Zetta menangkap, betapa itu sebuah isyarat, bahwa wanita yang tengah berada di depannya ini sungguh tengah membutuhkan uang. Hati Zetta langsung trenyuh. Dia tahu, sangat tahu rasanya seperti apa. Ya, bukannya dirinya juga pernah, bahkan saat ini pun sebenarnya tengah berada di posisi macam itu?
Zetta ingat, tadi itu Natasya menyebutkan bahwa orang tuanya sakit-sakitan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemeriksaan rutin. Sudah begitu, menurut Natasya, suaminya juga beberapa tahun terakhir ini mengalami sakit keras, sehingga tidak mampu untuk mencari penghasilan demi menopang perkenomian keluarga mereka. Seakan hendak mengetuk pintu hati Zetta lebih keras, Natasya tampak sengaja menyinggung pula, betapa kebun di sebelah rumah kini sedang ditawarkan untuk dijual. Hanya saja, menurut penuturan Natasya, belum ketemu harga yang cocok sampai detik ini. Benar-benar sebuah penegasan berulang, kebutuhan Natasya dan keluarganya akan dana segar sudah berada di titik puncak. Pilihannya hanya dua : dipenuhi, atau meloncat saja, terjun bebas dari atas sana dan segalanya berakhir, walau untuk sementara saja, yakni di dunia fana ini. Namun sama sekali tidak untuk pertanggung jawaban ke depannya.
Meresapkan semua penuturan Natasya dan merenungkannya kembali, Zetta menyempatkan menimbang sesaat dalam diamnya. Segenap penuturan Natasya, rupanya sanggup membuat Zetta meminggirkan pemikiran yang lainnya. Termasuk, kesan suram yang menggayut di pikirannya, yang bila dipikirkannya terus menerus, akan berubah menjadi seram.
‘Suram. Seram. Ah! Kenapa aku ini? Di saat sekian banyak wacana telah terlintas untuk secepatnya aku eksekusikan di rumah ini, kenapa dua kata itu seperti menjajah pikiranku? Teka-teki macam apa ini? Tidak bisakah datangnya lain kali saja, bukan pada saat otakku dalam keadaan super penat seperti sekarang ini?’ tanya Zetta dalam diam.
“Yang namanya rumah, memang harus ada hawa manusianya, Mbak Zetta. Karena rumah itu bukan sekadar bangunan atau benda mati, tapi mempunyai jiwa. Setidaknya, itu yang senantiasa ditanamkan sama orang tua saya. Makanya, berhubung saya sekeluarga nggak bisa menempati rumah ini, kami usahakan agar selalu ada yang menyewanya, menempatinya. Supaya tetap terawat. Kalau kelamaan kosong, kan, nggak ada yang ngurusi,” terang Natasya, sekali lagi seolah mengerti jalan pikiran Zetta.
Mendengar ucapan Natasya Zetta sampai nyaris berpikir, jangan-jangan Natasya ini bisa membaca pikiran orang.
Maka Zetta manggut mendengar penjabaran Natasya yang dirasanya cukup masuk akal. Zetta sadar, saat ini dia berada di posisi sama dengan Natasya, terdesak. Zetta butuh segera mendapatkan tempat tinggal, tentu saja yang sesuai dengan anggarannya. Sedangkan Natasya, memiliki apa yang dicarinya, dan membutuhkan uang yang dimilikinya.
Zetta berdeham sebelum menjawab.
“Baiklah, saya sepakat soal harganya. Tapi seperti saya katakan tadi, halaman belakang yang beratap itu, mau digunakan untuk kegiatan menjahit. Saya mau memastikan, warga di sekitar sini nggak keberatan, apalagi terganggu lalu protes di kemudian hari. Dan satu lagi, untuk kebutuhan tersebut bisa jadi saya akan sedikit merubah bagian itu. Sedikit merenovasi, menambahkan atap sehingga bisa menyambung ke area jemuran atau bagaimana, sesuai keperluan. Yang jelas, nggak akan mengganggu bangunan utama,” kata Zetta kemudian.
Natasya lekas menganggukinya.
“Silakan saja Mbak Zetta. Tidak masalah. Tetapi, keseluruhan biaya renovasinya ditanggung pihak Mbak Zetta, ya. Mbak bisa ngertiin, kan, harga sewanya sudah termasuk minim apalagi saya juga harus membayar orang untuk mempersiapkan dulu agar rumah ini bisa nyaman dihuni,” kata Natasya.
“Saya ngerti, Mbak,” Zettapun terkenang dua buah lampu taman di belakang ternyata dalam keadaan mati ketika dicek tadi serta beberapa kran air baik di halaman belakang, tempat cuci piring maupun di kamar kamar luar yang dol. Tentunya Natasya juga harus merogoh kocek untuk mengganti semuanya.
“Nah, soal Mbak Zetta mau memakai halaman belakang untuk kegiatan menjahit, setahu saya tidak masalah. Dulupun pernah digunakan untuk latihan band, kok. Latihan band kan tentunya lebih berisik dari pada menjahit. Tapi supaya lebih menentramkan hatinya Mbak Zetta, mari saya kenalkan sekalian ke ketua rukun tetangga di sini. Kita jalan kaki saja. Rumahnya cuma terpaut dua kavling kosong ini kok. Mumpung Mbak Zetta ke sini dan dapat saya temani, jadinya, Mbak Zetta nggak terlalu banyak menghabiskan waktu bolak-balik nantinya,” sahut Natasya disertai helaan napas lega.
Mata Zetta kembali membulat. Tidak disangkanya, dalam satu hari, beberapa urusan dapat terselesaikan demikian mudah. Betapa dia bersyukur dalam hati, karenanya.
