Di dalam mobil Dinda masih tidak mengerti dengan mantan istri Rian yang tadi menertawakannya si minimarket. “Kakak kenapa diam aja sih? Itu yang dibilang sama mantan istri kakak benar?”
Rian menepi dan menoleh ke arah Dinda. Dia melihat celana pendek yang digunakan oleh Dinda itu menampilkan paha mulus Dinda. “Lebih baik kamu pakai ini aja, Dinda. Biar kamu nggak terlihat seperti itu di depan aku,”
“Kakak belum jawab pertanyaan aku,”
“Kalau aku jawab iya kenapa? Kalau yang dia bilang itu benar kenapa? Apa ada masalah? Kamu mau marah?”
Dinda terdiam ketika Rian tiba-tiba saja berkata demikian. Dia pikir pria itu akan menyangkal semua yang dikatakan oleh mantan istrinya. Dinda mencoba untuk fokus untuk makan roti yang dia beli. Rasanya dia benar-benar dibuat kesal oleh Rian karena pria itu langsung menyerbunya dengan pertanyaan.
Rian menarik napas sejenak. “Maaf aku sampai marah ke kamu,”
“Nggak apa-apa,”
“Dia minta balik sama aku,” kata Rian yang sedang membuka chatnya dan memberikan ponsel itu kepada Dinda.
Walaupun sebenarnya Dinda tidak mengerti dengan tindakan pria ini yang menjelaskan kepada dirinya seolah Dinda itu adalah kekasihnya. Tidak ada yang perlu dijelaskan sebenarnya. Tapi karena pria itu memang sangat emosi tadi. Maka mau tidak mau dia menjelaskan semua itu kepada Dinda. “Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, Dinda. Yang dia katakan tentang aku yang sibuk itu benar,”
“Terus tentang kakak sama dia yang nggak punya anak?”
“Iya memang nggak ada. Karena aku memang belum mau untuk waktu itu. Aku butuh waktu pengenalan sama dia kan? Kamu juga harus tau bahwa menikah tanpa cinta itu nggak harus punya anak dulu karena nggak mau anak jadi korban. Aku sama dia memang memikirkan itu semua, aku memang nggak diskusi, tapi aku udah yakin sama diri aku kalau aku masih belum bisa jadi orang tua untuk anakku nanti kalau punya istri seperti dia,” ujar Rian.
Dinda mengangguk dengan pelan dan mengembalikan ponsel itu kepada Rian. “Kamu ngerti maksud aku kan?”
Sama sekali ucapan Rian tidak dia mengerti. “Nggak,”
“Aku mau belajar mencintai orang. Hidup denganku selamanya dan pernikahan itu pasti nggak ada yang mau gagal, Dinda. Nggak ada orang yang berniat mempermainkan pernikahan, sayangnya dia nggak betah punya suami yang sibuk. Maka aku belajar dari situ, kalau aku harus bisa mengimbangi waktu di kantor dan juga bersama dengan istri. Aku nggak sia-siakan hidup aku lagi hanya untuk orang yang nggak ngerti dengan apa tujuanku,”
Dinda menggeleng lagi sambil makan roti itu dengan semakin perlahan seperti orang yang sedang ketakutan. “Tapi kan nggak harus sampai nyakitin orang kak?”
“Aku nggak pernah nyakitin, Dinda. Aku nggak pernah berniat melakukan itu, aku sibuk kerja memang. Aku dulu memang nggak ada waktu, tapi aku ingat pulang. Aku ingat kalau aku punya istri. Tapi apa iya suami kerja istri...” Rian menggantungkan ucapannya karena mengenai mantan istrinya yang berselingkuh dibelakangnya.
“Kenapa kak?”
Rian menyalakan mesin mobilnya lalu melaju. “Lupakan! Kita mau ke mana sekarang?”
“Terserah kakak,”
“Aku nggak mau Mami sama Papi kamu marah nanti kalau kita pulang terlambat,”
“Yang penting kan udah izin kak. Jadi mau ke mana aja terserah kakak,”
Rian menyetir dengan santai. “Dinda, sebentar lagi orang tua kamu bakalan pergi ke luar negeri. Karena nggak ada keluarga dari pihak papi dan Mami kamu. Jadi kamu bakalan dititipin di rumah aku. Tenang saja di rumah ada Mama dan adik aku, ada dua perempuan,” kata Rian.
“Mami sama Papi mau ke mana?”
“Mereka mau ke Berlin, empat bulan di sana dan kamu harus di sini nggak boleh ikut,”
Dinda tidak pernah mendengar jika orang tuanya akan pergi ke Berlin dalam jangka waktu yang cukup lama. “Aku nggak pernah dengar Mami ngomong gitu ke aku,”
“Ini udah beberapa waktu lalu sih. Dari awal aku ke rumah kamu. Itu udah direncanakan. Kamu nggak boleh pergi ke sana,”
“Kenapa sih? Kan aku anak mereka,”
Rian memang tahu bahwa dia pernah dijodohkan dulu dengan Dinda. Tapi karena orang tua Rian yang terlalu cepat mengambil keputusan waktu itu Dinda masih kuliah dan mengatakan jika tidak bisa menjadi istri Rian. Namun sekarang malah dia yang tertarik kepada gadis ini.
Barangkali Dinda akan langsung menolaknya begitu saja. “Aku nggak bisa jelasin, Dinda,”
Dia tahu kalau urusan bisnis sedang kacau di sana. Rian tidak mau jika Dinda tahu keadaan orang tuanya yang berantakan di sana. “Kenapa? Aku nggak boleh tahu keadaan yang sebenarnya? Apa karena bisnis Papi bangkrut? Setahu aku Papi paling banyak bisnis di sana,”
“Enggak kok,”
Dinda cemberut karena mendengar penjelasan dari Rian barusan. “Ya udah gimana terbaik buat Papi aja,”
“Jangan marah sama Mami dan Papi kamu. Toh ini juga demi kebaikan, alasannya karena kamu kalau udah di sana nggak mau pulang. Papi sama Mami khawatir, katanya kamu banyak teman di sana. Terus kamu jarang pulang kalau ke rumah teman-teman kamu,”
Dinda menyeringai mendengar penjelasan Rian barusan. “Iya sih, karena seru aja lho kak,”
“Tapi tetap aja kan namanya juga hidup kita beda di sini sama di sana. Tetap nggak boleh gitu, Dinda. Kamu harus tetap pulang,”
“Iya kan jarang-jarang bisa ke sana kak,”
“Tetap aja salah. Kamu kan masih punya orang tua juga, gimanapun juga mereka khawatir. Lihat kan nih jadinya kamu dititipin gini,”
“Ya udah kakak jangan ngomel dong!”
“Nggak ngomel, cuman ngasih tau,”
“Ya udah deh kalau gitu, ohya besok kakak sibuk?”
Rian yang baru saja sampai di rumah Dinda menoleh ke arah gadis itu. “Mau ke mana?”
“Temenin nonton konser. Kalau aku pergi sendiri nggak bakalan tuh diturutin, kalau aku pergi sama kakak pasti dibolehin,”
“Jam berapa?” tanya Rian sambil melepas sabuk pengamannya.
“Malam jam sembilan mulainya kak,”
Rian mengacak rambut Dinda. “Pasti dianterin kok gadis manja,” jawab Rian sambil tertawa kecil melihat tingkah Dinda yang langsung terlihat bahagia.
“Kakak serius?”
“Iya, kita pergi bareng. Kamu nggak usah khawatir,”
“Aku udah beli tiket soalnya,”
“Buat aku juga?”
“Iyalah kak, masa enggak sih,”
Dinda tersenyum bahagia karena bisa menonton konser idolanya yang akan digelar besok malam. Dia sudah mengidolakan pria itu sangat lama. Mulai dari penampilannya yang selalu maksimal. Ditambah lagi dengan ketampanan dari pria itu sehingga banyak yang menggilainya.
Yang tak kalah bagusnya juga suara dari pria itu yang sangat dikagumi para perempuan yang terdengar merdu. Pria tinggi dan juga putih, tak kalah tampannya dari Rian.