CHAPTER DELAPAN BELAS : Rangkaian Misteri Berikutnya (2)

2456 Words
               “Nah, itu Maudy. Kita anggap saja sebagai kasus pertama. Terus bu, sekitar dua bulan setelah Maudy pindah dari rumah itu, datang penyewa lain, kan? Itu lho, keluarganya Pak Setiawan,” ujar Reino.                “Iya, yang mempunyai dua anak remaja dan seorang anak seumuran kamu,” walau enggan, Bu Sabrina menyahut juga.                “Nah. Itu dia. Saat melapor sebagai pendatang baru, aku dengar Pak Setiawan menyebut, dia mengontrak rumah itu selama 6 bulan. Bilangnya sih sambil menunggu renovasi rumah mereka terselesaikan. Kan kebetulan pas datang kemari dan melapor sebagai warga baru, aku sama Bapak lagi mengobrol di teras. Dan anehnya, setelah melapor dan resmi tinggal di rumah itu. keluarga Pak Setiawan terkesan mengisolir diri. Enggan berinteraksi sama warga sekitar. Memang sih, dengar-dengar dari tukang ojek yang sesekali mengantar pelanggan mini market di seberangnya, nyaris setiap hari ada saja anak-anak muda bertamu,” papar Reino.                “Tapi warga sini nggak ambil pusing kok. Mereka mikirnya, barangkali saja keluarga Pak Setiawan memilih bergaul dengan teman-teman lama saja. Nggak masalah, nggak mengganggu kok,” komentar bu Sabrina ternyata masih persis sama tentang sikap keluarga Pak Setiawan, baik kini maupun dulu ketika mereka sekeluarga masih bertetangga.                “Iya tuh Bu. Bisa dibilang, satu-satunya ‘penghubung’ antara keluarga mereka dengan warga sekitar yaitu Ningsih, asisten rumah tangga mereka. Setiap hari kan Ningsih berbelanja di Mang Dudung, pedagang sayur keliling. Ningsih sering bercerita, salah satu anak Pak Setiawan hampir setiap malam kesurupan, terutama kalau siangnya dia dan kawan-kawannya bermain di halaman belakang. Biasanya, mereka bergurau kelewat batas, mengucapkan kata-kata kotor ataupun makian yang mereka anggap masih dalam batasan lucu,” tutur Reino, membahas apa yang pernah didengarnya dari Asnah yang membantu pekerjaan rumah tangga di rumah mereka.                 Bu Sabrina terdiam. Dia merasa, reino akan tiba di bahasan terberat.                 Benar saja...                 “Terus Bu, masih ingat nggak, kejadian di awal bulan ketiga keluarga pak Setiawan menempati rumah itu?” pancing Reino.                 “Rein, sudahlah nggak usah dibahas,” elak bu Sabrina. Suaranya begitu lirih.                 “Bu,” rengek Reino.                 “Ya sudah. Kamu tuh mau ngomong apa lagi, sih? Soal perubahan menyolok di keseharian mereka?” bu Sabrina bertanya dengan pikiran lelah.                 Reino mulai agak kasihan dengan reaksi ibunya. Tetapi hati kecilnya berbisik, selagi ibunya tidak menghalanginya untuk membicarakan ini lebih detail, dia harus menuntaskannya.                 “Iya, itu dia Bu. Kejadiannya mendadak. Kalau sebelumnya, rutinitas pagi yang terlihat sama warga sekitar adalah pemandangan Pak Setiawan menyetir mobilnya, keluar dari halaman, menuju ke kantornya. Berselang lima belas hingga dua puluh menit, disusul sama sepeda motor kedua anaknya yang bersekolah pagi. Ningsih, si asisten rumah tangga akan menutup dan mengunci pagar itu dari luar untuk berbelanja sayur usai memastikan kedua sepeda motor itu lenyap dari pandangan matanya. Barangkali, yang ada di kepalanya adalah, para anak majikannya sudah membawa semua perlengkapan untuk sekolah, nggak ada yang tertinggal di rumah,” urai Reino.                  “Iya. Terus menjelang siang hari, sebuah sepeda motor yang dikendarai anak dari pak Setiawan yang rupanya bersekolah siang, biasanya keluar dari halaman rumah. Sesekali, di siang atau menjelang sore hari, mobil Bu Kamila, istri pak Setiawan, juga keluar dari rumah, sepulangnya anaknya yang sekolah pagi. Semua kendaraan itu pasti masuk kembali ke halaman menjelang malam hari. Begitu kan?  