“Oh, ya? Yang mana Mbak?” tanya Zetta.
Natasya melangkah melewati pagar diiringi Zetta.
“Yang itu,” di luar pagar, Natasya menunjuk rumah yang sederet dengan rumahnya, lalu mengunci pintu pagar rumahnya.
Zetta mengikuti arah yang ditunjuk oleh Natasya.
Setelah Natasya mengunci pagar, Zettapun mengulurkan tangannya.
Natasya menyambutnya dengan hati lega.
Hal itu sungguh tersirat pada paras ibu muda yang mempunyai sepasang putra-putri itu. Entah mengapa, hati Zetta tersentuh hingga ke dasarnya. Seperti ada sebuah rasa syukur yang menyelip di benaknya, bahwa betapapun kehidupan keluarga terngah terpuruk, namun namun mempunyai kesempatan untuk dapat menolong orang lain.
“Baik kalau begitu. Deal ya, Mbak Natasya. Kita bikin cepat dan mudah saja urusannya. Silakan di-email saja draft perjanjiannya segera. Lusa, kita ketemu di apartemen saya, sekaligus menandatangani suratnya. Saya kasih tanda jadi dulu hari ini, supaya Mbak Natasya bisa suruh orang bersih-bersih dan ganti semua lampu yang putus, juga kran yang dol. Tolong kirimkan nomor rekeningnya Mbak Natasya ke saya,” ucap Zetta.
“Baik, Mbak Zetta. Ini, saya kirim via pesan teks. Terima kasih,” sahut Natasya. Tanpa menunda barang satu menit pun, Natasya mengirimkan informasi yang diperlukan oleh Zetta. Kode keras alangkah dirinya membutuhkan aliran uang masuk secepatnya.
“Sama-sama,” sahut Zetta.
Ting! Bunyi notifikasi pesan masuk di telepon genggam Zetta. Zetta segera melihatnya dan manggut-manggut mendapati pesan masuk dari Natasya tersebut. Sama seperti Natasya, dia juga tidak menunda urusan. Ia segera mengirimkan sejumlah uang melalui mobile banking.
"Sudah beres nih, Mbak Natasya," Zetta menunjukkan pemberitahuan bahwa transaksi telah berhasil dilakukan.
"Oh. Terima kasih banyak, Mbak Zetta," terdengar seruan kecil dari Natasya. wanita itu tampak sangat lega.
"Terima kasih kembali. Sekarang, kita bisa ke rumah ketua rukun tetangga ya?" kata Zetta sambil tersenyum.
"Ayo, Mbak Zetta," sahut Natasya.
Sewaktu baru akan melangkahkan kaki, melewati dua kavling kosong di sebelah rumah, entah mengapa seperti ada suatu kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan Zetta untuk menoleh ke belakang, tepat pada sebuah papan yang tergantung pada pagar rumah. Hati Zetta berdesir, bersama perasaan misterius yang menyapa.
‘Nomor 4. Ya memang. Terus kenapa? Lha, dari sebelum kemari juga aku sudah tahu, rumah ini bernomor 4. Tapi... bukannya kata orang Tionghoa, 4 itu dilafalkan ‘Si’? Selintas terkesan mirip dengan ‘sǐ’ yang artinya mati? Itu sebabnya gedung-gedung yang dikelola oleh mereka, seperti gedung tempatku berkantor dulu, nggak ada lantai 4 nya. Dari lantai 3, lantai berikutnya langsung disebut lantai 5. Ada pula yang menyebut lantai 3, 3A lalu lantai 5. Ah, masa bodoh. Setahu aku, huruf pinyin-nya saja berbeda. Satunya * sedangkan yang lainnya * dan sudah barang tentu, pelafalannyapun berlainan. Dalam keadaan terdesak begini, gila saja kalau aku masih memikirkan hal macam itu. Lagi pula, aku juga bukan orang Tionghoa, kan? Apa perlunya aku memikirkannya? nggak related banget buat aku. Yang ada malah ngotor-ngotorin pikira aku saja,' percakapan-percakapan ini menjajah pikiran Zetta begitu ssaja.
Zetta menggoyangkan kepalanya, seakan hendak mengusir perdebatan yang riuh terjadi di kepalanya. Dipercepatnya langkah kakinya, membarengi ayunan langkah kaki Natasya.
Beberapa saat kemudian, tibalah dia dan Natasya di kediaman sang ketua rukun tetangga. Kedatangan mereka berdua diterima oleh Bu Sabrina, istri dari sang ketua rukun tetangga dengan tangan terbuka.
“Eh, tamu dari jauh ternyata. Ayo masuk. Mau di teras atau di ruang tamu saja?” sambut Bu Sabrina ramah.
“Terima kasih, Bu. Di teras saja, kami hanya sebentar kok. Oh, ya, perkenalkan ini Mbak Zetta, yang akan mengontrak rumah kami. Mbak Zetta, Bu Sabrina ini istrinya pak Shendy, ketua rukun tetangga di sini,” ucap Natasya singkat sembari terus berjalan.
Sebetulnya Zetta agak kikuk, karena firasatnya mengatakan bahwa Natasya kurang nyaman berlama-lama berdekatan dengan Bu Sabrina, sehingga sampai memperkenalkan dirinya selagi mereka berjalan. Sebuah tindakan yang sebetulnya kurang etis. Sudah begitu, dari cara Natasya yang langsung menyebut mau bicara di teras tanpa basa-basi, Zetta merasa hatinya tergelitik.
Langkah mereka bertiga terhenti tepat di teras rumah mungil itu. Bu Sabrina segera mempersilakan agar dua orang tamunya itu duduk.
LL