Bagian 11.

1562 Words
Tak ada yang bisa memaksa rasa untuk siapa-siapa, sebab rasa hadir tanpa perantara. ____________       Rupanya hawa dingin masih setia ketika malam tiba bersama jatuhnya rintik hujan yang membuat kehangatan di setiap rumah cukup terasa. Terdengar bunyi dentuman melodi yang mengalun sendu di balik sebuah ruangan kecil. Gadis yang mengenakan piyama itu duduk di balik piano kesayangannya, dia menekan tuts-tuts piano yang memperdengarkan alunan melodi Bella's lullaby seperti yang bisa didengar ketika menonton film Box Office Twilight Saga karya Stephanie Mayer dalam adegan Bella yang sudah digigit urat nadinya oleh seorang Vampir pemangsa.      Jemari Nada begitu piawai menekan tuts dengan mata yang terpejam seolah ikut terbawa suasana malam itu, piano menjadi salah satu benda kesayangannya. Jika hari itu dia tak menyembunyikannya di rumah Adela, maka piano milik Nada juga akan disita oleh pihak Bank beserta rumah besar—sebab hutang-hutang yang keluarganya miliki untuk berobat Dena keluar negeri.      Hanya benda itu yang dapat ia selamatkan, bahkan beberapa piala miliknya dan Malla juga ikut disita karena tak sempat Nada amankan, dia terlalu sibuk dengan urusan Dena.      Suara gemericik hujan malam ini sangat menyatu dengan alunan nada piano yang gadis itu mainkan, terlihat siluet Nada dari balik jendela dengan tirai transaparan putih.      "Kalau sakit itu istirahat, Nad. Bukannya begitu," tegur Aji yang baru masuk sambil membawa secangkir kopi.      Ucapan itu membuat Nada menghentikan aksinya seraya membuka mata, dia menoleh bersamaan dengan Aji yang meletakan kopi di atas meja kecil dekat pintu.      "Kalau tiduran terus lama-lama Nada bisa stres, Pa. Mending kayak gini menghibur diri, lebih bermanfaat dan kalau Nada happy pasti cepat sembuh deh," ujar gadis itu beralasan panjang lebar.      Aji manggut-manggut paham, dia meraih lagi cangkir kopi miliknya dan meneguk sedikit. "Besok sekolah?"      "Sekolah dong, Pa. Udah lumayan mendingan kok, cuma tadi emang lemas aja karena maksa buat ikut olahraga."      "Oke kalau kamu merasa sudah baikan. Oh iya, sampaikan terima kasih Papa buat temanmu yang sudah bawa kamu ke UKS dan kasih obat itu."      Nada menelan saliva ketika mendengar ucapan Aji, jadi maksudnya dia harus berkata terima kasih pada Zada? Ya itu memang harus, lagipula dia yang salah dan tak mau mendengar perkataan laki-laki itu. Terima kasih untuk jaket dan terimakasih untuk pertolongannya.      "Bisa, kan?" Aji memastikan lagi setelah melihat gadis itu justru melamun.      "Bis-bisa kok, Pa. Besok aku bilang," sahut Nada terbata. Dia tampak gugup.      "Kalau Papa boleh tahu siapa namanya, Nad?"     "Ng ...." Gadis itu mengusap tengkuknya, sedikit ragu untuk menyebut nama. "Zad-Zada namanya."      Aji mengerutkan kening, "Zada? Kok namanya mirip sama nama kamu ya, Nad. Jangan-jangan—"      "Jangan-jangan apa? Jangan mikir yang aneh-aneh deh, Pa. Nama sama bukan tentu kita itu—"      "Lho kok nyambungnya ke mana-mana sih, emang kamu tahu Papa mau bilang apa?"      Nada makin gugup, dia menggigit bibirnya seraya menggeleng, terlihat bodoh.      "Jangan-jangan ibunya si Zada nyontek nama kamu pas mama lahirin kamu, jadi cuma beda inisial aja deh," ujar Aji seraya tertawa hambar.      Nada tersenyum tipis, Aji memang terkadang bersikap menggelitik. Gadis itu bernapas lega, dia pikir Aji akan menggodanya atau berkata yang bukan-bukan.      "Ya udah Papa juga mau menghibur diri, mau nonton bola. Kamu jangan tidur larut ya, Nad. Badan harus fit, besok sekolah."      "Iya, Pa. Sebentar lagi juga tidur kok."      Akhirnya Aji melangkah keluar dari ruangan kecil itu, Nada mengacak rambutnya frustrasi. Dia merasa ada yang aneh ketika Zada tiba-tiba muncul di depan matanya, mereka seperti terus-menerus terhubung seperti sambungan telepon. ______________      Tok-tok-tok!      "Zada, Tante boleh masuk!" seru seseorang di luar kamar Zada.      Zada yang membaca sebuah novel tebal segera menutupnya setelah mendengar suara seseorang dari luar kamar, dia meletakan buku itu di atas nakas dan beranjak menghampiri pintu—memutar kunci dan menarik kenop, tampaklah wujud Ina—tante Zada—bersama Erik yang menunjukan puppy eyes miliknya yang sembap, Zada bisa menebak pasti bocah itu baru saja menangis.      "Kamu lagi belajar, Zad?" tanya Ina memastikan keadaan Zada sebelum dia membuka pintu.      Zada menatap Erik yang tampak menggeleng, "Enggak kok, Tan. Kenapa?"     "Ini si Erik maksa minta tidur sama kamu, tapi kan Tante nggak bolehin. Takutnya nanti dia ganggu kamu yang lagi belajar, si Erik rese nih," ungkap Ina yang kini menunduk menatap Erik, bocah itu mengerucutkan bibirnya menatap sang ibu dengan jengkel, bahkan Erik menepis tangan ibunya yang sejak tadi menggenggam bocah itu.      "Mama jahat! Mama pelit!" kesal Erik dengan alis bertaut, dia melipat tangan di d**a lalu menatap ke arah lain.      Zada mengulum senyumnya, dia tampak iba melihat tingkah keponakannya itu. "Ya udah, nggak apa-apa kok, Tan. Lagian aku udah kelar belajarnya, Erik masuk aja. Asal jangan ngompol," goda Zada menahan tawanya.      "Apaan sih, Bang! Erik nggak pernah ngompol kok. Cuma kadang suka lupa mau bilang kalau pipis duluan."      Zada dan Ina sama-sama mengulum senyum, setelah mendapat izin dari pemilik kamar bocah itu lantas berlari melewati Zada dan naik ke ranjang besarnya serta menarik selimut. Ina bernapas lega karena bocah kecil itu sudah tidak menangis lagi.      "Titip Erik ya, Zad. Tante mau balik ke kamar dulu," pamit Ina yang disetujui oleh anggukan Zada.      Setelah Ina berlalu barulah Zada kembali ke kamarnya dan menutup pintu, dia melihat bocah itu tengah asyik dengan ponsel milik Zada yang memang tahu betul rangkaian angka-angka pengunci layar. Tampak lucu sambil berbaring di tengah-tengah ranjang seolah tak memberikan ruang untuk si pemilik.      "Bang, Erik boleh main game?" izin Erik dengan polosnya.      "Main aja." Zada menjatuhkan tubuhnya di sisi Erik.     Ketika Erik baru akan membuka aplikasi game ternyata sebuah panggilan menggagalkan niatnya.      "Siapa, Rik?" Zada menatap ke langit-langit dengan kedua tangan menjadi batalan.      "Enggak tau, Erik matiin ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban dari Zada, jempol Erik menyentuh layar bundar warna merah.      Nyatanya nomor yang sama kembali memanggil, membuat Erik mulai kesal.      "Siapa sih ini! Bikin repot aja!" celetuk bocah manis itu, jempolnya menyentuh layar bundar warna hijau dan menempelkan ponsel pada telinganya.      "Hallo, Zada! Kenapa telepon aku nggak diangkat-angkat sih? Kamu sibuk apa dari tadi sampai gak sempat angkat telepon aku." Suara Rebbeca terdengar cukup jelas di telinga Zada karena Erik menghidupkan loudspeaker, Zada memang tak pernah menyimpan nomor milik Rebbeca.      "Hallo, Tante. Ini Erik, ngapain sih cerewet. Erik mau main game ya jadi tolong jangan diganggu," sahut Erik kesal. Dia tidak peduli dengan siapa ia bicara sekarang, siapa pun yang mengganggu kesenangan bocah itu pasti akan kena omel meski pada akhirnya orang lain akan tersenyum atau menahan tawa ketika diceramahi bocah itu.      "Lho, kok malah si Erik sih. Abang kamu mana? Tante mau ngomong."      Erik menoleh pada Zada, terlihat Zada hanya mengerlingkan salah satu matanya.      "Bang Jada udah bobo, capek! Habis lari-lari di tengah lapangan. Mending Tante bobo juga, udah malem. Jangan ganggu Abangnya Erik."      Zada mengulas senyumnya mendengar perkataan bocah itu.      "Tante nggak percaya, pasti kamu bohong, kan? Mana ada Zada jam segini udah tidur. Cepat kasih hapenya ke Zada."      "Ish! Tante itu kalau dikasih tahu jangan ngeyel, kata mama itu dosa dan nggak baik. Kalau Erik yang ngeyel suka kena cubit mama, Tante mau Erik cubit, iya?"      Kini Zada meraih bantal di dekatnya untuk menutupi wajah dan mulai tertawa tanpa didengar Erik. Ceramah bocah itu terlalu menggelitik untuknya.      "Erik sayang? Tante mau ngomong sama Bang Zada, mana? Nanti Tante bagi cokelat deh."      "Maaf, Tante. Tapi Erik udah nggak boleh makan cokelat lagi sekarang. Mending sekarang Tante bobo, jangan ganggu Erik lagi. Jangan lupa sikat gigi ya, Tante. Kata mama biar nggak ada belatung nanti."      Zada tak bisa membayangkan bagaimana raut Rebbeca yang pasti kesal di seberang sana diceramahi oleh seorang bocah tiada henti dan tak mau mengalah.      "Erik, please kasih hapenya ke Abang Zada. Tante mau bicara sama dia."      "Dasar Tante budeg!" Erik mematikan telepon secara sepihak. _____________       Rebbeca melempar ponselnya begitu saja ke lantai setelah Erik mematikan telepon tanpa izin, dia begitu kesal terhadap bocah itu saat ini. Rebbeca juga melempar bantalnya ke lantai dan memekik.      "Argh! Erik s****n! Halangin aja orang mau ngomong, lagian kenapa sih kok bisa sama itu bocah, Zada kebiasaan deh! Pasti dia kabur dan kasih hapenya ke Erik! Dua-duanya sama aja!" gerutu gadis itu, dia beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselnya. Ternyata masih menyala, mudah saja untuk seorang Rebbeca Emily Torsten, dia bisa minta ponsel kapan pun dalam model apa pun kepada orang tuanya yang kaya raya.      Diusianya yang masih belia, Rebbeca juga memiliki pekerjaan sendiri yakni seorang model majalah Gadis Pilihan, wajahnya sering terlihat hilir-mudik menjadi sampul majalah ternama itu. Rebbeca adalah gadis blasteran Indo-Jerman, ayahnya orang Jerman dan Ibu yang asli orang Indonesia, karena hal itu tentunya juga yang menunjang kecantikan wajah seorang Rebbeca.      Namun, memang wajah cantik belum tentu bisa meluluhkan hati seseorang sekalipun memiliki rupa bule, tapi perasaan tidak dapat dipaksa oleh kehendak sendiri, buktinya sampai hari ini Zada tak pernah memiliki secuil pun rasa untuk Rebbeca. Sekeras apa pun usaha Rebbeca untuk mendekati Zada meski sampai mengancam bisnis keluarga Damarez, tapi perasaan tak pernah muncul dalam benak Zada, dia terus kaku dan selalu ingin menghindari seorang Rebbeca yang bisa dikatakan The perfect girl.      Baginya, Rebbeca hanyalah sebuah benalu yang terus saja mengganggu kehidupannya. Semua karena jasa orang tua Rebbeca yang pernah menolong Ivander Damarez—ayah Zada—ketika keluarga mereka belum sesukses seperti sekarang, dan imbasnya justru mengampiri Zada karena putri Alvin Torsten yang menyukai dirinya. Ivan dan Rosalie juga sering memaksa Zada untuk mendekati gadis blasteran itu, tapi tak pernah Zada realisasikan, dia tak bisa menciptakan rasa apa pun untuk Rebbeca, semua di luar kehendaknya, semua bukan dia yang mengatur. Sebuah rasa muncul ketika alam bawah sadar mengetikmu untuk menghampirinya. Namun, Zada memang tidak memiliki hal itu. ________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD