Coastes Sentosa, Singapore | 08.00 pm.
"Sudah lama sekali aku tidak ke sini," ujar Emily yang menarik napas dalam, menghirup segarnya udara malam dan aroma laut, serta suara deburan ombak yang menenangkan. Ia menarik kursi sebuah meja makan yang masih kosong.
Setelah Emily dan Jenny melabuhkan b****g di sana, datang seorang pelayan perempuan. Mereka memesan menu yang menarik perhatian mereka. Tak lama kemudian, pelayan wanita itu kembali lagi bersama minumam yang sudah siap.
"Apa aku boleh gabung bersama kalian?"
Uhuk!
Suara bariton itu sukses membuat Emily dan Jenny tersedak minuman yang baru saja mereka sedot. Mereka tidak percaya melihat siapa yang baru saja datang dan meminta untuk bergabung bersama dengan mereka.
"Kalian baik-baik saja, kan?" imbuh suara itu lagi.
"I, iya! Silakan duduk, Kapt!" Jenny mempersilakan Justine untuk duduk di sampingnya. Namun, pria tampan itu justru menarik kursi tepat di samping Emily membuat gadis cantik itu melotot menatap temannya yang hanya bisa cengengesan tidak jelas.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Pertanyaan itu Justine lemparkan pada Emily sesaat setelah ia duduk.
'Tenang Emily! Tenang! Kamu pasti bisa, deh! Jangan sampai kamu pingsan dan bikin malu!' batin Emily menyemangati dirinya dalam diam. Ia berusaha keras menahan degup jantungnya yang lagi-lagi berdebar keras.
"Ehem! Sepertinya tidak pernah, Kapten," jawab Emily sedikit terbata-bata.
Justine sekadar mengangguk. "Aku dengar kamu baru saja pulih dari operasi besar. Lexi yang tadi bilang sama aku. Selamat kembali bekerja, ya." imbuh Justine lagi dengan memberikan semangat pada Emily.
Emily hanya terdiam, ia mencoba menetralisir detak jantungnya yang sedang menggila saat ini.
Beberapa menit kemudiannya, pelayan wanita kembali datang mengantarkan makanan yang mereka pesan dan meletakkan di atas meja.
"Miss, nanti pesanan saya antarkan saja ke sini, ya," pinta Justine dan diberi anggukan mantap oleh perempuan itu.
Mau Jenny atau Emily, kedua gadis itu tidak ada yang berani mulai makan terlebih dahulu. Rasanya tidak enak memakan santapan duluan sebelum atasan mereka makan.
"Kenapa kalian belum makan?" tanya Justine tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Ia sadar jika dua orang gadis itu masih belum memakan pesanan yang sudah datang.
"Anu, Capt, mending kita makannya bareng kapten saja," jawab Jenny cepat.
Justine tidak lagi memaksa mereka untuk makan lebih dulu. Tanpa harus menunggu lama, pelayan pun kembali lagi bersama nampan di tangannya, mengantarkan makan malam pesanan Justine.
"Thanks, Miss," ucap Justine ramah lantas mengulurkan kartu kredit kepada sang waitress. "Sekalian sama makanannya mereka, ya."
"Eh?” Emily berseru kencang. “Duh, nggak enak banget malah dibayarin lagi sama Kapten." Kali ini Emily yang angkat bicara. Sepertinya jantung Emily sudah mulai sedikit aman dan bersahabat dengan kondisi saat ini.
“Santai aja,” ucap Justine dan membuat kedua sahabat perempuan itu saling tatap.
Makan malam dimulai. Masing-masing sibuk dengan makanan yang ada di atas piring mereka, tanpa menyadari ada sepasang mata yang sedang menatap kesal. Selang dua meja dari tempat duduk Emily, adalah meja yang ditempati oleh Shane dan Miranda.
"Kamu marah, Shane? Atau kamu cemburu melihat dia didekati sama Kapten Justine?" Pertanyaan sarkas yang Miranda lontarkan sukses memancing emosi Shane.
"Kenapa? Bukannya kau yang cemburu?" balik Shane melontarkan pertanyaan yang juga sontak membuat Miranda kesal.
Wanita itu bangkit dari kursinya lantas berjalan ke arah Emily dan Jenny yang sedang mengobrol santai usai melahap habis makan malam.
"Hai, Emily!" sapa Miranda yang pura-pura ramah.
"Oh! Hai, kamu sudah makan, Mir?" sapa Emily balik dengan ramah.
"Sudah, dong. Aku makan ditemani Shane. Apa kamu tau kalo Shane juga transit Singapore?" tanya Miranda yang sepertinya sengaja untuk memancing amarahnya Emily.
"Aku sempat melihatnya, kok! Memangnya kenapa?" Jawaban singkat Emily menguji batas kesabaran Miranda.
"Kamu tidak mau tahu aku sama Shane punya hubungan apa?" tanya Miranda memancing-mancing Emily.
Namun, Emily justru terlihat biasa saja dan tidak peduli. "Kalian pacaran? Atau sebenarnya kalian sudah nikah siri? Aku, sih, sebenarnya bodo amat. By the way, selamat ya. Aku kasih saja mantan aku buat kamu," ucap Emily blak blakan.
"Kamu! Jangan so-" Miranda menelan kata-katanya saat melihat Justine mengangkat wajahnya untuk menatap tepat ke wajahnya.
"Awas kamu, Emily!" Miranda menelan sumpah serapahnya dan menghentakkan kakinya sebelum melangkah pergi dari sana. Ia lebih memilih untuk mengucapkan ribuan sumpah serapah dan kata-kata kesat di dalam hatinya.
Miranda tidak terima jika Emily berada walau selangkah di depannya. Pertemanannya dengan Emily waktu itu juga sekadar pura-pura. Aslinya Miranda hanya ingin merebut semua yang Emily punya. Mau itu prestasi, pacar, atau bahkan perhatian dari kedua orang tuanya Emily.
"Miranda, kamu bicara apa sama Emily barusan?" tanya Shane penasaran.
"Aku bilang kalau aku dan kamu sudah jadian!" dusta Miranda angkuh.
Shane hanya bisa memandang Emily dari kejauhan, berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran mantan pacarnya. Sementara di seberang sana, Emily sedang menatap sambil melemparkan senyuman padanya.
'Kenapa dia malah tidak marah sama sekali? Apakah dia sudah duluan selingkuh dariku?' tebak Shane dalam hatinya.
…
Karena permintaan Justine, saat ini Emily sedang mencari keberadaan pria itu di tepi pantai. Ia berjalan menyusuri bibir pantai dengan bertelanjang kaki. Sementara itu, ia memegang sepatunya agar tidak kotor dimasuki pasir pantai.
Emily melihat Justine, Jenny, Jacob, Lexi, dan yang lainnya sedang bermain dan menikmati pantai di malam hari seperti yang ia dan Justine lakukan. Ia segera berjalan ke arah mereka.
Tatapan keduanya bertemu dan tanpa disangka mereka memanggil secara bersamaan, "Kapt!" / "Emily!" Keduanya berseru serempak dan berakhir saling menertawai kelakuan lucu mereka.
"Ladies first," ujar Justine mempersilakan.
"Kapt, sebelumnya aku minta maaf." Emily menghentikan langkahnya. Ia menatap ke arah Justine di bawah temaramnya cahaya bulan. Ia masih bisa merasakan detakan jantungnya yang mulai berpacu.
"Why?"
"Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada diriku. Namun, saat pertama kali melihat Kapten masuk ruangan flops, jantungku rasanya seperti mau melompat keluar." Emily terus saja menceritakan keanehan yang ia rasakan setelah menerima jantung baru itu.
“Operasi besar yang kamu lakukan waktu itu adalah operasi untuk menerima donor jantung, ‘kan?” tebah Justine. Emily menatapnya terkejut. Ia tidak menyangka Justine bisa mengetahui hal itu. Justine mengernyit dan bertanya, "Apa kamu tahu siapa pendonornya?"
Emily yang heran sekadar menggeleng. "Papi aku cuma bilang kalau pendonor itu adal …"
"Hai, Justine! Kamu lagi ngapain di sini?"
"Calista!"
Itu adalah suara Calista yang datang-datang langsung saja bergelayut manja pada lengan kokoh Justine. Namun dari ekspresi wajah Justine, Emily tahu kalau pria itu aslinya merasa tidak suka dengan perlakuan Calista.
"Justine … temani aku makan, dong. Aku laper dan sepertinya aku mau makan pizza!" celetuk Calista dengan nada manja. Ia benar-benar mengacuhkan kehadiran Emily.
"Kapt, aku duluan, ya. Makasih karena sudah mau mendengarkan aku curhat sama traktir makan malam aku sama Jenny," ucap Emily seraya mengulas senyum.
Belum sempat Justine membuka mulut, Emily sudah membalikkan tubuh. Ia mulai membuka langkah lebar meninggalkan Justine dan Calista di sana.
Ada semacam perasaan tidak rela melepas Emily pergi. Namun, Justine tidak memiliki alasan untuk menahan Emily lebih lama bersamanya. Apalagi ada Calista yang saat ini memaksanya untuk menemani makan.
"Calista, please, jangan seperti ini lagi. Nanti orang-orang malah mengira kita pacaran." Justine berusaha melepaskan lengan kokohnya dari pelukan Calista dan langsung membuat wajah gadis itu merah padam.