"Ruu!" teriak Sie kencang sambil berlari ke arah Ruu yang lagi asyik berduaan dengan Gea.
Ruu menatap Sie kaget dan heran.
"Apaan?" tanya Ruu kesal.
Sie tidak peduli Ruu melotot ke arahnya saat ia ikut duduk di antara mereka berdua, Ruu dan Gea.
"Sie ngapain sih?" protes Gea. "Ganggu aja."
Sie menatap Ruu serius terkesan horror, tidak memedulikan Gea yang cemberut.
"Ry," ucapnya gugup.
"Ry?" ulang Ruu sambil menaikkan sebelah alisnya kurang senang, karena Sie menyebut nama Ry di depan Gea.
"Aku ngeliat Ry menuju kemari!" sambung Sie setelah berhasil mengendalikan diri.
"Apa?"
Spontan Ruu berdiri. Tak dihiraukannya Gea yang makin cemberut mendengar nama Ry. Yang dipikirannya sekarang cuma Ry. Untuk apa Ry kemari, lalu dari mana gadisnya itu tahu tempatnya bekerja.
"Ngapain Ry kemari?" tanya Ruu cemas. Dari suaranya, kentara sekali kalau Ruu tengah gugup.
Sie mengangkat bahu tanga tidak tahu. Sebelum pemuda berlesung pipi itu menjawab pertanyaan Ruu, terdengar suara seorang gadis menyerukan namanya, membuat salah satu anggota tim basket laki-laki di sekolahnya itu pucat. Sie menoleh horor. Rin sudah berdiri di ambang pintu.
"Sie!" Rin setengah berteriak. "Ternyata benar disini!"
Rin melempar bola orange di tangannya dengan keras ke arah Sie. Untung Sie segera menangkapnya, kalau tidak bisa berantakan game center merangkap kedai es krim itu.
"Rin, tenang dulu deh. Aku bisa jelasin," ucap Sie mencoba membela diri.
Rin menyipitkan matanya sambil berkacak pinggang.
"Rin, sabar donk," sentak Ruu sambil menghampiri adik pacarnya itu. "Rin..."
Tapi pemuda tampan itu segera menelan kata-katanya yang sudah berada di ujung lidah begitu melihat Ry dan Mina keluar dari balik punggung Rin.
"Ry," gumam Ruu tertahan.
Ry menatap Ruu sekilas. Padahal Ry ingin memeluk pemuda itu, tapi ketika dilihatnya ada gadis lain yang tidak dikenal berjalan pelan kearah mereka dengan tatapan tak bersahabat, Ry mengurungkan niatnya. Nalurinya mengatakan kalau gadis itu ada hubungan dengan Ruu. Rada rindu yang tadi dirasakannya pada Ruu menguap. Berganti rasa kesal. Bukan marah atau cemburu, hanya kesal. Tanpa memedulikan Ruu yang memucat, Ry melangkahkan kaki memasuki game center itu.
"Wow keren!" desis Ry kagum begitu sudah berada di dalam game center itu. "Mina sini deh!" Ry menarik tangan sahabatnya itu agar mendekat. "Biarin aja Rin berantem sama Sie di sana."
Mina mengangguk. Dengan salah tingkah karena merasa ia berada di situasi dan tempat yang kurang tepat, Mina mengikuti Ry.
"Eh ada kedai es krim segala."
Ruu menatap Ry dengan mata menyipit. Dia tahu gadis mungil itu marah padanya karena ada Gea di sisinya. Ruu sudah janji pada Ry ingin setia, tetapi buktinya malah sebaliknya.
Ruu segera menghampiri mereka. Tak dihiraukannya Gea yang berteriak memanggilnya.
"Ruu!" teriak Gea separuh menangis. Gadis itu menghentakkan kaki kesal karena Ruu tidak memedulikannya.
"Ry sama Mina mau pesan apa?" tanya Ruu sambil menatap Ry cemas.
"Emm...." Mina menatap Ry ragu-ragu. Haruskah ia memesan es krim di saat kedua sahabatnya sedang perang dingin dengan pasangan mereka?
"Sie, kami pesan es krim ya?" teriak Ry kencang sambil menatap Sie.
Sie yang duduk bersama Rin di meja paling pojok menoleh kemudian mengganguk. Pemuda itu mengacungkan ibu jarinya.
Ry tersenyum madu sambil melirik Mina kemudian menyebutkan pesanannya dengan cuek, sok tidak kenal dengan pelayan yang tak lain adalah Ruu.
"Sie sama Rin mau juga nggak?" tawar Ry masih dengan teriakannya yang keras. Ry memang harus berteriak, ia harus mengimbangi suara bising yang datang dari arena permainan. Suara musik dan mesin-mesin game yang keras membuat suara teredam kalau hanya berbicara dengan suara biasa.
Sie menoleh lagi, kali ini dengan gusar. Begitu juga Rin.
"Rin mau nggak?" tawar Sie hati-hati karena ia tahu kalau Rin masih marah.
"Terserah." Rin mengangkat bahu tak peduli.
"Ruu!" teriak Sie. "Dua, blueberry."
Ruu mengangguk, mengantarkan pesanan ke meja Ry dan Mina kemudian kembali ke belakang bar untuk menyiapkan pesanan Sie dan Rin.
Sementara di pojok khusus game, anak-anak dan orang-orang lain masih berkonsentrasi dengan permainan mereka. Tidak peduli kalau di kedai es krim di sebelah mereka tengah terjadi perang.
Ruu juga tidak peduli dengan Gea yang sudah tidak keliatan lagi. Entah gadis itu pergi ke mana, pulang mungkin. Fokusnya tertuju pada Ry. Ia harus menemukan cara untuk membujuk gadis childishnya agar tidak marah lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Ruu berantem sama Ry ya kemaren?" tanya Sie yang siang itu lagi-lagi berada di Mobieus. Istana game dan es krim tempat Ruu bekerja.
Sie memang tidak terlalui menyukai sekolah. Menurutnya kegiatan sekolah terlalu monoton, membuatnya bosan sehingga ia sering membolos seperti sekarang. Sie akan masuk sekolah kalau ada pertandingan basket atau ada kegiatan yang mengharuskannya untuk masuk. Ujian misalnya. Dan untuk basket, Sie sangat menggilai olahraga yang satu itu. Basket juga yang membuatnya mau menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk melanjutkan sekolah.
"Nggak tau," jawab Ruu asal sambil terus menatap orang-orang yang sibuk bermain di arena game.
"Kok?" tanya Sie tak puas dengan jawaban Ruu.
"Yaa gitu deh." Ruu menatap Sie.
"Maksud Ruu?" Sie mengerutkan alis tebalnya.
"Aku belum ketemu Ry sejak hari itu," sahut Ruu lirih.
Sie manggut-manggut. "Pantas," gumamnya lirih. Gumaman yang masih bisa didengar oleh Ruu.
"Pantas apaan?" tanya Ruu cepat. Tentu saja ia curiga kalo Ry ada main-main, ucapan Sie gantung. Lagipula, ia sudah mengenal siapa dan bagaimana Ry. Gadis mungil itu selain manja dan childish juga mata keranjang. Tidak bisa melihat pemuda keren sedikit saja matanya langsung hijau. Yaa sama saja sih dengannya. Playboy vs playgirl bertemu ya seperti ini. Si pemuda berselingkuh, sang gadis membalas. Ugh berat!
"Ruu tau kan kalo Ry dan genk-nya populer di sekolah."
Ruu mengangguk was-was. Perasaannya langsung tidak enak.
"Nggak ada yang nggak kenal sama mereka."
"Terus?" potong Ruu tak sabar.
"Terus Keiya naksir Ry."
"Naksir Ry?" belalak Ruu kaget. Instingnya ternyata benar. "Keiya? Siapa tuh?" Ada lipatan di dahi pemuda itu ketika keningnya berkerut kesal.
"Kapten klub baseball di sekolah."
Ruu diam. Keiya? Kapten klub baseball? Pasti keren! Huh, kok kayaknya dia nggak suka ya.
"Emang Ry nggak bilang sama Ruu?" tanya Sie menyelidik.
"Aku bilang kan belum ketemu!" sentak Ruu kesal. "Ry nggak ke rumahku."
"Ruu pulang tengah malam terus sih," ucap Sie dengan wajah tanpa dosa.
Ruu mendelik mendengarnya. Sie tetap santai, tidak memedulikan tampang imut Ruu yang berubah horor. Ruu membuang napas melalui mulut, membenarkan kata-kata sahabatnya yang terkenal suka menggosip itu. Beberapa malam ini ia lembur dan selalu pulang telat.
"Nggak kangen apa?" Sie masih memanas-manasi Ruu.
Ruu menatap Sie tajam. Sie sialan, makinya kesal dalam hati. Kangen? Entahlah. Ruu tidak tahu, yang ia tahu hanya ia sangat ingin bertemu gadis mungilnya.
"Ruu!"
Seseorang memanggilnya. Ruu segera menoleh, begitu juga Sie. Ooh, Ken. Adik pemilik Mobieus.
"Ehm!" Ken berdehem sebelum menghampiri kedua pemuda di depannya. "Ya-yang kemaren kesini rame-rame ceweknya Ruu?" tanya Ken gugup setelah berada di depan Ruu dan Sie.
"Yang kemaren?" Ruu menatap Sie berusaha mengingat-ingat. Tapi rasa-rasanya kemarin tuh tidak ada seorang pun gadisnya yang datang. Kening pemuda itu berkerut tanda berpikir.
"Kemaren?" Sie juga ikutan bertanya.
"I-iya." Ken mengangguk cepat, cara bicaranya masih terbata. Sangat kentara kalau ia gugup. "Yang salah satunya ribut sama Sie."
Ruu dan Sie saling pandang. Yang ribut dengan Sie kan Rin cs. Dan itu sudah beberapa hari yang lalu, bukan kemarin. Ken cakep-cakep payah ternyata. Sudah lama dibilang kemarin. Eh, atau dia yang b**o? Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Yang mana?" tanya Sie. "Kalo yang berantem sama aku namanya Rin, cewekku."
"Bukan!" Ken menggeleng cepat. "Yang satunya."
Deg! Yang satunya? Ruu menatap Sie kacau. Jangan-jangan...
"Yang rambutnya dijalin."
Yang rambutnya dijalin? Itu kan Mina. Tiba-tiba saja Ruu merasa lega. Pemuda itu tersenyum.
"Mina ya?" tanyanya heran mengapa dia merasa senang. "Dia bukan cewekku kok."
"Cewek Ruu yang satunya." Sie melirik Ruu yang senyam-senyum terus dari tadi. Ruu lagi kesambet keknya, pikir pemuda berlesung pipi itu. Tanpa sadar Sie bergidik. Merasa ngeri kalau Mobieus ada penunggunya.
"Lho, Ry cewek Ruu ya?" Ken kaget.
Mata Ruu membulat. "Kok tau namanya Ry? Ken kenal?" Ruu mengernyit tidak suka.
"Iya." Ken mengangguk polos. "Tadi di jalan kami ketemu terus kenalan." Ken menatap Ruu takut-takut. "Maaf ya, Ruu. Kami cuma kenalan kok, habisnya dia lucu. Nggak pa-pa kan?" tanya Ken hati-hati. Pemuda itu merasa tidak enak.
"Nggak pa-pa kok." Ruu memaksakan sepotong senyum di bibirnya. "Oh iya, Ry tadi sama sapa?"
"Sama cewek Sie."
"Rin?" sambar Sie kaget. "Mereka mau kesini ya?" Pemuda itu tampak khawatir. Mampus kalau dia bertemu sekarang. Pasti deh bakalan kena omel panjang kali lebar yang hasilnya Sie sendiri tidak tahu.
"Nggak." Ken menggeleng. "Mereka mau pulang ke rumah, habis bubar sekolah katanya."
Sie tersenyum lega. Pokoknya ia tidak mau bertemu Rin sekarang. Ia masih ingin hidup.
'Kok Ry langsung pulang sih, kenapa nggak kesini dulu. Aku kan mau ngomong, gerutu Ruu kesal dalam hati sambil tangannya mencorat-coret kertas tidak karuan.
"Terus, Ken ngapain tanya-tanya Mina?" tanya Sie usil. Cowok itu menaikturunkan alis tebalnya menggoda Ken.
Ken diam. Pemuda itu terlihat salah tingkah dengan pipinya yang memerah perlahan.
"Ken suka Mina ya?" tebak Ruu.
Ken terkejut, kemudian menunduk dengan pipi yang memerah sempurna. Sie yang melihatnya terbahak. Membuat Ken menundukkan wajahnya.
"Jangan khawatir." Sie menepuk bahu Ken setelah tawanya reda. "Aku bisa kok jadi comblang."
"Beneran?" Ken berbinar.
"Pasti!" Sie bersedekap memasang pose gagah.