Ry melongo mendengarnya. Apa maksud pemuda di depannya ini? Sungguh dia tidak mengerti dengan hal-hal yang dikatakan Shoun. Ry menggaruk kepalanya sambil sesekali melirik Sie yang lagi berebut bola orange dengan Rin di lapangan. Kedua orang itu saling bertaruh. Sie memang sudah masuk sekolah beberapa hari ini. Ry tidak menyangka kalau Sie menerima kekalahan dan memenuhi keinginannya untuk pemuda itu masuk sekolah. Rasanya aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Seorang Sie Matsuzaka yang terkenal selain sebagai pangeran basket juga tukang bolos nomor satu di sekolah mereka, sekarang masuk sekolah dengan rutin. Hampir dua Minggu terakhir Sie tidak pernah bolos.
"Ry ngerti nggak?" tanya Shoun mengakhiri ceramahnya.
Ceramah? Tentu saja. Ry selalu mrnhanggap perkataan panjang lebar seperti perkataan Shoun tadi dan sejenisnya sebagai ceramah.
Ry menggeleng polos. Gantian, sekarang Shoun yang menggaruk kepalanya.
"Shoun tau kan kalo aku nggak pintar sama yang kayak begituan, masih aja Shoun nyerocos," ucap Ry dengan raut wajah tak bersalah.
Ketua OSIS yang tampan itu mendesah menyadari kekeliruannya. Ry memang pintar, tapi bukan di bidang ini. Salah kalau dia meminta Ry untuk jadi duta olahraga sekolah mereka. Namun, mengingat gadis manja dan kekanakkan itu bisa dengan mudah mendapatkan simpati orang, Shoun yakin sekolah mereka akan kembali menjadi juara umum di festival olahraga bulan depan. Semester lalu kan sekolah mereka jadi juara umum di festival seni karena Ry yang jadi kapten duta seninya. Jadi, tidak salah kan kalau Shoun menginginkan Ry yang memegang jabatan kapten lagi.
"Yang jago di bidang olahraga kan Rin bukannya aku," sambung Ry.
"Iya, tapi..."
"Kenapa Shoun nggak minta Keiya atau Sie atau Zoe aja?" Ry bertanya memotong perkataan Shoun.
"Nggak boleh anak cowok," sahut Shoun kecewa.
"Kalo gitu Rin aja," usul Ry semangat. Rin, adiknya, memang seorang gadis yang sangat menggemari olahraga bola basket. Rin juga merupakan salah satu anggota dan tim inti klub basket perempuan sekolah mereka. Karena itu Ry mengusulkan Rin yang menjadi dipilih sebagai kapten para duta olahraga.
Rin? Si tomboy itu? Shoun tersenyum patah. Ketua OSIS yang tampan itu ragu. Rin memang jago olahraga, tapi apa bisa gadis pemain inti klub basket itu menarik simpati juri saat bicara pada para pemegang keputusan yang terdiri dari anggota persatuan komite seluruh sekolah? Sepertinya tidak. Rin tidak seceria Ry, bahkan cenderung pemarah.
Shoun menunduk seolah memerhatikan kakinya yang mempermainkan rumput di bawahnya. Padahal dia masih memikirkan cara untuk membujuk Ry.
"Hai!"
Shoun kaget setengah mati mendengar seruan itu. Apalagi ketika pemuda yang bersuara itu mengganduli bahunya.
"Kalian lagi ngapain, serius banget?"
Shoun segera berbalik. "Keiya!" serunya spontan. Shoun memutar bola mata.
Keiya hanya nyengir. Melepaskan rangkulannya di bahu Shoun dan mendekati Ry. Keiya dan Shoun adalah sahabat, mereka juga menghuni kelas yang sama.
"Hai, Ry," sapa Keiya dengan senyum manisnya.
Ry tidak menjawab, hanya memberikan senyum lebar sebagai respons dan embiarkan Keiya menggenggam tangannya. Ry hanya melirik sekilas tangannya yang berada dalam genggaman kuat Keiya, setelah itu tidak ada reaksi apa-apa lagi. Ry diam seolah tidak terjadi sesuatu. Hanya Shoun yang tercengang melihatnya.
"Shoun."
Ketiga makhluk di sisi lapangan basket itu menoleh. Shoun tersenyum ketika tau siapa yang memanggilnya.
"Hai, Mina," sapa Shoun manis. Senyum merekah di wajah tampannya yang dihiasi kacamata.
Gadis feminin itu mendekat. Shoun langsung menggenggam tangan Mina. Ry dan Keiya memang tidak kaget lagi melihat adegan mesra itu, karena sejak peristiwa di Mobieus beberapa minggu yang lalu Mina dan Shoun resmi jadi pasangan.
Tinggal Ry dan Keiya saja lagi yang masih menggantung. Ry sampai sekarang masih belum menjawab pertanyaan Keiya di perpustakaan waktu itu, karena Ry masih bingung dengan perasaannya sendiri. Ry sudah lama tidak bertemu dengan Ruu, terhitung sejak taruhannya dengan Sie yang dimenangkan olehnya. Otomatis itu mengurangi rasa sayangnya pada pemuda bertampang lembut itu. Dan sekarang Ry jadi dekat dengan Keiya. Bahkan seperti orang pacaran. Di mana ada Ry pasti ada Keiya, dan di mana ada Keiya di situ juga ada Ry. Itu yang membuat sahabat dan orang-orang yang dekat dengan Ry bingung. Siapa sebenarnya yang disayangi Ry? Keiya atau Ruu?
"Gimana?" tanya Mina. Dia sudah tahu apa yang dibicarakan Ry dan Shoun. Shoun sudah mengatakan padanya. Bahkan Shoun juga meminta pendapatnya lebih dulu sebelum bertanya pada Ry. Dia mendukung Shoun untuk berbicara pada Ry.
Bukan hanya Mina yang sudah tahu, tetapi Keiya juga. Sebagai sahabat Shoun, pastilah Keiya juga menjadi salah satu orang yang dimintai pendapat.
Ketiga orang yang berada di dekat Mina menatap cewek itu.
"Ry mau nggak?" tanya Mina.
"Apanya yang mau?" Ry balik bertanya. Kedua alisnya berkerut bingung. Meskipun sudah bisa menebak maksud dari perkataan Mina tapi tetap saja dia mekayangksn tatapan bertanya kepada tiga sahabatnya.
Shoun menggeleng lemah. "Dia nolak tuh." Shoun menunjuk Ry menggunakan ekor matanya.
"Kenapa?" Ada nada kecewa dalam pertanyaan Mina.
Ry tertunduk. Dia merasa sudah mengecewakan teman-temannya.
"Maaf," ucap Ry lirih sambil menggenggam kuat tangan Keiya yang masih menggenggam tangannya seolah meminta dukungan. "Aku nggak terlalu suka olahraga jadinya aku nggak bisa jadi kapten duta sport."
Mina dan Keiya tercengang mendengarnya.
"Sekali lagi maaf." Ry membungkukkan badannya. "Aku nggak bisa bantu kalian karena aku kurang tau masalah olahraga."
"Ry, kok nggak bisa?" tanya Keiya. "Kenapa Ry nggak nyoba dulu?"
"Keiya, maaf." Ry menatap pemuda itu cepat. "Shoun, Mina. Sebaiknya Shoun cari yang lain aja, yang tau dan ngerti tentang olahraga."
Shoun menatap Mina dan Keiya bergantian meminta pertimbangan.
"Kayaknya Ry benar," ucap Mina akhirnya, setelah diam beberapa saat.
Ry tersenyum sambil menggenggam tangan Keiya makin erat. Kapten baseball itu juga tersenyum menutupi kekecewaannya. Diraihnya tubuh mungil Ry ke dalam pelukannya.
"Padahal aku yakin kalo sekolah kita bisa juara umum lagi," ucap Keiya sambil tertawa kecil.
"Juara umum kan kalo semuanya emang bagus terus dapat medali emas ya?" tanya Ry dengan keriysn yang kembali menghiasi dahi putihnya.
"Iya, sih. Tapi ...."
Tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik mereka sejak tadi dari lapangan basket.
***
"Sie denger nggak sih kalo aku nggak peduli?" sentak Ruu gusar untuk kesekian kalinya.
Sie melongo mendengarnya. Ruu tidak peduli dengan Ry? Kenapa? Bukannya Ry adalah pacar Ruu. Ya meskipun hanya salah satu dari sekian banyak pacarnya, tapi kan....
Sie melirik cewek di samping Ruu. Apa karena ada Aya bersama mereka jadi Ruu kelihatan kesal banget kaya' gitu? Atau Ruu memang tidak menyayangi Ry?
