Selin terbangun dengan tubuhnya yang terasa remuk. Setiap sendinya seperti berteriak meminta belas kasihan, sementara kepalanya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil tampak lemah, tak berdaya setelah malam panjang yang dipenuhi keheningan kelam.
Serangan Vasko tadi malam menghancurkannya seperti badai yang mengamuk. Lelaki itu buas, bagaikan seekor singa lapar yang mengoyak mangsanya tanpa ampun. Selin, yang tak berdaya, hanyalah seekor kelinci kecil yang dilempar ke dalam kandang pemangsa.
“Kamu sudah memenuhi janjimu,” katanya tadi malam, suaranya dingin, tapi mengandung kepuasan yang menusuk hati Selin. Kata-kata itu berarti satu hal: ia memang seorang perawan. Namun, bukti itu tidak memberinya kehormatan apa pun. Ia hanya merasa lebih kecil, lebih hancur, dan lebih tidak berarti dari sebelumnya.
Pagi ini, Vasko telah pergi. Ke mana, Selin tidak tahu. Hanya ranjang king-size itu yang menjadi saksi bisu, meninggalkan Selin yang lemah dan sendirian di tengah kekacauan.
“b***k! Ayo bangun!”
Teriakan itu menggema di telinganya, diikuti oleh sensasi dingin yang menusuk. Air seember penuh disiramkan ke tubuhnya yang lemah, membasahi seluruh dirinya hingga menggigil.
Selin terkejut, tubuhnya seketika bangkit dengan gemetar. Matanya yang sembab menatap perempuan yang berdiri di depannya, berseragam rapi dengan wajah penuh kebencian.
“Iya, nyonya,” jawab Selin pelan, suaranya serak. Napasnya terhela panjang, berusaha menenangkan diri meski tubuhnya terasa beku.
Perempuan itu membanting ember kosong ke lantai dengan keras, suara dentingnya membuat Selin tersentak. “Bersihkan ruangan ini! Keringkan kasurnya! Jangan sampai masih basah ketika Tuan Vasko pulang nanti!” perintahnya dengan nada sinis.
Selin menundukkan kepala, menahan gejolak di hatinya. Ia tahu melawan hanya akan memperburuk keadaan.
Namun, dalam hatinya ia tak habis pikir. *Dia yang menyiramku di atas kasur ini, tapi kenapa aku yang harus membersihkannya?* pikir Selin. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu, hanya kenyataan pahit yang terus menamparnya bahwa ia adalah seorang b***k, seorang boneka tanpa hak untuk mempertanyakan apa pun.
Dengan tubuh yang masih menggigil, Selin bangkit dari ranjang. Tangannya yang lemah mulai bekerja, mengangkat seprai basah yang terasa lebih berat dari seharusnya. Rasa sakit yang menjalar di tubuhnya tidak menyurutkan langkahnya. Ia tahu, dalam dunia ini, kehancurannya adalah hiburan bagi orang lain, dan hanya ketegaran yang dapat menjadi senjatanya.
______________
Selin kini mengenakan pakaian pelayan yang sederhana, jauh berbeda dari gaun mewah yang semalam sempat melingkupi tubuhnya. Seragam itu terasa kasar di kulitnya, mengingatkan dirinya bahwa statusnya di rumah besar ini bukan lebih dari seorang b***k. Dengan sapu di tangan, ia membersihkan lantai lima, ruangan yang luasnya seperti aula istana.
Namun, pikirannya terus melayang. Rasa lelah menjalar di setiap sendi tubuhnya, efek dari malam sebelumnya yang menguras segalanya darinya. Hanya keinginannya untuk bertahan hidup yang membuatnya tetap bergerak, meskipun ia tahu kepalanya berdenyut nyeri dan kelaparan mulai menyiksa perutnya.
"Aku laper banget..." keluhnya pelan, hampir seperti gumaman yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Ia menyapu perlahan, matanya mengintip ke arah pintu seperti berharap ada seseorang yang datang membawakan makanan untuknya. Tapi harapan itu sia-sia; tidak ada seorang pun yang peduli.
Tenaganya sudah habis dikuras oleh Vasko semalam, namun pagi ini, ia dipaksa menggerakkan tubuh lemah itu untuk membersihkan ruangan yang seolah tidak ada habisnya. Jendela besar di dinding ruangan memancarkan cahaya matahari pagi, tapi kehangatannya tidak mampu menghapus dingin yang ia rasakan di hatinya.
Selin berhenti sejenak, menyandarkan tubuhnya pada gagang sapu. Ia memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa perih di punggungnya dan rasa lapar yang mulai membuatnya pusing. Tapi istirahatnya tidak berlangsung lama; bayangan kepala pelayan dengan suara dinginnya yang penuh perintah terus menghantui pikirannya.
“Tidak ada waktu untuk mengeluh,” bisiknya pada diri sendiri. Ia menghela napas panjang dan kembali menyapu, meskipun langkahnya semakin lambat. Setiap gerakan terasa seperti perjuangan melawan gravitasi, tapi Selin tahu, berhenti berarti hukuman, dan ia tidak sanggup menerima hukuman lagi.
Namun, di sudut hatinya, ada rasa marah yang terus tumbuh, seperti api kecil yang perlahan membesar. Sampai kapan aku harus hidup seperti ini? pikirnya, tapi pertanyaan itu segera ia tepis. Di dunia ini, ia hanyalah seorang b***k, dan tidak ada ruang untuk pemberontakan dalam hidup seorang b***k.
Selin terus menggerakkan tangannya, menyapu lantai ruangan besar itu dengan gerakan perlahan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa sakit dan kelelahan. Namun, matanya tertarik pada potret besar yang tergantung di dinding ruangan itu.
Wajah Vasko yang tampan, dengan rahang tegas dan sorot mata tajam, seolah menatapnya dari kanvas. Dalam potret itu, ia terlihat seperti seorang raja yang tak tergoyahkan, memancarkan kekuatan dan d******i. Tapi bagi Selin, ia adalah badai yang telah menghancurkan dunianya.
Ia berhenti sejenak, sapunya terhenti di udara. Pikirannya berputar ke arah ketakutan yang baru saja hinggap di benaknya. "Bagaimana jika aku hamil?" tanyanya pada diri sendiri, pikirannya diselimuti ketidakpastian dan kecemasan.
Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara dingin yang sarat ejekan memecah keheningan. “Maka kami akan menggugurkan janin itu!”
Selin tersentak dan menoleh. Perempuan berseragam yang sebelumnya menyiramnya kini berdiri di ambang pintu. Wajahnya dihiasi senyuman miring penuh penghinaan.
“Kamu hanya b***k!” lanjut perempuan itu dengan nada penuh kebencian. “Kamu tidak pantas mengandung anak seorang raja!”
Kata-kata itu menghantam Selin seperti cambukan yang tidak terlihat. Tubuhnya lunglai, dan ia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa pilu yang menyeruak di hatinya.
“Aku bahkan tidak punya hak atas diriku sendiri…” gumam Selin dalam hati, rasa getir memenuhi dadanya.
Perempuan itu mendekat, menatapnya dengan tajam seperti elang yang memandang mangsanya. “Jangan bermimpi terlalu tinggi, b***k. Ingat posisimu. Kamu tidak lebih dari mainan Tuan Vasko. Kalau dia bosan, kamu akan dibuang seperti sampah.”
Kata-kata itu menusuk seperti pisau, tapi Selin hanya diam, menggenggam gagang sapu erat-erat untuk menahan tangisnya. Ia tahu menangis hanya akan membuatnya terlihat lebih lemah, lebih tidak berarti di mata mereka.
Namun, di dalam hatinya, ia merasakan benih kecil yang tumbuh. Entah itu kemarahan, kesedihan, atau mungkin harapan samar, ia tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak ingin hidupnya berakhir sebagai b***k yang hanya dikenang karena kepatuhan dan penderitaannya.