CHAPTER LIMA BELAS : Teka-teki Yang Diabaikan (1)

1536 Words
               Seperti halnya kemarin, hari ini Zetta juga mempunyai jadwal untuk melihat langsung keadaan rumah kontrakan yang ditawarkan pada sebuah situs yang ditelusurinya. Ia sudah mendapatkan kesepakatan waktu dengan sang pemilik rumah yang menyebut bernama Natasya itu.                Namun hari ini Ajeng menghadiri sebuah wawancara kerja yang waktunya bentrok dengan waktu perjanjian Zetta dengan Natasya, sehingga tidak dapat menyertai dirinya untuk sekadar memberikan pendapat kepadanya.                Terdorong oleh rasa kasihan karena bisa dibilang Ajeng hanya menerima pengganti uang transport dan gaji sekadarnya sejak terjadinya kebakaran workshop milik PT ILZA JAYA, Zetta berbesar hati mengijinkannya. Dia malah salut dengan keterus terangan Ajeng tersebut. Zetta sendiri memang sudah memberi semacam isyarat bahwa dia membebaskan para pegawainya untuk mulai mencari pekerjaan lain demi kebaikan bersama. Pasalnya, dia toh tidak dapat membrikan kepastian kapan mereka akan mendapatkan penghasilan sebesar semula lagi.                 Dan tentang rumah yang akan di-surveynya pada hari ini, Zetta cukup yakin bahwa dirinya dapat mengurus ini sendiri. Terlebih Natasya, si pemilik rumah yang akan dilihatnya, mengatakan tempatnya amat mudah dicari. Natasya juga membekalinya dengan ciri-ciri rumah tersebut untuk menghindarkan Zetta dari kemungkinan salah alamat.                                                                            **                  Pagar bercat hitam pekat itu terkuak kembali. Natasya, yang sesaat lalu membawa Zetta berkeliling seantero rumah dan halaman, memperlihatkan segenap ruangan yang ada di dalam rumah sembari menyebutkan kelebihan rumah tersebut, sepertinya telah siap untuk melepaskan kepergian Zetta. Tetapi mereka berdua masih berdiri di halaman rumah, bukan bergegas melewati pagar rumah yang terkuak di depan mereka.                  Seperti sengaja mengambil waktu yang cukup demi menyerap aura yang ada, Zetta memerhatikan lagi secara saksama, bagian depan rumah. Dia tak dapat menampik perasaannya yang bukan sekadar berminat, tapi sudah menjurus ke jatuh hati. Terpikat!                  Bayangkan saja. Halaman luas dengan hamparan rumput yang mulai tinggi itu terpampang di depannya. Biarpun Zetta tidak dapat menepis bahwa perasaannya terusik dengan tingginya rerumputan yang kurang sedap dipandang mata lantaran berpotensi menjadi semak belukar, tak pelak hatinya mengakui, halaman rumah ini lebih dari sekadar luas. Wacana demi wacana seakan berebut hendak keluar dari kepalanya. Wacana yang tentu saja mengarah ke potensi penghasilan yang amat dia perlukan.                   “Halaman seluas ini cocok digunakan untuk berjualan makanan matang. Aku sama Ibu bisa bekerja sama di dapur untuk mempersiapkannya, sementara Azkia mungkin bisa membantu untuk melayani pembeli. Sedangkan pavilion rumah, bisa dipakai untuk display sekaligus gudang bagi sisa baju yang akan kutarik dari outlet. Sementara Azkia, bisa terus mempromosikan produk ILZA secara online seerti selama ini,” gumam Zetta lirih, ditujukan pada dirinya sendiri. Pandangan matanya lantas menyapu pada halaman yang kurang terawat.                   Natasya yang tidak mendengar secara jelas gumaman Zetta, mengikuti arah pandangan matanya. Dipikir Natasya, Zetta sedang mengeluhkan tingginya rerumputan di halaman.                  “Itu nanti dibersihkan, kok, Mbak, sebelum Mbak menempati rumah ini. Nanti saya kirim orang untuk memangkas rumput, merapikan dahan-dahan, membersihkannya supaya siap ditempati. Lampu-lampu yang mati, akan saya ganti. Secepatnya,” tandas Natasya, seperti dapat membaca pikiran Zetta.                   Zetta tentu mengangguk puas mendengarnya. Bukan semata disebabkan dia tidak perlu meminta apa yang dikemukakan Natasya barusan, melainkan tercapainya titik temu nominal biaya sewa rumah, sesaat lalu.                  Kesepakatan menarik didapatkan oleh Zetta, harga sewa di angka 92 juta rupiah, untuk masa enam bulan dari penawaran awal sebesar 105 juta rupiah, untuk rumah luas dan berlokasi bagus ini. Dalam pengamatan Zetta tadi, ruang tamunyapun layak untuk dijadikan sebagai kantor atau tempat rapat dengan calon klien. Toh, untuk menerima tamu dapat memakai serambi depan yang teduh, atau ruang keluarga yang adanya di sebelah ruang makan.                  ‘Oh, that’s too good to be true! But i remember what people said : when it is too good to be true, maybe it is true,’ pikir Zetta, nyaris bersorak kegirangan beberapa menit lalu.                  Zetta membayangkan kembali tiga kamar tidur yang tersedia di dalam rumah. Yang dua ada di bangunan utama, masing-masing dilengkapi dengan sebuah kamar mandi dalam. Hanya kamar yang berada di belakang pavilion yang tidak memiliki kamar mandi dalam. Tetapi mau ditinjau dari berbagai segi manapun, kamar itu paling luas. Kamar itu seperti dua kamar yang dijadikan satu oleh sebuah pintu penghubung.                 Tadi saat Zetta menanyakannya, Natasya menerangkan, itu adalah bekas kamarnya serta kamar kedua anaknya yang masih kecil. Natasya juga menyebut, dia sengaja memberikan pintu penghubung antar kedua kamar supaya memudahkannya mengecek keadaan dua buah hatinya.                 “Saya nggak suka keberadaan kamar mandi dalam. Kesannya sumpek dan kurang sirkulasi. Lagi pula, kamar mandi luar juga dekat dari kamar kami,” jelas Natasya saat Zetta menanyakan mengapa kamar satu itu berbeda dengan kamar lainnya.                 Tanpa berpikir dua kalipun, Zetta langsung jatuh hati pada kamar yang terletak antara ruang makan serta kamar mandi luar. Baginya, kamar itu sungguh sempurna digunakan sebagai ruang kerja sekaligus ruang istirahat.                  Zetta langsung merencanakan agar ibunya dan Azkia, menempati bersama kamar tidur yang punya akses langsung ke area jemur pakaian dan tembus ke halaman belakang, tanpa harus melewati dapur dulu. Banyak rencana yang muncul di kepala Zetta begitu diantar melihat-lihat keadaan rumah.                  Mempertimbangkan luasnya, Zetta langsung terpikir untuk mengajak serta Ajeng tinggal di sini, supaya tak perlu membayar biaya kost lagi sebagaimana sekarang. Dalam pemikiran Zetta, Ajeng dapat menempati satu sisi kamar tidur di bagian belakang bangunan pavilion, entahkah sisi kiri atau kanan. Sementara sisi lainnya, yang kelihatannya bekas kamar anak-anak, akan dipikirkannya lebih lanjut, digunakan untuk apa kelak. Karena setiap kamar tidur terlalu besar, kamar yang untuk Ajengpun sudah bakal disekatnya lagi, sebagian dijadikan tempat penyimpanan aksesoris baju dan barang-barang kecil.                  “Oh ya Mbak Natasya, mengenai gudang..,” Zetta mengingatkan sembari memegang pagar.                  Natasya langsung mengangguk.                  “Iya Mbak Zetta. Itu nanti akan dibersihkan dan dirapikan juga. Tetapi maaf, kelihatannya saya nggak bisa mengangkut furnitur yang ada di sana. Selain repot untuk mengangkut dan menyimpannya di tempat tinggal kami yang sekarang, saya rasa furnitur itu lebih berguna kalau tetap di sini,” potong Natasya.                  “Eng.., maksudnya?” tanya Zetta.                  “Kalau Mbak Zetta memerlukan furnitur, silakan dipakai saja. Dari pada dibiarkan begitu saja, hanya makan tempat,” jelas Natasya.                  “Benar, Mbak?” tanya Zetta. Mata Zetta terbelelak, saking tak percaya.                  Langsung terbayang oleh Zetta, gudang akan sangat lega tanpa keberadaan furnitur tersebut. Dia dapat menaruh semua material di sana. Kondisi furniturpun cukup baik. Ada ranjang susun dengan 3 tempat tidur, 1 spring bed berukuran king size, 3 buah meja besar yang dapat dipergunakan memotong pola, 2 lemari pakaian, selain beberapa container plastik yang dapat difungsikan sebagai tempat penyimpanan aksesoris kecil.                  “Tentu saja,” kata Natasya singkat.                  Zetta tersenyum. Kini dia melihat ke arah luar.                  Zetta mengakui dalam hati, dia sungguh terpikat letak rumah yang tepat di depan jalan utama, tetapi terkesan pribadi ini. Kebun di sebelah, kavling kosong, lapangan warga, dirasanya amat sempurna, untuk meredam suara-suara berisik yang mungkin akan timbul ketika kegiatan menjahit dilakukan.                 Terdapatnya pekarangan belakang yang tak ubahnya sebuah lahan kosong, juga merupakan keunggulan tersendiri bagi rumah ini. Delapan menit mencermatinya tadi, otak kanan Zetta sontak berimajinasi, akan memfungsikan halaman belakang yang berbatas  gudang untuk menaruh mesin jahit kelak. Baginya, halaman belakang itu hampir seluas halaman depan rumah. Tampilan halaman belakang mirip beranda atau ruangan beratap namun tidak berdinding. Halaman itu hanya berbatas tembok samping kiri kanan dan belakang. Zetta langsung membayangkan, para penjahit tidak akan kepanasan nantinya, malah mata mereka disegarkan tanaman hijau yang terhampar di depan mereka. Baru sekejap membayangkannya saja, tadi itu antusiasme Zetta langsung meroket begitu saja.                   “Jadi kan, Mbak?” tanya Natasya dengan tatap mata penuh harap.                                                                                                                                                                         - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD