Kisah kita memang telah menjadi bagian masa lalu, tapi kamu datang lagi setelah memutar waktu
—Nada Cassandra—
____________
Untunglah hari ini hanya pemberian jadwal pelajaran yang baru, jadi Nada tak perlu berlama-lama duduk bersebelahan dengan Zada. Gadis itu bahkan tak berani meliriknya sejenak saja, dia takut tatapan teduh Zada mampu membuatnya jatuh lagi seperti dulu.
Meski tidak sakit, tapi Nada cukup malu jika harus berhadapan lagi dengan Zada, baginya cukup saat kelas sepuluh saja. Hal lain yang lebih membuat Nada kesal adalah dia tak sekelas dengan Adela, gadis itu ada di kelas IPS tiga. Jadi, Nada merasa seorang diri karena dia tak dekat dengan siapa pun dengan manusia lain di kelas baru, mereka hanya sebatas saling menyapa.
Gadis itu memasukan alat tulisnya usai menulis jadwal pelajaran yang Bu Aini bagi pada white board, Nada benar-benar menghindari bertatapan langsung dengan manik mata Zada. Namun, apa Zada juga begitu? Dia tipikal laki-laki pendiam yang jarang bicara, tapi punya banyak teman, mungkin Zada termasuk laki-laki dingin yang disukai banyak orang seperti dalam n****+.
"Zada!" seru Dewa yang duduk di sebelah kiri Nada. Pada barisan paling belakang, memang hanya Nada yang perempuan, s**l sekali. Mendengar Dewa memanggil Zada membuat Nada menoleh ke arah Dewa, tentunya Zada akan melihat ke arahnya dan hal itu membuat Nada kesal. Dia berdecak, andai boleh Nada ingin menyumpal mulut Dewa dengan tisu toilet.
Setelah itu Nada menatap lurus ke depan, dia tahu kini Zada sedang menoleh ke arah Dewa. Tentunya Nada menghindari kontak mata dengan laki-laki itu.
"Eh, Nad! Munduran dikit kepala lo, gue nggak bisa lihat si Zada nih. Gue mau ngomong," perintah Dewa.
Kedua tangan Nada yang berada di bawah meja sudah mengepal kuat-kuat, dia menarik napas dan masih bisa menahan emosinya yang mulai tersulut. Tanpa mengubah posisi kepalanya, gadis itu bersandar agar dua manusia yang terhalang olehnya bisa bicara.
"Zad, lo sore ini jadi kan tanding futsalnya? Gue mau jadi cadangan!" seru Dewa.
"Jadi," sahut Zada lirih. Nada saja tak mampu mendengar suara laki-laki itu.
"Apa! Lo bilang apa, Zad? Gue nggak dengar," balas Dewa tak kalah sengit.
Nada benar-benar tidak nyaman dengan posisinya saat ini, tak diduga tiba-tiba Zada beranjak dan menghampirinya. Lebih tepatnya berdiri di sisi meja Nada, hal itu membuat Nada menelan saliva sambil menunduk, tubuhnya mulai panas dingin kali ini. Harusnya Zada tak perlu begitu.
"Gue jadi tanding," ucap Zada mengulang jawabannya pada Dewa.
"Oh, okey."
"Maaf, saya ganggu kamu," ucap Zada pada gadis yang masih mematung dan tak mau menatapnya.
Nada yang menunduk hanya mampu memejamkan matanya, dia tak ingin berbicara pada mantan kekasihnya. Cukup saat kelas sepuluh saja mereka pernah bicara, bahkan bisa dihitung dengan jari. Hubungan mereka sangatlah kaku, dulu keduanya jarang sekali berbincang atau bahkan bertemu. Mereka seperti sepasang merpati yang terbang ke arah berbeda dan tidak mau kembali.
Tanpa menunggu jawaban dari Nada, laki-laki itu kembali pada kursinya. Baru setelah itu Nada mampu mengangkat wajahnya dan menoleh, pandangan mereka bertemu, tapi secepatnya Nada beralih, dia tak tahan jika harus menatap mata teduh Zada yang melumpuhkan. Seolah tatapan Zada mampu menghipnotis setiap orang yang menatapnya.
***
Zada tak bisa konsentrasi untuk sore ini, berkali-kali dia kehilangan si kulit bundar yang sudah dikuasainya. Sesuatu mengganjal dan mengganggu pikirannya, tapi sebisa mungkin Zada ingin memenangkan pertandingan apalagi statusnya kapten futsal kebanggaan SMA Nusa Bhakti.
Kemampuan Zada dalam memainkan si kulit bundar sudah tak bisa diragukan lagi, entah sudah berapa piala yang dia persembahkan pada sekolahnya sejak SD sampai SMA.
"Dia siapa?" Tangan Zada menunjuk pada seorang gadis yang tengah menyeruput jus alpukat sambil berdiri di depan minimarket.
"Oh, dia Nada. Anak sepuluh satu, lo suka?" tanya Mario penasaran, keduanya tengah duduk di dalam bengkel yang berseberangan dengan minimarket tempat Nada berdiri.
"Nggak apa-apa, gue cuma nggak pernah lihat aja," elak Zada.
Mario menepuk bahu Zada cukup keras. "Ya mana pernah lo lihat dia kalau kerjaan lo ngurusin bola terus, Zad. Eling woy cari pacar sekali-sekali."
Zada hanya diam, dia menatap lagi gadis itu tanpa berkedip. Nada begitu menikmati jus alpukat di tangannya, rambut sebahu gadis itu tersapu angin hingga tergerai menutupi sebagaian wajahnya, saat tangan Nada menyelipkannya ke belakang telinga—semua itu makin menambah elok sang rupa.
Zada terus melamun—padahal dia sudah berada di dekat gawang lawan, ia kecolongan saat bola yang sempat dikuasainya kini direbut kaki orang lain.
"Zada!" seru Pak Rahmat—pelatih futsal SMA Nusa Bhakti—yang berdiri di luar area futsal sambil berkacak pinggang, Pak Rahmat meraup wajahnya kasar, kesal dengan kebodohan Zada yang gagal memasukkan bola ke gawang lawan.
Seketika Zada tersadar dari lamunannya dan berlari mengejar lawan yang tengah menguasai bola, dengan cepat Zada mampu merebutnya lagi.
_________
"Ma? Aku di sini, ma," ucap Nada pada sosok sang ibu yang duduk di ranjang ukuran single dengan seprai putih, ia tampak memeluk lututnya, tatapan wanita itu kosong lurus ke depan. Rambut panjangnya yang lepek terurai acak-acakan, membuat gadis itu membuka laci nakas di sisi tempat tidur dan mengambil sebuah sisir.
Kedua tangan Nada perlahan mengusap rambut Dena dan menyisirnya dengan lembut. "Rambut Mama wangi, tadi baru keramas sama Suster Kasih ya, Ma," puji Nada dengan seulas senyum di wajahnya. Wanita itu tidak merespons sama sekali, pandangannya tetap kosong dan hanya menghela napas.
Sejujurnya begitu perih dirasa Nada ketika ia sering datang ke tempat itu, sebuah panti di mana sang ibu tinggal. Wanita itu mulai depresi sejak kematian putri pertamanya—alias kakak perempuan Nada yang pergi secara tragis dan membuat jiwanya terguncang hebat hingga berakhir di tempat itu karena sering berhalusinasi dan mengamuk tanpa alasan.
Nada terbilang gadis yang kuat, sudah dua tahun belakangan ia mondar-mandir ke panti sejak Dena dimasukkan ke tempat itu oleh keluarganya. Nada paham kenapa harus begitu, tapi dia juga tidak tega melihat sang ibu yang hanya dirawat oleh para suster tanpa sanak keluarga, bisa tiga kali dalam seminggu Nada datang untuk menjenguk Dena. Dia rindu pelukan dan kecupan wanita itu, dia rindu apa pun yang melekat pada diri Dena sebelum semuanya menjadi sesuram itu.
Setelah selesai menyisir rambut Dena hingga terlihat rapi, gadis itu meletakan sisir ke laci kembali. Dia memeluk sang ibu dari belakang, sebuah pelukan yang begitu hangat dari seorang putri yang penuh kerinduan kepada ibunya.
"Ma, aku mau cerita nih. Tadi hari pertamaku masuk sekolah jadi kelas dua belas, aku udah kelas dua belas lho, Ma. Sebentar lagi Nada lulus, Ma," ucap Nada penuh binar di matanya.
Dia tidak akan pernah lelah meski banyaknya kata yang keluar dari mulutnya tak akan pernah direspons Dena. Namun tak apa, hanya itu yang bisa Nada lakukan untuk berkomunikasi dengan Dena, meski seringnya akan berakhir dengan air mata setelah datang ke tempat itu.
"Ma, sebentar lagi hari ulang tahun Nada. Besok Nada bakal buatin cupcakes kesukaan Mama, mau ya?" Mendadak air mata gadis itu meluruh, pelukannya kepada sang ibu kian erat, meski tak sewaras dulu, tapi ia benar-benar tak ingin kehilangan ibunya. "Aku sayang Mama, sayang banget." Nada melepas pelukannya lalu melangkah ke depan dan mengecup kening Dena dengan lembut.
"Sehat terus ya, Ma." Nada meraih ranselnya pada kursi yang terletak di dekat pintu, dia memang masih memakai seragam SMA dan belum pulang ke rumah, Nada selalu menyempatkan waktunya meski banyak kesibukan lain.
"Nada pulang dulu ya, Ma." Nada berpamitan seraya melambaikan tangan pada sosok Dena yang lebih mirip mannequien itu, senyum pahit kembali muncul di wajah Nada sambil berlalu keluar dari kamar Dena.
Dia melangkah di koridor dengan cepat, apalagi setelah melihat ke langit yang mulai mendung, dan keadaan benar-benar tak bersahabat ketika rumahnya cukup jauh dari tempat itu. Gadis itu memilih berlari kecil agar lekas sampai di parkiran.
Nada mengambil sepeda miliknya dan segera melajukan benda itu meninggalkan panti ke jalan raya yang masih ramai. Angin dingin berembus menyapu wajahnya.
Sudah lama sejak kematian Malla—kakak Nada—sekitar dua tahun lalu—sejak hari itu Dena mulai depresi, keuangan keluarga ikut terkena imbas karena Aji juga sering bolak-balik membawa Dena berobat ke psikiater bahkan hingga ke luar negeri, tapi tak membuat Dena sembuh sama sekali—bahkan makin parah. Dulu Nada terbilang tinggal di keluarga yang cukup berada, dia juga seringnya datang ke sekolah diantar oleh sopir menggunakan mobil pribadi. Namun, sejak keuangan keluarga goyah dan pekerjaam ayahnya yang tak lagi senormal dulu membuat semua fasilitas yang ia miliki lenyap dengan cepat.
Nada bukan tipe gadis yang suka mengeluh, dia terima segala keadaan keluarganya yang kini sudah tidak lagi utuh. Naik sekolah dengan sepeda ketika kebanyakan anak SMA naik motor bahkan mobil—baginya tidak masalah. Lagipula dia datang untuk menuntut ilmu dan bukan pamer fasilitas keluarganya. Dia sudah menjelma menjadi gadis yang sederhana dan sekuat baja.
___________