samsul memanggilnya Pak De sehingga dia pun memanggil beliau dengan sebutan demikian. Dan karena Syahla dan Desi adalah teman Samsul sehingga akhirnya mereka berdua juga memanggil beliau dengan panggilan ‘Pak De’.   “B-begini, Mbah, maksud kulo Pak De. Kulo mau tanya sesuatu sama Pak De.” Kata Syahla memulai basa-basi.   Pak De Kus kini hanya bisa terdiam dan menunggu kalimat lanjutan yang dilontarkkan oleh Syahla.   “Kulo dengar dari Samsul katanya Pak De dulu pernah liat Papa Ani?” tanya Syahla.   Pak De Kus tentulah tahu siapa Syahla.   “Saya ndak bisa mengatakan kalau dia papa kamu tapi saya memang melihat laki-laki yang membawamu dan adik-adikmu ke desa ini.” Kata Pak De Kus.   “Boleh tahu gimana wajahnya, Pak De?” tanya Syahla yang sangat antusias mendengar jawaban yang diberikan oleh Pak De Kus.   “Wajahnya ya?” kata Pak De Kus yang tempak memikirkan sesuatu.   “Iya, Pak De. Kalau bisa sekalian ciri-cirinya.” Kata samsul memberikan usul.   Pak De Kus pun menghela nafas lalu dia pun menatap tiga remaja di hadapan beliau tersebut.   “Kalian bawa buku gambar? Biar Pak De buatkan sketsa.” Kata Pak De Kus.   Syahla mengaduh dalam hati. Hari ini memang ada pelajaran kesenian yang mengharuskan semua siswa membawa buku gambar, namun Syahla lupa membawa buku gambar tersebut ke sekolahnya.   “Kulo ada, Pak De.” Kata Desi.   Aku pun langsung mengalihkan pandanganku ke arah Desi yang mulai membuka tasnya dan mencari sesuatu dari sana.   “Ini, Pak De ….” Kata Desi sambil menyodorkan buku gambar A4 miliknya.   Syahla langsung mencari pensil, satu-satunya alat tulis yang dia punya, lalu menyodorkannya lengkap dengan penghapusannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD