Tidak mungkin Vasko tertarik pada Selin. Rasanya enggak mungkin!
Itulah yang tengah menggelayut di pikiran Soraya. Gadis itu berdiri di ambang pintu besar, matanya tajam menatap punggung tegap Vasko yang menghilang ke dalam mansion. Ada sesuatu yang aneh—tatapan pria itu pada Selin tadi. Tapi tidak, pikir Soraya, itu mustahil.
"Nona Soraya, sepertinya Tuan Vasko sangat peduli pada b***k itu," ujar salah satu pelayan yang mendekat dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan majikannya.
Mendengar pernyataan itu, Soraya hanya menyunggingkan senyuman tipis yang penuh ejekan. Matanya berkilat dingin, menandai api kecil yang mulai menyala di hatinya. "Enggak mungkin," jawabnya dengan suara datar namun angkuh. Gaun panjangnya berdesir ketika ia berbalik dan melangkah masuk ke mansion, meninggalkan pelayan itu termangu.
Sementara itu, Selin melangkah gugup di belakang Vasko. Ia hanya bisa menunduk ketika pria itu membawanya ke sebuah ruangan megah yang dipenuhi oleh suasana dingin—bukan hanya dari hawa ruangannya, tetapi juga dari aura yang terpancar dari si tampan berwibawa itu.
Vasko duduk di kursi kebesarannya dengan anggun, tubuhnya bersandar santai namun penuh kendali. Tatapan matanya yang tajam terfokus pada Selin, membuat gadis itu merasa seolah jiwanya tengah ditelanjangi. d**a Selin berdegup kencang, hampir memekakkan telinganya sendiri.
"Ada apa?" suara Vasko pecah, berat dan dingin, menyusup ke udara seperti pisau tajam.
Selin menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan keberanian. "Saya... saya membutuhkan bantuan Tuan," ucapnya dengan suara bergetar. Ia sama sekali tak berani mengangkat wajah, apalagi menatap mata pria itu.
Vasko menyipitkan mata, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kecil yang penuh ironi. "Bantuan?" Ia tertawa pendek, nada suaranya menyindir. "Kamu berani meminta bantuan pada saya?"
Kata-kata itu menggema di kepala Selin, menghantam rasa percaya dirinya yang rapuh. Gadis itu menunduk semakin dalam, seolah berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. Suasana semakin menyesakkan, dan Selin tahu, di hadapan pria seperti Vasko, semua keberanian terasa seperti debu yang diterbangkan angin.
"Sebenarnya saya tidak berani. Tapi..." suara Selin hampir tak terdengar, seperti bisikan angin yang enggan mengganggu keheningan malam.
"Tapi?" Vasko mengulang, nadanya lebih seperti tantangan daripada pertanyaan. Tatapan matanya yang tajam seperti belati menusuk ke dalam jiwa Selin, membuat gadis itu semakin menunduk, mencoba menghindari sorot yang membakar itu.
"Saya tidak bisa membiarkan ibu angkat saya tidur di jalanan," lanjut Selin akhirnya. Suaranya penuh kegelisahan, nyaris pecah. "Bagaimana jika hujan? Ibu angkat saya juga enggak punya uang untuk makan. Saya takut beliau kelaparan." Ada nada putus asa dalam penjelasannya, seperti seseorang yang berjuang dengan sisa-sisa keberanian terakhirnya.
Hening melingkupi ruangan itu, hanya suara napas Selin yang terdengar berat. Vasko tetap terdiam, tatapannya tidak berpaling dari wajah jelita di depannya. Waktu seakan melambat, menciptakan jeda yang menyiksa. Lalu, tanpa peringatan, pria itu mengangkat tangannya. Salah satu anak buahnya segera mendekat dan menyerahkan sebatang rokok. Dengan gerakan lambat namun anggun, Vasko menyalakan rokok itu, lalu menghisapnya dalam-dalam. Asap yang keluar dari bibirnya melayang lembut di udara, menciptakan kabut tipis yang menambah atmosfer dingin di ruangan itu.
"Kamu khawatir pada perempuan itu?" tanyanya akhirnya, nada suaranya mengandung ejekan yang halus namun tajam. Asap rokoknya mengepul lagi, kali ini mengarah langsung ke wajah Selin, membuat gadis itu terbatuk pelan.
Vasko tersenyum kecil, senyuman yang lebih menyerupai cemoohan daripada keramahan. "Haruskah saya katakan sesuatu padamu?" tanyanya, nada sinisnya seperti beludru yang menyelimuti pisau tajam.
"A-apa, Tuan?" Selin balas bertanya, suaranya hampir tenggelam oleh ketegangan yang membebani ruangan itu.
Pria itu berdiri perlahan, tubuhnya menjulang seperti bayangan gelap yang mengancam. Selin memundurkan tubuhnya secara refleks, namun ia terlalu takut untuk bergerak lebih jauh. Vasko mendekat, langkahnya mantap namun penuh tekanan. Ia meraih dagu Selin dengan satu tangan, sentuhannya dingin namun penuh kendali. Dengan gerakan lambat namun penuh d******i, ia mendekatkan wajahnya hingga jarak mereka hanya beberapa inci. Mata Vasko yang gelap seolah menyedot semua cahaya di ruangan itu.
"Perhatikan saja dirimu," desisnya pelan, namun cukup untuk menusuk ke relung terdalam Selin. "Nyawamu belum tentu selamat di sini."
Kata-kata itu seperti belati yang menusuk, dingin dan tajam. Tubuh Selin menegang, jantungnya berdebar seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Dalam sekejap, ruangan itu terasa lebih kecil, lebih menyesakkan, dan lebih berbahaya.