"Kamu tahu apa yang akan aku lakukan kalau kamu terbukti tidak perawan?"
Suara Vasko terdengar dingin, menusuk udara seperti bilah pisau yang ia genggam. Ujung logam tajam itu bergerak pelan, menelusuri lekukan wajah Selin dengan presisi yang mengerikan. Dingin pisau itu menyentuh kulit halusnya, membuat Selin memejamkan kedua matanya dengan gemetar.
“Saya rela mati, Tuan,” jawab Selin dengan suara bergetar, seperti daun yang terhempas angin kencang. Kata-katanya terdengar berani, tapi napasnya yang tertahan dan keringat dingin yang mulai muncul di pelipisnya menunjukkan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.
Vasko tertawa kecil, suara rendah itu lebih menyerupai desisan predator yang menikmati ketakutan mangsanya. Ia meletakkan pisau itu di atas meja, menusukkannya dengan santai ke sebuah apel merah besar yang tampak segar, seolah-olah ia sedang menunjukkan bahwa hidup dan mati Selin hanya berada di ujung pisaunya.
Saat ini, Selin berada di dekapannya. Jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas Vasko yang hangat menyentuh kulitnya. Mata hitam Vasko menatapnya lekat, seperti sedang membaca isi pikirannya, mencari setiap celah kelemahan yang bisa ia manfaatkan.
“Aku pernah menjatuhkan seorang b***k ke danau buaya,” desis Vasko, matanya tidak pernah lepas dari wajah Selin. “Dia mengaku masih gadis, tapi ternyata sudah dinodai orang lain. Kamu tahu apa yang terjadi padanya?”
Selin menelan ludah dengan susah payah, tubuhnya menegang di bawah tatapan dingin itu.
“Dia mati mengenaskan,” lanjut Vasko dengan nada yang begitu santai, seolah sedang bercerita tentang hal yang biasa. “Tubuhnya terkoyak oleh gigi-gigi buaya, darahnya mencemari air yang tenang. Dan aku punya videonya.”
Kalimat itu menghantam Selin seperti petir. Matanya terbuka lebar, menatap Vasko dengan campuran kengerian dan keterkejutan. Tangannya gemetar di pangkuannya, tetapi ia mencoba tetap tenang, meski bayangan nasib tragis itu mulai menghantui pikirannya.
Meski ia yakin dirinya masih suci, sebuah keraguan kecil merayap masuk ke dalam benaknya. Bagaimana jika… pikirannya berbisik dengan penuh ketakutan. Bagaimana jika Dimas menyentuhku tanpa sepengetahuanku? Bukankah itu berarti aku juga akan bernasib sama seperti perempuan yang diceritakan Vasko?
Ketakutan itu semakin menguasainya, membuat dadanya sesak. Namun, di hadapan Vasko, ia tahu bahwa menunjukkan kelemahan hanya akan mempercepat kehancurannya. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat dagunya, meski tubuhnya masih bergetar.
“Tuan…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Kalau saya terbukti bersalah, saya siap menerima nasib yang sama.”
Vasko tersenyum, tipis dan penuh arti. “Bagus,” katanya singkat. “Kita akan lihat kebenarannya. Dan Selin… jangan lupa, aku selalu menagih balasan atas kebohongan.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang siap merenggut sisa-sisa harapan Selin.
__________________
“Buka bajuku perlahan!”
Perintah itu meluncur dari bibir Vasko, dalam nada rendah yang mengandung ancaman tersembunyi. Suaranya seakan mengunci udara di sekitar Selin, membuatnya semakin sulit bernapas. Gadis itu mengangguk kecil, kedua tangannya yang mungil terangkat ragu, hendak meraih dasi Vasko.
Namun, tubuhnya gemetar hebat. Jarinya terasa kaku, seperti menolak perintah otaknya. Sebelum bahkan bisa menyentuh dasi itu, peluh dingin mulai membasahi dahinya. Jarak mereka begitu dekat, hingga aroma khas tubuh Vasko—campuran wangi tembakau mahal dan musk—mengisi paru-parunya, membuat Selin semakin gugup.
Tatapan tajam lelaki itu menusuk langsung ke dalam dirinya, membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Selin merasa seperti seekor burung kecil yang terperangkap di bawah bayang-bayang elang pemangsa.
“Enggak bisa?” sindir Vasko sinis, senyum tipis menghiasi wajahnya yang dingin.
Tangan Vasko yang besar dan kuat tiba-tiba menangkap tangan mungil Selin. Sentuhan itu membuat tubuh Selin menegang, napasnya tercekat, dan bibirnya yang manis tanpa sadar terbuka, seolah mencari udara yang hilang.
“Maaf, Tuan… saya akan mencobanya!” Selin tergagap, suara lembutnya dipenuhi rasa malu dan cemas. Ia merasa begitu bodoh, bahkan untuk tugas sederhana seperti membuka dasi, tangannya tidak mau diajak bekerja sama.
Namun, Vasko hanya tertawa kecil, nada tawa itu seperti lelucon kejam yang hanya ia nikmati. “Tidak perlu!” katanya tegas. Dalam satu gerakan cepat, ia mendorong tubuh Selin ke atas ranjang king-size yang luas dan empuk.
Selin terhuyung ke belakang, tubuh mungilnya jatuh dengan posisi terlentang. Sebelum sempat bangkit, Vasko sudah berada di atasnya, menindih tubuhnya dengan d******i penuh. Mata hitamnya menatap langsung ke wajah Selin, memancarkan keinginan yang bercampur dengan kekejaman.
Senyum miring menghiasi wajah Vasko, senyum yang lebih menyerupai seringaian seorang pemburu yang telah menjebak mangsanya. Ia menunduk, mendekat, hingga wajah mereka hanya terpisahkan beberapa inci.
“Biar aku yang mengoyakmu,” desisnya dengan suara rendah, napas hangatnya menyapu pipi Selin.