CHAPTER DUA PULUH TIGA : Job Order Pertama Dari Fritz (1)

1840 Words
            Rasanya masih teramat segar dalam ingatan Zetta, apa yang ayahnya berusaha lakukan dahulu. Semasa hidupnya dulu, mendiang Pak Irawan yang sama sekali tidak mengetahui bahwa putri sulungnya saat itu tengah menjalin hubungan dengan Destan, pernah menyinggung tentang Fritz. Jika dihitung-hitung oleh Zetta, mungkin dua hingga tiga kali. Tidak terlampau menyolok memang, terkesan sambil lalu. Tetapi otak cerdas Zetta tentu saja tahu, ada maksud yang terkandung di sana.              Tetapi, sang ibu juga tidak ketinggalan dalam hal ‘mengorek perasaan si putri sulung, Zetta’. Ibunya pernah menanyakan apakah benar dirinya pernah bertemu dengan Fritz di outlet sang ayah dan bertanya pendapat Zetta mengenai sosok Fritz. Seakan selewatan saja, tetapi Zetta mendapatkan kesanbahwa kedua orang tuanya hendak mencari tahu, apakah ada peluang mereka untuk menjembatani dirinya dengan Fritz. Sementara Azkia, ah, perlukah ia memperhitungkan celetak-celetuk si gadis yang terkadang naif sekaligus impulsif itu ketika dirinya menginap di rumah orang tuanya atau justru sang adik yang menginap di apartemennya?              Kini satu persatu komentar sang adik terngiang-ngiang di telinga Zetta.              “Kak Ze, Kak Fritz itu baik banget ya? Azkia jadi heran, type gadis pujaan kak Fritz itu yang seperti apa ya sebetulnya?” suatu kali hal ini yang dicetuskan Azkia di meja makan.             “Kak Zetta sama Kak Fritz kan sama-sama belum punya pacar, jadian saja kenapa?” yang ini adalah salah satu celetukan Azkia ketika bertandang untuk mengambil sketsa karya Zetta di apartemen sang kakak. Saat itu, karena kesibukannya, Zetta tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya dan mengantarkan sketsa baru yang dijanjikannya untuk produk baru ILZA JAYA.             “Eh Kak, pernah kepikir nggak, Kak Fritz itu masih suka cewek nggak sih? Dia itu eksekutif muda yang sukses, ganteng, sopan. Masa nggak pernah kelihatan menggandeng Cewek sih? Masa dia sebegitu sibuknya sampai mengabaikan hal personal macam itu? Dia kan sebenarnya sudah pantas lho buat jadi calon suami, punya tunangan, atau setidaknya ya punya pacar, lah! Azkia jadi mikir deh..., apa sebenarnya Kak Fritz punya trauma pernah dikecewakan sama Cewek, sedang mengincar seorang Cewek tapi belum dapat kesempatan untuk menaklukannya, atau... hiiii... sebenarnya Kak Fritz itu sukanya sama sejenis? Horor ya Kak? Ih, Azkia nggak rela kalau ada Cowok dengan kualitas sebagus itu kok sukanya sama yang sejenis...!” cerocos Azkia pada saat lainnya, ketika gadis itu menginap di apartemen sang kakak dan melihat sang kakak sedang asyik menonton tayangan film melalui netflix di kamar.              Mengenang semuanya itu, Zetta menahan napas. Dia tahu sekali semua ucapan Azkia itu sebenarnya sangat tendensius. Ingin memancing komentarnya, tetapi selalu saja seperti membentur tembok. Mengapa? Karena saat itu ada seseorang yang mengisi hati Zetta. Seseorang yang entah lantaran dorongan apa, masih belum diperkenalkannya secara resmi kepada orang tuanya. Seseorang yang kemudian pergi seenaknya, meninggalkan hati Zetta dalam kondisi kosong melompong usai menggoreskan luka yang dalam.              Zetta sama sekali tak hendak menyangkal intuisinya.             Ya, perasaan Zetta mengatakan, Fritz merupakan sosok lelaki yang baik.             Dan oh, gelagat Fritzpun terlalu kentara sebagai orang yang tengah tertarik pada lawan jenisnya. Itu nyata dilihatnya saat di outlet dulu, apalagi barusan.             Zetta menelan ludah.             Bagi Zetta, ini sama sekali bukan perkara trauma, takut dikecewakan lagi oleh laki-laki. Sama sekali bukan. Malah sejujurnya, Zetta merasa nyaman saja, sepanjang pembicaraan tadi. Sayangnya, prioritasnya sekarang bukanlah tentang asmara. Sama sekali bukan!             Enggan membuang waktu, Zetta menuliskan alamat lengkap serta ancer-ancer tempat tinggalnya pada secarik kertas.             “Ini alamatnya. Nanti mobil Fritz mengikuti mobil saya. Begitu saja, ya?” Zetta melemparkan opsi saat mereka berdua melangkah menuju tempat parkir. Ia melihat Fritz mengamati secarik kertas yang tadi diberikannya.             “Oke,” sahut Fritz ringan. Sontak ia melupakan keinginan menawarkan yang sebaliknya, yakni mengajak Zetta semobil dengannya, sementara supirnya akan disuruhnya mengendarai kendaraan Zetta, mengikuti di belakang kendaraan yang ia kemudikan.              ‘Enggak. Itu terlalu terburu-buru. Wanita terhormat sekelas Zetta nggak mungkin kuperlakukan seperti itu. Itu sama saja aku semena-mena, mendobrak pintu hatinya secara paksa. Biarpun aku lagi sibuk-sibuknya sekarang ini, nggak ada salahnya aku sedikit bersabar, memberinya waktu. Pendekatanku nggak boleh bikin dia nggak nyaman,’ pikir Fritz, seraya membujuk hatinya sendiri.              “Nah, sampai ketemu di rumahmu nanti, Ze,” kata Fritz.             Herannya, Fritz masih berdiri di tempatnya, sama sekali tidak bergerak barang satu sentipun.             Zetta juga demikian. Keduanya seperti salig menunggu.             Maka Fritz yang lebih dulu mengambil inisiatif.             “Silakan, kamu masuk mobilmu dulu, kami akan segera mengikuti dari belakang. Parkir di mana, Ze?” tanya Fritz kemudian.              Zetta menghela napas lega lalu menunjuk ke suatu arah yang tidak jauh dari tempat mereka berdua berdiri saat ini.             “Oke, saya duluan,” Zettapun memohon diri.             Lalu dia bergegas menuju mobilnya. Begitu berhasil mencapai mobilnya, yang pertama dilakukannya yaitu  menelepon Ajeng.             Apa yang disampaikan oleh Zetta melalui telepon membuat tiga orang wanita yang berada di rumah langsung pontang-panting membereskan apa saja agar tampak ‘indah dan layak untuk dilihat’.             “Sorry, kalau aku jadi membuat repot semuanya, semuanya serba mendadak begini, lagi,” ucap Zetta.             Ajeng tertawa kecil.             “Jangan bicara begitu, Mbak Zetta. Tenang saja,” sahut Ajeng kalem.              “Syukurlah kamu mau mengerti Jeng. Soalnya, ini kesempatan besar. Peluang ini muncul di depan mata, masa harus kita sia-siakan begitu saja? Oh ya Jeng, nanti tolong hubungi teman-teman juga. Yang rumahnya dekat, kan, bisa bolak-balik dari rumah mereka ke tempat kita. Tapi, khusus yang di luar kota, sementara kita berdesakan deh. Nanti kita atur-aturlah, tempat tidurnya. Kamu boleh tidur di kamarku, supaya kamarmu bisa dipakai sama yang lainnya,” kata Zetta di ujung pembicaraan.               “Saya ngerti banget, Mbak. Setiap kesempatan sekecil apapun harus kita sambut. Dan Mbak Ze, ayolah, nggak usah memikirkan hal sekecil dan sedetail itu. Itu nanti saya, yang membantu sepenuhnya. Sudah biasa kok, teman-teman sudah kompak semua,” sahut Ajeng melegakan.             Zetta mengucap syukur dalam hati, mempunyai seorang Ajeng dan dukungannya yang besar.              “Saya mau mengecek mesin jahit yang di belakang Mbak. Nanti saya atur supaya terkesan hari-hari ini kita masih melakukan kegiatan produksi seperti biasa. Kalau yang di pavilion sih, beres. Kan display pakaian cukup rapi. Kebetulan sekali ada bekas jahitan saya dan Mbak Azkia juga,” sambut Ajeng bersemangat.              “Oke, sampai nanti di rumah,” Zetta menutup pembicaraan via telepon mereka.              “Blessing in disguisse,” ucap Zetta penuh rasa syukur.             Zetta berharap ini merupakan langkah awal yang baik. Sambil mengarahkan kendaraannya menembus malam yang mulai merayap turun dia terus memanjatkan doa di dalam hatinya supaya malam ini ada kesepakatan yang dapat diraihnya.              Lantaran Zetta terlampau bersemangat, dia menambah kecepatan kendaraannya sehingga dapat melintasi beberapa lampu merah. Dia kurang menyadari, kendaraan Fritz agak tertinggal di belakang sana.              Tiba di pagar depan rumahnya, dia terkejut mendapati Azkia sudah membukakan pintu pagar itu, sebelum dia sendiri turun dari mobil dan berniat membukanya sendiri. Dan Zetta lebih terkejut lagi, mendapati Reino berada di samping Azkia. Terkesan, keduanya telah lumayan lama menantinya.              ‘Ngapain dia di sini? Bukannya tadi bilang mau ke kampus?’ Tanya Zetta dalam hati, tak suka akan keberadaan Reino.             Cowok itu seperti mengabaikan tatapan tidak sukanya, dan mengangguk sopan sembari tersenyum.             “Terima kasih,” ucap Zetta ketika telah sempurna memarkir kendaraannya dan keluar dari mobilnya.             “Nggak usah dikunci, ya, Kak? Kata Azkia, bakal ada tamunya Kak Zetta. Biar saya saja yang menunggu di sini. Sementara Azkia, kan, bisa membantu Kak Zetta mempersiapkan yang lainnya di dalam,” kata Reino tanpa canggung.             Zetta menatap tepat di kedua bola mata Reino.             “Oh, nggak merepotkan, ya? Bukannya kamu mau ke kampus, tadi?” tanya Zetta penuh selidik.             Reino tersenyum lagi. Zetta jadi agak heran, bisa-bisanya anak muda di depannya ini terus-terusan menyenyuminya, sedangkan dirinya saja berusaha keras menekan agar rasa antipatinya tidak terlampau mencuat.             “Sama sekali nggak merepotkan kok Kak Zetta. Oh, soal mau ke kampus? Rencana semula begitu, Kak. Tapi mendadak saya dikabari, dosennya sakit. Jadi ya saya balik ke rumah. Nah, baru juga saya sampai di rumah, Azkia telepon saya. Azkia meminta pada saya untuk bantu-bantu geser mesin jahit di belakang sama membereskan packing orderan online,” urai Reino runut.              Zetta manggut-manggut saja, semata agar terlihat pantas.              “Oh, begitu ya? Ya sudah, saya tinggal ke dalam dulu ya. Maaf, sekali lagi, Azkia nyusahin kamu,” ucap Zetta sekenanya.              Reino mengangguk dan tersenyum lagi.             Kemudian, Reino hanya menatap punggung Zetta yang menjauh, terus masuk ke dalam rumah.             Firasat Reino mengatakan, barusan itu Zetta berusaha keras menyembunyikan rasa antipati padanya, melalui bahasa tubuhnya.             Bagi Reino, sikap Zetta terlalu formal. Sikap yang tidak ubahnya sebuah penegasan halus, bahwa dia harus tahu diri, tidak seenaknya masuk terlampau jauh ke urusan ‘domestik’ mereka. Reino merasa bahwa Zetta jelas-jelas memasang tembok pembatas melalui sikapnya yang mengambil jarak itu.             Namun, pantang bagi Reino untuk tak membiarkan rasa tersinggungnya berkembang.             “Buat apa terlalu kupikirkan? Mungkin Kak Zetta hanya berjaga-jaga saja, karena dia kan orang baru di sini. Aku nggak perlu terlalu terbawa perasaan deh, kayaknya,” Reino setengah bergumam.             Dengan penuh kesadaran, dihalaunya sisa-sisa rasa tersinggungnya demi seorang Azkia, yang kian dekat dengannya. Azkia, yang baru sebentar dikenalnya, namun segera menjadi orang pertama yang dikiriminya pesan teks di pagi hari. Azkia, yang menjadi orang yang terakhir dipikirkannya menjelang istirahat malamnya. Ya, Azkia, yang ingin dilindunginya, dari kemungkinan buruk yang pernah terjadi pada para penghuni rumah bernomor 4 tersebut,  sebelumnya.              “Aku nggak rela hal buruk terjadi padamu, Kia. Aku akan berusaha keras untuk menjaga kamu, dengan caraku sendiri. Aku akan hindarkan dirimu dari kemungkinan buruk. Aku nggak peduli sekalipun Kak Zetta kurang bersahabat sama aku,” gumam Reino lagi.             Dengan kemantapan hati yang seperti itu, Reino kembali ke sisi pagar. Matanya terus mengawasi keadaan jalan di depannya. Ketika ada sebuah mobil yang tampak memperlambat lajunya dan melipir mendekati pagar, dia berpikir itulah tamu yang tengah dinanti oleh Zetta.              Lantaran sempat terhalang lampu merah, Fritz baru tiba di kediaman Zetta sekitar sebelas menit kemudian.             Kaca mobil terbuka dan sang pengemudi menjulurkan kepalanya keluar, bertanya kepada Reino yang memang telah menanti di dekat pagar dan menghampiri mobil itu, “Selamat malam Mas, betul ini kediamannya Ibu Zetta?”             Di jok belakang, Reino mendapati seorang laki-laki mengangguk dan tersenyum ramah kepadanya.             “Betul, mari silakan parkir di halaman saja,” sambut Reino   yang segera bertindak. Ia menguak pagar rumah agar mobil bisa masuk.             “Baik, terima kasih Mas,” kata sang supir.              Reino segera merapatkan pagar lantas mengunci pagar tersebut setelah kendaraan Reino terparkir tepat di sebelah mobil Zetta.                                                                                                                                                                       - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD