“Selamat malam Fritz, nggak susah kan, cari alamatnya?” sambut Zetta setelah Reino yang mengantarkan Fritz ke ruang tamu bermaksud secepatnya kembali ke teras.
Untuk alasan etika, Zetta mengucapkan terima kasih juga kepada Reino yang langsung disambut senyuman oleh pemuda itu.
“Santai saja, Kak Zeta. Aku nemenin supirnya Kak Fritz dulu ya. Kasihan, iseng kalau sendirian di teras,” kata Reino.
Menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan dirinya sungguh tidak diperlukan di dalam rumah, Reino mengambil inisiatif untuk menunggu saja di teras, menemani supirnya Fritz.
Zetta menganggukinya.
Fritz tersenyum menjawab pertanyaan Zetta, “Enggak kok. Cuma tadi sempat terhalang di lampu merah.”
“Oh, begitu. Silakan duduk. Saya tinggal sebentar, ya, untuk ambil sampel kancing,” ujar Zetta.
“Terima kasih. Silakan,” sahut Fritz.
Selang tiga menit kemudian Zetta tidak hanya kembali seorang diri ke ruang tamu.
Ada Ajeng, Bu Lestari serta Azkia bersamanya.
Ajeng langsung mengangguk dan meletakkan secangkir teh di depan Fritz, mmpersilakan Fritz untuk minum dan segera membawa dua cangkir lainnya ke teras untuk diberikan kepada supirnya Fritz serta Reino.
Siapa sangka, ternyata Zetta belum mengatakan kepada keluarganya bahwa tamu mereka adalah Fritz? Itu terbukti dari sambutan heboh Azkia.
“Astaga! Jadi klien-nya Kak Zetta itu ternyata Kak Fritz? Iiih... kok nggak bilang ke kita sih Kak Zetta?” dengan ekspresif Azkia mencubit lengan kakaknya yang hanya tersenyum kecil.
“Ibu Lestari, Azkia, apa kabar? Saya ikut berbela sungkawa atas kepergian Pak Irawan. Maafkan saya karena tidak mengetahuinya,” ucap Fritz kala menyalami mereka satu persatu. Dia juga menyalami Ajeng yang memang dikenalnya karena sempat beberapa kali bersua di workshop dulu. Dia bahkan pernah mengira bahwa Ajeng adalah kepala bagian produksi, saking mendalamnya pengetahuan Ajeng ketika menerangkan mengenai proses produksi serta jenis produksi mereka.
“Terima kasih banyak, Nak Fritz,” sahut Bu Lestari.
“Terima kasih Kak Fritz. Ini gimana ceritanya, kok kak Zetta nggak bilang bahwa..,” Azkia menjeda kalimatnya dan melirik pada kakaknya yang duduk di sebelahnya.
“Lho Kia, kak Zetta juga baru tahu tadi kok, bahwa dia menawarkan sketsa ke rumah produksi kak Fritz. Jadi bukan sengaja nggak memberi tahu,” Fritz merasa perlu menjelaskan dan meluruskan dugaan Azkia, meski Zetta tidak menimpanya.
“Beneran, Kak Ze?” tanya Azkia sambil menatapi wajah kakaknya, seperti mencari kepastian di sana. Namun Zetta tidak menjawabnya.
Fritz tertawa kecil melihat interaksi dua kakak beradik itu.
“Iiih..! Kamu tuh, kok nggak percaya sama kakakmu sendiri,” tegur Bu Lestari lirih.
Azkia mengedikkan bahu.
“Ya habisnya, Kak Zetta sih. Okelah kalau kemarin-kemarin sampai dengan pas mau ketemu, mungkin belum tahu. tapi sesudahnya kan tahu. Masa kita nggak dikasih tahu sih,” Azkia mengerucutkan bibirnya.
“Mungkin belum sempat saja, Kia,” kata Fritz menengahi.
Bibir Azkia masih saja mengerucut.
“Tetap sih, susah dimaafkan. Ih, nggak nyangka deh, ternyata si calon klien kita tuh sama sekali bukan orang baru, melainkan pelanggan lama yang pernah Azkia pergokin lagi bermain catur dengan Ayah. Hmm..., main caturnya dalam mimpi, maksud Azkia,” gurau Azkia akrab, sesaat setelahnya.
“Kamu tuh, paling bisa, deh. Apa kabar dengan kuliahnya, Kia?” tanya Fritz pula.
“Lancar jaya, Kak Fritz,” sahut Azkia ceria.
Zetta jadi bertanya-tanya dalam hati, masakan seorang Azkia bisa berkomunikasi secair itu dengan Fritz? Dia juga tak habis pikir, ke mana perginya keluhan Azkia mengenai rasa takut dan gamangnya berada di tempat tinggal mereka yang baru ini? Semua seperti terusir pergi dengan kedatangan Fritz malam ini.
Dan seperti berada di frekuensi yang sama, Azkia dan Fritz sukses membuat suasana hangat tercipta di ruang tamu itu. Canda tawa mereka berdua yang sesekali mewarnai percakapan mengenai kerja sama yang akan dilakukan sudah layaknya sebuah reuni sejumlah kenalan lama, yang telah sekian lama tak saling bersua satu sama lain.
Kontan saja, berbagai pertanyaan berikutnya hinggap di kepala Zetta.
‘Apakah Fritz merasa nyaman berada di ruang tamu ini, di tengah-tengah keluargaku, sehingga dia dapat sesantai itu mengobrol bersama ibu serta Azkia? Heh, ke mana coba, hilangnya kesan tergesa, seolah dikejar waktu, saat kami berada di café tadi?’ pikir Zetta.
Di pertengahan pembicaraan ketika sang ibu memanggil Reino untuk ikut bergabung dan memperkenalkan Reino sebagai ank dari ketua rukun tetangga di situ, Zetta juga menyaksikan bahwa Reino bisa menimpali obrolan sesekali lalu direspons secara baik oleh Fritz.
Zettapun lantas berpikir, barangkali, sikap Reino yang demikian itu dipengaruhi oleh pekerjaan sehari-harinya sebagai tenaga Marketing, yang kerap bertemu orang baru.
Tidak disangka oleh Zetta, adanya Reino yang di ruang tamu, ternyata bermanfaat juga. Minimal, untuk mengusir sebersit perasaan tak nyamannya, lantaran ada tamu laki-laki yang datang ke rumah mereka di malam hari.
Yang telintas di pikiran Zetta adalah, “Reino toh warga setempat, anaknya ketua rukun tetangga pula.”
Zetta berharap, minimal, saat ini, kehadiran Reino dapat menyingkirkan kemungkinan adanya cemooh atau pergunjingan warga di tempat baru ini. Sesuatu yang benar-benar dijaganya meski dirinya telah lama tinggal di lingkungan apartemen yang tentu saja tidak perlu terlampau memusingkan hal-hal semacam itu.
Zetta mengucap syukur dalam hati. Apa yang dicemaskannya saat berada di café sama sekali tak terjadi. Tidak ditemukannya ekspresi curiga ataupun meremehkan, yang ditampilkan oleh Fritz sewaktu diajak melihat area kerja di halaman belakang.
“Kamu hebat ya Ze, bisa menemukan rumah ini. Pasti sudah melalui pencarian dan pertimbangan super cermat, ya. Ini memang sayang kalau hanya dihuni sebagai rumah saja. Apalagi kalian hanya berempat. Terlalu banyak area yang terlampau sayang untuk dianggurkan begitu saja. Itu, halaman belakang yang barusan ditunjukkan, dan sebenarnya sebagian dari halaman depan yang luas juga memungkinkan untuk melakukan kegiatan produksi tanpa mengganggu lingkungan sekitar. Bagus ini lokasinya,” puji Fritz sambil manggut-manggut seiring langkahnya kembali ke dalam rumah, usai meneliti keadaan mesin jahit yang telah diatur demikian apik jaraknya di halaman belakang.
Atas usulan Reino tadi, ada beberapa potongan kain yang sengaja dibiarkan begitu saja di dua buah mesin di barisan terdepan, demi mengesankan bahwa mesin itu baru saja dipergunakan dan belum sempat dibereskan.
“Ya dong, kak Zetta gitu lho! Kakaknya siapa dulu! Azkia!” timpal Azkia bangga.
Zetta mengerling singkat dengan ekor matanya.
Anak ini! Semoga benar, seusai ini dia nggak mengucapkan keluhan apa-apa lagi soal rumah ini,’ batin Zetta penuh harap.
“Oke, kancingnya yang ini saja. Ini paling cocok,” kemudian Fritz memilih satu buah kancing dari tiga alternatif yang diberikan Zetta.
Sekembalinya dari halaman belakang, melebihi ekspektasi dari Zetta, Fritz justru mengungkapkan kekagumannya pada sejumlah barang dari outlet yang telah dipajang di pavilion rumah.
"Wah ini namanya sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Aku sekalian pilih beberapa deh. Pas untuk pilihan model seragam perusahaanku yang lainnya,” kata Fritz pula.
“Saya bantu ya Pak Fritz,” Ajeng menawarkan diri membantu.
“Boleh,” sambut Fritz ringan.
Fritzpun mengamati satu demi satu persediaan pakaian jadi yang ada dipaviliun. Di tengah-tengah kegiatannya memilih, dia berkomentar, “Paviliunnya ini besar sekali, ya. Ditmbah posisi rumah ini yang pas di pinggir jalan besar, cocok juga untuk dijadikan sebagai outlet pengganti.”
Zetta tersenyum kecil mendengarnya.
“Tadinya kami berencana begitu. Tetapi nanti lah, ya, sambil jalan. Saat ini yang menjadi prioritas tentunya kegiatan produksi dulu.”
“Hm, ya, ya. Itu benar,” sahut Fritz.
Setelah mengamati sekitar dua puluh menit sembari bertanya kepada Ajeng yang sebagaimana dahulu, akhirnya Fritz memutuskan untuk membeli tujuh model berbeda, dari blus dan kemeja yang ada di display tersebut.
“Sementara itu dulu. Kebanyakan pilihan nanti malah kelamaan mikirnya,” kata Fritz saat Ajeng membereskan dan mengemas semua yang dipilih oleh Fritz.
Sepertinya Azkia tidak mau kalah.
“Oh ya Kak Fritz, kalau sempat, kunjungi website toko online kami juga dong,” tanpa malu-malu Azkia menyebutkan nama website-nya dan bahkan mengambil sebuah kartu namayang disorongkan ke tangan Fritz.
Fritz membaca kartu nama yang ada di tangannya, dan tentu saja diapun membalasnya dengan memberikan pula kartu nama kepada Azkia, seperti halnya yang dia lakukan kepada Zetta saat mereka bertemu di cafe tadi.
“Wah, jadi sekarang jual online juga? Kenapa nggak dari dulu saja? Itu bagus loh Kia, kan harganya lebih bersaing. Kalianpun nggak perlu keluar biaya sewa tempat dan gaji penjaga toko. Pasti ide kamu ya, Kia?” puji Fritz sungguh-sungguh, mengundang tawa lepas Azkia.
“Ah, Kak Fritz saja yang nggak tahu. Sebetulnya, ini sudah ada saat kami punya offline shop dulu. Cuma, nggak terlalu ditekuni. Sambil lalu deh, istilahnya. Soalnya, kan, mengurus penjualan retail sama orderan dari perusahaan saja sudah kewalahan. Nah, justru setelah outlet ditutup, pelanggan lama mengeluh dan mengatakan sulit untuk menemukan produk kami. Makanya mereka beralih ke online shop,” jelas Azkia bangga.
“Wah, Azkia hebat! Namanya juga anak ekonomi. Sesuai ya, sama kuliahnya,” puji Fritz sekali lagi, kali ini disertai acungan jempol.
“Ya dong, namanya juga Azkia. Adiknya kak Zetta, kan?” cetus Azkia dengan mimik lucu. Seolah lupa ada Reino di antara mereka, Azkia tidak ragu untuk memperlihatkan kemanjaannya kepada Fritz. Dan lucunya, cara berkomunikasi Fritz dengan Azkia itu justru tampak seperti kakak beradik kandung. Bila dicermati dan dibandingkan secara saksama, lebih cair ketimbang caranya berkomunikasi dengan Zetta, kakak kandungnya sendiri.
Di lain pihak, perasaan Zetta tergelitik.
Dia tak hendak menyangkal, hatinya sungguh berbunga menyaksikan alangkah cairnya percakapan Fritz dengan keluarganya, terutama dengan Azkia.
Akhirnya melalui berbagai pertimbangan, Zetta memutuskan untuk meniadakan perubahan harga sehubungan penyesuaian yang diajukan oleh Fritz.
Dan sebagai imbangannya Zetta hanya meminta agar prosentase atas uang mukanya diperbesar saja.
“Nggak masalah, Ze. Aku setuju saja. Kalau mengenai koreksi penawarannya menyusul saja,” Fritz langsung menyetujui usulan dari Zetta.
Dan dia sungguh-sungguh dengan ucapannya tersebut. Mempermudah urusan dan memotong birokrasi, namun tetap menghargai urusan administrasi.
Terbukti, Fritz menindaklanjuti ucapannya tersebut dengan segera mengirimkan pesan teks yang ia tujukan kepada bagian keuangan di kantornya. Kemudian, Fritz meneruskan pula pesan tersebut kepada Diandra serta Singgih, bagian human resources department serta bagian procurement-nya.
*
- Lucy Liestiyo -