Tanpa kia pernah tahu apa saja kegiatan mereka di luar rumah,” komentar bu Sabrina.                 “Tapi semuanya berubah hari itu..,” ucap Reino.                 Ucapan Reino membuat Bu Sabrina terkenang pada ‘hari yang penting itu’.                 “Iya. Kata ibu-ibu di arisan warga sih, rutinitas yang demikian, hanya sekitar dua bulan lebih terlihat. Hal yang nggak biasa  terjadi. Apa yang dilihat para warga berganti,” kata bu Sabrina lirih.                 “He eh Bu. Berhari-hari mobil Pak Setiawan maupun Ibu Kamila, nggak kelihatan keluar masuk. Nah, kalau yang ini, justru reino dengar dari salah satu tukang ojek sama bagian keamanan juga, bukan Cuma Mbak Asnah, Bu,” kata Reino.                 “Apa? Yang soal anak sulungnya pernah memboncengkan seseorang yang seperti dijemput dari tempat yang jauh?” tanya bu Sabrina.                 Reino mengangguki ibunya.                “Ningsih itu kan kelihatannya lugu. Jadi dari ceritanya, warga mendapat keterangan bahwa Pak Setiawan mendadak lumpuh kakinya, saat bangun tidur. Terus yang mengerikan sewaktu Ningsih menyebut, seminggu terakhir Pak Setiawan bermimpi didatangi seseorang yang minta diberikan nasi. Sedangkan seseorang yang datang diboncengkan salah satu anaknya, menurut Ningsih adalah paranormal dari kampung. Sengaja dijemput dari terminal sama anaknya,” Reino menjeda ucapannya.                “Sayangnya, belum sempat warga mengorek lebih jauh tentang apa yang terjadi dengan Pak Setiawan, seolah punya firasat, tumben banget hari itu Bu Kamila menyusul Ningsih yang lagi belanja sayur di Mang Dudung. Esok paginya, warga melihat Ningsih diboncengkan anak tertua Pak Setiawan, dia membawa serta tasnya,” sambung Reino.                “Iya. Dan dua minggu kemudian, Bu Kamila datang ke rumah, mewakili suami sama anak-anaknya, berpamitan,” sahut Bu Sabrina. Mau tak mau ia terkenang, betapapun berusaha keras disembunyikan, ketergesaan tergambar pada raut wajah Bu Kamila kala itu. Bu Kamila menyebut bahwa renovasi rumah mereka selesai lebih awal. Sisa sewa dua setengah bulanpun mereka relakan begitu saja, meninggalkan tanda tanya besar di benak Bu Sabrina.                “Nah Bu, yang menempati rumah itu setelah Maudy kan, keluarganya Pak Setiawan. Ingat kan, Bu, awalnya mereka terlihat sebagai keluarga berada yang … ya… pilih-pilih kawan. Tanpa kita tahu yang terjadi, yang jelas, pas keluar dari rumah, Pak Setiawan, kan, lumpuh. Terus, cuma berselang satu setengah bulan kemudian, ada lagi penghuni berikutnya, empat anak muda yang kabarnya patungan mengontrak rumah itu untuk kegiatan usaha mereka,” ucap Reino, seolah dapat membaca pikiran sang Ibu.                “Hm.., iya, yang nggak jelas mau bikin usaha apa sebenarnya,” Bu Sabrina bergumam. Reino merasa pantang melewatkan kesempatan ini. Dianggapnya, sang ibu sudah semakin tak menghindari bahasan ini lagi.               “Iya tuh. Kalau ditanya sama Bapak, keterangannya berubah-ubah melulu. Sebentar bilang, mau jadiin rumah itu sebagai base camp. Lain kali, bilangnya mereka sudah punya usaha advertising, tapi mau buka laundry kiloan. Reino juga ingat, Mas Wandi yang melapor kemari, bilang ke Bapak, mau mencoba sewa sebulan dulu, karena keterbatasan dana yang mereka miliki. Tapi yaaa, seperti kita tahu, lah Bu, untuk alasan yang kita nggak ngerti, mereka hanya bertahan sepuluh hari di situ,” Reino mengambil jeda kembali.                       Reino menjangkau gelas di depannya. Mengucapkan kalimat panjang begini, membuat tenggorokannya dahaga. Tapi rupanya, Reino tak sabar melanjutkan perbincangan mereka. Usai meneguk setengah isi gelas, dia bicara kembali.                “Nah, Bu, mereka enggan bilang ada apa. Tapi, salah satu dari mereka mengatakan, awalnya saat menengok rumah itu, mereka sama-sama sepakat, karena harga sewa terjangkau, dan rumahpun luas. Tetapi, baru seminggu ditempati, terasa nggak cocok. Aura-nya nggak nyambung, kalau pinjam istilah Mas Ari, yang mendadak keluar dari grup mereka, dan pindah duluan. Dan susah dinalar kan, Bu, mengapa Mas Feropun, mengalami kecelakan fatal? Akhirnya, mereka berempat batal melanjutkan sewa rumah. Soal kerja sama mereka, entah berlanjut atau nggak. Belum sempat mikir sampai ke sana, baru dua bulanan rumah kosong, keluarga Pak Yanuar keburu masuk,” lanjut Reino.                 “Rein, kamu ini kok, suka banget ngerumpi, sih?” Reino tak menyangka, ibunya bakal berkata begini setelah cukup banyak yang mereka percakapkan. Merasa obrolan ini masih tanggung, dia lekas mengibaskan tangannya.               “Ini bukan ngerumpi, Bu. Reino curiga, dan tergugah mengungkap semuanya. Bapak kan, ketua rukun tetangga bu. Sudah lama, pula. Ibu juga sesekali datang di kegiatan ibu-ibu. Reinopun kalau ada waktu masih menyempatkan ikut kegiatan anak muda di sini. Kan nggak enak Bu, kesannya kita mendiamkan hal buruk menimpa warga sendiri?” sahut Reino serius.               Ucapan Reino tampaknya mengena. Keadaan menjadi hening sesaat. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hati Bu Sabrina tampaknya tersentuh, gara-gara teringat momen perpisahannya dengan Faisal, saat anak muda itu berpamitan padanya. Ada rasa sedih yang melintas. Akhirnya, Bu Sabrina lebih dahulu angkat suara.             “Keluarga Pak Yanuar itu beda, Rein, dibandingkan pendahulunya. Mereka ramah, mau bersosialisasi. Rasanya gimana ya..., kok, sedih banget, setiap kali ingat apa yang menimpa mereka. Ibu merasa kehilangan tetangga yang baik saja,” kata bu Sabrina.              “Makanya, Bu. Itu bikin Reino semakin yakin, ada yang nggak beres dengan rumah itu.  Ibu pasti memikirkan hal yang sama, kan?” pertanyaan Reino ini berbalas anggukan ibunya.              Ya, Bu Sabrina memang harus jujur tentang hal itu, meski dia juga senantiasa mengusir pemikiran tersebut sebelum terlampau jauh mengacak-acak kedamaian hatinya.              “Tapi Rein, enggak pernah ada keluhan warga, bahkan anak kecil sekalipun. Rumah itu kan, berbatas langsung sama lapangan warga. Ya meskipun nggak setiap hari, tapi kan lapangan itu lumayan ramai, terutama kalau akhir pekan. Di seberangnya juga ada mini market, pelanggannyapun lumayan banyak. Di depan rumah, jalan raya dua arah, yang lumayan ramai. Terus di sampingnya, ada jalanan kecil yang muat satu mobil dan satu motor, menuju ke lapangan warga. Artinya, banyak yang lewat, kan? Sejauh ini, semuanya baik-baik saja, nggak ada yang laporin kejadian aneh atau terganggu. Kalau dihubung-hubungan ke hal mistis, lantaran rumah itu seringkali kosong, dan berarti nggak ada ‘bau manusia’, misalnya. Faktanya, sampai sekarang, nggak pernah ada warga yang dikasih lihat ataupun mendengar yang aneh-aneh. Semuanya normal. Terus, kita bisa apa?” tanya Bu Sabrina bagai pada diri sendiri.              Reino menangkap keresahan dalam suara ibunya. Diyakininya, Ayahnyapun pasti telah sering mendiskusikan hal serupa bersama ibunya. Dan pertanyaan retorik sang ibu barusan, tampaknya jelas sebuah penegasan, ‘tiada sesuatupun yang dapat mereka lakukan.’              “Bu, Reino pikir, masalahnya justru ada di dalam rumah. Reino akan mencoba mencari jalan menyingkapkannya,” cetus Reino, memancing terbentuknya kerut di kening ibunya.              “Caranya? Kita nggak mungkin masuk rumah orang tanpa ijin, kan?” ibunya melempar kalimat retorik lagi.               Reino menggaruk-garuk kepalanya, berpikir keras. Ibunya memerhatikannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.              “Ah, ya! Reino tahu!” kata Reino kemudian. Nadanya cukup tinggi. Matanyapun mengerjap, macam orang yang baru saja menemukan kunci kotak pandora.               “Apa?” tanya ibunya, berusaha untuk menyembunyikan rasa ingin tahunya tentang apa yang terlintas di pikiran sang putra. Padahal, hatinya berdebar kencang. Harap-harap cemas.              “Tunggu ada penghuni baru yang masuk ke rumah itu. Dengan begitu, maka kita bisa bertindak,” jawab Reino.               Bu Sabrina menggeleng-gelengkan kepalanya.               Matanya menerawang jauh. Seberkas kesedihan membayang pada raut wajahnya yang mulai dihiasi kerut halus.              “Kenapa, Bu?” tanya Reino dalam bingung.              “Kalau boleh jujur, ibu nggak ingin, ada penghuni baru lagi. Ibu nggak tega, melihat ada potret muram kehidupan berlangsung di depan Ibu. Meninggalkan misteri, sedangkan Ibu nggak bisa berbuat apa-apa. Mungkin kamu pikir, agak jahat kalau ibu berharap, biarlah Taufan dan keluarganya kembali saja menempati rumah itu. Atau bahkan, Laksmi, sekembalinya dari Aussie kelak. Siapa tahu, dia menemukan tambatan hati di sana, menikah, kembali ke tanah air, dan menempati rumah itu. Dulu toh, semua berjalan baik. Siapa tahu…ah, ini jadi ngelantur mikirnya, ‘penghuni rumah’ yang nggak kasat mata, nggak suka rumah itu ditempati orang yang bukan keluarga pak Pramono,” kata Bu Sabrina pelan. Disebutnya nama Taufan Eka Priyadi dan Laksmi Ragilia Dewi, putra dan putri dari pasangan pak Pramono Priyadi dan bu Marlena Dewi, sang pemilik rumah.              Reino melongo mendengarnya. Harapan yang tersirat dalam kalimat sang Ibu barusan, sangat jauh dari jangkauan pemikirannya.              “Memangnya bisa begitu, Bu?” tanya Reino dalam bimbangnya.              “Nggak tahu juga. Mungkin,” sahut Bu Sabrina pendek, berniat menyudahi pembicaraan yang membuatnya dirundung perasaaan gelisah ini.               Faktanya, membicarakan keluarga Pak Pramono, mau tak mau membuat Bu Sabrina terkenang kebaikan hati mereka. Pasalnya, dia banyak berhutang budi pada almarhum Pak Pramono dan almarhumah Bu Marlena, istrinya. Ketulusan hati dua orang itu, sungguh tak terukur dari nominal teramat besar yang direlakan untuknya.               Bila bukan karena bantuan pasutri yang bijak serta dermawan itu, mungkin biduk rumah tangganya sudah bubar delapan tahun lampau. Dia yakin, suaminya takkan sanggup memaafkan kecerobohannya yang fatal. Karenanya, meski hubungan dengan anak-anak mereka, Taufan dan Laksmi tak sedekat hubungannya dengan Pak Pramono dan Ibu Marlena, hati Bu Sabrina terketuk, berusaha melakukan yang dia bisa. Setidaknya, meredam desas-desus seputar rumah peninggalan Pak Pramono, sebelum telanjur merusak citra keluarga mereka. Walau tak mengatakan apa-apa pada Reino, dia bertekad melakukannya.               Reino memerhatikan keterdiaman ibunya. Dia berharap dan menanti, ibunya buka suara lagi. Ternyata percuma. Mulut ibunya terkatup rapat.               Maka, Reino mengangkat bahunya, kemudian berkata, “Ya… yang mana saja, deh! Kalau perkiraan Ibu benar, semoga keluarga pak Pramono menempati rumah itu lagi. Aku senang mengajak main Bondan dan Nesya, mereka lucu dan pintar.”                Bu Sabrina urung berkomentar. Dianggapnya Reino puas dengan jawabannya dan menganggap bahasan mereka usai.               Nyatanya tidak! Diam-diam, Reino memikirkan cara sendiri demi membuka selubung misteri rumah tetangga mereka tersebut.                -          Akhir dari kilas balik –                Kini mengenang pembicaraan dengan sang ibu, hati Reino berbisik, “Aku nggak bisa menundanya lagi. Segera setelah aku tahu siapa yang menghuni rumah itu, aku harus mendekati mereka, supaya mendapatkan akses untuk masuk ke rumah tersebut. Aku harus bertindak cepat.”                                                                                                                                                                      -  Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD