Ini merupakan sore ketiga Zetta dan keluarganya menempati rumah berpagar tinggi itu. Keadaan rumah luas itu kini terlihat berbeda jauh. Lebih terasa lebih hidup lagi semarak. Berkat bantuan Gunawan serta empat orang kawannya, semua furnitur di gudang telah berhasil dikeluarkan dan dibersihkan.
Ranjang susun dan sebuah lemari dimasukkan ke kamar yang semenjak semula telah diproyeksikan oleh Zetta untuk dipakai Ajeng. Spring bed berukuran king size juga diletakkan di kamar yang ditempati oleh Azkia dan bu Lestari. Sisanya, sebagian diletakkan di halaman belakang, ada juga yang hanya ditata ulang di gudang. Barisan mesin jahit yang diangkut dari gudang outlet, kini tertata rapi, siap untuk dioperasikan.
Semua telah diperhitungkan secara cermat oleh Zetta. Sengaja dipindahkannya 2 buah meja besar dan sebuah lemari pakaian dekat area kerja operator jahit. Tujuannya, agar memudahkan para penjahit meletakkan hasil jahitan serta aksesoris.
Rencananya, Zetta akan melakukan pekerjaan memotong di gudang yang sudah tampak lenggang karena hanya memuat bahan-bahan tekstil mereka serta sedikit meja potong yang diangkut dari outlet.
Gunawan dan kawan-kawannya yang membantu saat pindahan, mengaturkan barang-barang besar dan membersihkan serta mendadani gudang. Dua buah exhaust fan, sebuah ceiling fan serta tiga kaca jendela nakko mereka pasang, menjadikan gudang tersebut layak dipakai bekerja.
Atas dasar alasan etika, Zetta menyempatkan memotret keadaan gudang sebelum dan sesudah perubahan yang dilakukannya serta mengirimkannya melalui aplikasi w******p kepada Natasya.
Dan jawaban yang diperolehnya dari Natasya justru, “Tidak apa-apa Mbak Zetta. Kan Mbak Zetta juga sudah meminta ijin sebelumnya. Menurut saya, gudang malah tampak jauh lebih rapi sekarang. Terima kasih sudah merawat dan memperindah rumah kami.”
Zetta tersenyum puas dan membalas pesan Natasya dengan stiker dua telapak tangan yang saling tertangkup, simbol ucapan terima kasih.
Lalu Zetta, bu Lestari, Ajeng dan Azkia membereskan bagian dalam rumah. Berkat kerjasama mereka berempat, kediaman mereka yang baru ini tampak bersih, terang, nyaman lagi terawat. Rumput-rumput di halaman depan dan belakangpun sudah terpangkas rapi sebelum mereka masuk. Zetta merasa, kesan suram ataupun seram yang pernah menyapanya pada saat dirinya baru pertama kali menapakkan kaki di rumah tersebut, terusir.
“Ternyata benar kata Mbak Natasya. Rumah memang harus ada bau manusianya,” gumam Zetta lirih.
Kini di ruang keluarga, Zetta mencoret-coret kertas. Di sebelahnya, wajah Azkia terlihat serius menghadapi laptopnya. Hitung-hitungan dalam format Microsoft excel terpampang di depan matanya. Ajeng datang, meletakkan empat cangkir teh yang masih mengepulkan asap kecil ke atas meja, lalu segera menghampiri bu Lestari.
“Ibu, ibu istirahat dulu. Dari kemarin sibuk berbenah terus. Saya saja yang lanjutkan, Bu. Ini, diminum dulu tehnya. Mumpung masih hangat, Bu,” kata Ajeng, mencegah Bu Lestari melipat setumpuk pakaian yang tadi diangkatnya dari tempat jemuran.
“Tahu nih Ibu, urat capeknya sudah putus, kali, ya? Santai dulu, Bu, leyeh-leyeh di sofa. Pinggang Zetta saja, rasanya mau putus, semenjak kesibukan pindah-pindahan kemari,” timpal Zetta. Zetta menghentikan gerakan jarinya membuat sketsa barang sesaat. Diletakkannya pensil di atas kertas tersebut.
“Iya, iya. Lha, kalian saja kerja terus, sibuk melulu dari pagi, bagaimana caranya, kok Ibu yang disuruh santai? Kalian juga istirahat dong,” sahut Bu Lestari yang sengaja membuat kesibukan sebagai pengalih atas rasa nelangsanya akibat ditinggal suami, di samping kesedihan menjalani kehidupan yang sekarang.
'Seandainya waktu bisa diulang, ingin rasanya Ibu mencegah Ayah menerima orderan Bu Indriwati. Dan bila Ibu dapat meminta, janganlah kebakaran itu terjadi. Sehingga kalian, anak-anak gadis Ibu, nggakperlu menanggung beban seberat ini, batin Bu Lestari, seiring pandangan matanya pada Zetta dan Azkia, buah pernikahannya dengan sang suami.
Sejurus kemudian, pandangan matanya mendarat juga pada paras Ajeng, pegawai suaminya yang dikasihinya sebagaimana dua anak gadisnya.
Senyum Zetta dan Azkia mengembang menimpali perkataan ibu mereka. Sementara Ajeng, bergegas mengambil alih pekerjaan bu Lestari yang semula.
“Kak Ze, lihat deh, proyeksi yang Azkia buat. Menurut Kakak, bisa dicapaikah?” Azkia menyorongkan laptopnya ke hadapan Zetta.
Zetta memerhatikannya dengan saksama. Dengan matanya, Zetta mencermatinya satu persatu, berkali-kali. Wajahnya muram kala mengetuk-ngetukkan pensilnya ke meja.
Ajeng yang baru selesai melipat pakaian, ikut bergabung di sebelah Zetta tanpa perlu diundang. Cukup satu menit mengamati ekspresi wajah Zetta, Ajeng sudah paham jawabannya.
Ia memutuskan untuk angkat suara.
“Mbak Ze, maaf kalau saya lancang. Kelihatannya Mbak takut susah mengejar biaya hidup kita, ya? Saya usul, sementara Mbak Azkia tetap menjual produk ILZA yang ditarik dari outlet secara online, baik di website sendiri maupun via re-seller, saya bantu terima jahitan saja, deh. Saya pasang plank di depan pagar, boleh Mbak? Saya akan pindahkan satu mesin jahit ke pavilion atau di kamar yang saya tempati. Jadi sembari menjahit, bisa sekalian jaga display baju. Kita jadi kan, Mbak, pakai pavilion itu untuk jual pakaian, setelah agak senggang, nanti?” tanya Ajeng.
Zetta memalingkan wajahnya, menatap Ajeng.
“Itu bisa sih, Jeng, tapi tetap saja, belum bisa terkejar. Sampai kapan kita harus menunggu, dan bisa mulai memproduksi secara massal lagi?” tanya Zetta lirih, seolah ditujukan pada dirinya sendiri. Dahi gadis itu berkerut. Terlihat jelas, bahwa dia tengah berpikir keras.
“Kalau begitu, di web-nya kita ditambahkan, terima pesanan dengan jumlah minimum. Tapi kak Zetta yakin, bisa kepegang? Nggak mungkin juga kan, kak Zetta turun tangan ikut menjahit, bareng mbak Ajeng?” tanya Azkia, ragu.
Kini Zeta menatap sang adik, tetapi belum menjawab apapun.
“Kalau sudah dapat ordernya, gampanglah. Bisa diatur-atur. Ibu kan, masih bisa menjahit. Masa kalian lupa, awalnya Ayah memulai usaha dari nol itu, selain karena usul Ibu, juga dikarenakan melihat hasil jahitan Ibu bagus? Sementara kita belum bisa membayar jasa penjahit, Ibu bantu saja dulu. Kalau sudah mulai banyak orderan-nya, kan, kita bisa panggil lagi operator jahit yang dulu bekerja di workshop,” timpal bu Lestari, yang sekarang sudah menuruti saran Zetta, berbaring di sofa.
Zetta dan Ajeng saling pandang dan beradu senyum mendengar perkataan bu Lestari. Sedangkan Azkia, tersentuh mendengar kesediaan sang Ibu untuk ‘turun tangan’ menangani pekerjaan yang telah sekian lama tak disentuh secara langsung lagi.
Azkia tersipu malu.
“Ah, Ibu. Serius? Azkia jadi malu, kayaknya kontribusi Azkia paling minim deh. Azkia mau memperlancar kemampuan menjahit, deh. Nggak sekadar bisa memotong pola,” cetus Azkia cepat.
Zetta masih diam. Kini pensil di tangannya, diketukkannya ke pipi nya. Sejenak kemudian, ia menarik napas panjang.
“Ya sudah, kita lakukan seperti itu dulu. Tapi ingat Kia, kuliahmu tetap nomor satu,” ontrbkata Zetta.
“Asyik! Itu bisa diatur kak Ze,” timpal Azkia senang, merasa dirinya diijinkan untuk berkontribusi secara nyata.
“Eh, sebentar, Kakak belum selesai. Terus, ingat pesan Kakak. Jangan sekali-kali kamu sentuh tabungan kamu untuk membayar biaya operasional selama kita tinggal di rumah ini. Itu tanggung jawab Kakak sepenuhnya. Kamu simpan buat keperluanmu sendiri nantinya,” lanjut Zeta.
“Tapi Kak..,” Azkia menawar.
Zetta menggeleng cepat.
“Enggak ada pengecualian. Sambil menanti perkembangan selanjutnya, Kakak akan mencari pekerjaan paruh waktu demi mengamankan finansial kita. Selain itu Kakak juga akan menawarkan beberapa design ke perusahaan-perusahaan dan butik, selagi menunggu pencairan uang asuransi, atau peminat yang mau beli workshop,” pungkas Zetta.
Azkia membungkam mulutnya, meski merasa keputusan kakaknya sepihak, tak sesuai keinginannya.
*
“Ze, hari ini mau ketemu calon klien? Kamu itu, jangan terlalu di-forsir dong kerjanya. Tadi malam waktu ambil minum, ibu lihat dari luar kamarmu itu masih terang benderang. Tidur jam berapa, kamu?” tanya Bu Lestari, melihat Zetta keluar dari kamarnya dan berpakaian rapi.
Di tangan Zetta, tergenggam sebuah map besar berisi hasil design baru. Hasil kerjanya dari sore hingga menjelang fajar menyingsing. Zetta memasukkan map itu ke dalam tas kerjanya, usai memastikan tidak ada satupun yang tertinggal.
Zetta mengangguki sang ibu dan menarik kursi. Lantas ia mengambil setangkup roti, mengoleskan selai coklat, dan menggigit tepinya.
“Terima kasih, Bu,” ucap Zetta, saat menerima secangkir teh hangat yang disorongkan oleh ibunya ke hadapannya.
Zetta menajamkan indra pendengarannya, kala mendapati suara mesin jahit bersahutan dari arah bangunan pavilion.
“Ajeng sama siapa itu Bu? Ada tamu, memangnya? Sepagi ini?” tanya Zetta.
Sang ibu tersenyum kecil.
“Oh, itu. Azkia mulai praktek menjahit. Tadi pagi dia bawa satu mesin jahit dari halaman belakang. Katanya, pesanan online-nya bertambahterus, berkat review positif. Stok dari outlet berkurang lumayan banyak. Azkia takut nggak bisa terkejar, kalau nggak secepatnya terampil menjahit. Nanti yang ada, pelanggan yang sudah ada malah kabur,” terang sang Ibu.
“Lho, dia nggak ada jadwal kuliah hari ini, Bu?” tanya Zetta, hendak memastikan.
“Libur, dia bilang,” sahut bu Lestari.
Zetta manggut.
"Oh, begitu. Ya sudah, Zetta siap-siap berangkat sekarang, Bu,” meneguk habis tehnya dan meletakkan cangkir kosong itu di tempat cuci piring dan bergegas mencucinya.
Usai mengeringkan tangannya, Zetta berkata, “Kemungkinan, menjelang malam Zetta baru balik ke rumah. Ada sekitar 6 tempat yang harus didatangi hari ini. Semoga hasilnya baik. Oh ya, Zetta sudah pesan ke Bu Sabrina, kalau sekitar sini ada asisten rumah tangga yang bisa pulang hari, bolehlah untuk bantu bersih-bersih, cuci setrika dan masak. Biar Ibu sama Ajeng nggak terlalu capek mengurusi rumah ini.”
Bu Lestari menggeleng tegas seusai Zetta bicara. Ia merasa perlu menggoyangkan pula telapak tangannya, demi mempertegas penolakannya.
“Ah, belum perlu itu, Ze. Masih keurus kok. Nggak ada masalah. Kita kan, mesti bisa seirit mungkin,” ujar Bu Lestari pelan.
Ucapan yang sanggup membuat hati Zetta serasa teriris.
‘Sesulit inikah hidup yang kami jalani sekarang? Bahkan Ibu seperti nggak rela, membayar jasa asisten rumah tangga. Padahal kalau dipikir, seberapa ngirit sih, uang segitu? Apa artinya dibandingkan kebutuhan kami yang nggak sedikit? Secara nggak langsung, aku penyebabnya. Aku harus lebih keras dan gigih, memulihkan keadaan ini,’ ucap Zetta tanpa suara.
“Ya, ibu aturlah. Nanti kalau bu Sabrina dapat orangnya, lalu orangnya datang, Ibu saja deh yang memutuskan mau memakai jasanya atau tidak. Zetta jalan sekarang Bu,” Zettapun mencium tangan dan pipi bu Lestari.
“Sebelum telanjur, ibu akan kabari bu Sabrina saja, nggak usah cari orang,” bu Lestari masih berkeras.
Zetta langsung terdiam. Dia paham, tidak ada gunanya berdebat mengenai hal remeh macam ini dengan ibunya. Apalagi pagi begini. Sungguh pantang baginya untuk merusak mood yang ditakutinya akan terbawa hingga seharian nanti.
“Nah, hati-hati di jalan, Ze. Semoga kamu berhasil! Ingat, Jangan ngebut di jalan nanti!” pesan Bu Lestari yang berbalas anggukan kepala Zetta.
“Amin. Terima kasih, Bu,” ucap Zetta kemudian. Dia sungguh percaya, doa tulus seorang ibu untuk anaknya itu besar manfaatnya.
Hati Zetta berbisik, "Semoga nanti Zetta pulang ke rumah membawa kabar baik, Bu, bukan dengan tangan hampa."
- Lucy Liestiyo -