Sie menggaruk kepalanya yang tidak gatal lantas menggeleng. Kenapa juga dia yang harus pusing memikirkan hal ini, ini kan bukan masalahnya. Sie b**o, makinya pada diri sendiri dalam hati sambil memukul pelan kepalanya. Harusnya dia sudah tahu kalau Ruu tidak pernah peduli sama gadis-gadisnya. Kalau Ruu peduli, tidak mungkin bukan pemuda itu selingkuh.
Aya tersenyum. "Jangan marah dong, Ruu. Maksud Sie kan baik," goda gadis itu. Bagaimanapun Aya tahu, gadis-gadis Ruu segudang. Dia dan Ry hanya salah dua dari koleksi gadis-gadis segudang pemuda tampan itu.
Ruu mendengus sambil memalingkan muka kesal.
"Jelek ah kalo mukanya jutek gitu." Aya mencubit hidung mancung Ruu gemas kemudian mencium pipi pemuda itu.
Sie memutar bola matanya bosan melihat adegan mesra itu.
"Benar ya Ruu nggak peduli sama Ry lagi? Ntar ditinggal sama Keiya...."
"Sie!" potong Aya cepat. Gadis itu menatap Sie kemudian melirik Ruu horor.
Sie ikut-ikutan melirik Ruu dan terkejut saat melihat Ruu menatapnya dengan tatapan membunuh. Seandainya mata hitam Ruu bisa mengeluarkan sinar laser, pasti Sie sudah menjadi daging panggang. Sie bergidik ngeri. Ruu marah? Pikirnya telmi.
Ruu mengibaskan kedua tangan kacau, melangkah meninggalkan Sie dan Aya yang menatapnya takut dan heran.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ruu memetik gitarnya perlahan. Suara yang dihasilkan sangat menggangu pendengaran, bahkan bisa merusak gendang telinga. Suara yang keluar dari petikan gitar Ruu nyaris tanpa irama. Mungkin karena tidak dimainkan dengan sepenuh hati dan tanpa konsentrasi. Tangan Ruu memetik gitar tapi pikirannya melakukan hal lain.
Sang pikiran terbang jauh, melayang ke sebuah rumah yang tak jauh dari rumahnya. Bahkan matanya pun tertuju ke rumah itu. Ruu berharap gadis mungil yang tinggal di rumah itu keluar dan menemaninya malam ini.
Rindu.
Iya, dia merindukan kekasih mungilnya. Rindu celotehannya, rindu pada sifat manjanya, rindu saat gadis itu merajuk, bahkan Ruu juga merindukan sifat kekanakkan gadis itu. Ruu menggeleng, menghalau rasa aneh yang menjalari hatinya.
Emangnya Ry kemana sih jadi nggak kelihatan batang hidungnya? Ngumpet di kamar? Ngapain? Telpon-telponan atau chattingan dengan teman-temannya? Teman yang mana? Keiya? Atau mungkin Ry sekarang lagi jalan sama cowok jago baseball itu. Tidak tahu kenapa, tapi kalau semuanya memang benar, sungguh dia tidak rela.
Tidak rela?
Deg!
Oh my God! Ruu tidak bisa membayangkannya. Pokoknya dia tidak rela. Benar, tidak rela! Dan entah mengapa Ruu merasa ada yang sakit. Hatinya. Dadanya terasa seperti diremas dan dihimpit sesuatu yang berat, membuatnya merasa sangat sulit untuk bernapas. Baru kali ini Ruu merasa sesak seperti sekarang ini. Rasanya sungguh sangat tidak enak. Ruu menghentikan permainan gitarnya, mengangkat tangan untuk menyentuh d**a kirinya.
Ruu tersenyum masam. Jantungnya berdetak kencang di telapak tangannya. Semakin cepat saat perasaan aneh itu kembali menyergapnya.
Deg!
Ruu terkejut merasakannya. Lebih terkejut lagi ketika pemuda romantis itu menyadari perasaan yang sejak tadi coba untuk tidak dihiraukannya adalah nyata.
Ry telah mencuri hatinya dengan telak!
Ruu meringis. Apakah ini karma untuknya? Ry mengabaikannya di saat dia membutuhkan gadis itu. Ruu bertekad untuk tidak akan menyerah, dia akan memperbaiki hubungannya dengan Ry. Dia yakin mereka pasti bisa bertahan. Harus bisa!