2. ELENIO BUTUH AYAH

1275 Words
Rhae beradu pandangan dengan pria yang kini tengah memegang bola. Jelas wanita itu tidak mengenalnya meski jarak mereka sudah begitu dekat untuk melihat dengan jelas wajah pria asing itu. Pakaian formalnya sudah berantakan, bahkan peluh membasahi wajahnya. Rhae memasang raut wajah waspada dengan pria itu. “Mommy!” seru Nio yang terkejut melihat keberadaan ibu. “Kamu ngapain di sini?” Rhae menarik tangan anaknya, menjauh dari pria itu. “Harusnya tunggu Mommy di tempat biasa,” sambungnya. “Aku bosan karna Mommy lama sekali,” gerutu Nio. Rhae menghela napas, merasa bersalah kepada putranya. “Mommy minta maaf, ya. Lain kali nggak telat lagi.” “Iya Mommy, nggak apa-apa. Aku nggak bosan karna main basket sama Uncel.” Pria itu berdeham saat Nio menunjuknya. Masih sama dengan di awal, tatapan sinis dan tidak bersahabat Rhae masih bertahan hingga sekarang. Suasana pun menjadi canggung, meski pria itu nampak memasang senyum ramah. “Hai, saya Gyan,” sapa pria itu sambil mengulurkan tangan. Dengan ragu, Rhae membalas. “Rhae, Mommy-nya Nio.” “Tadi saya nggak sengaja lihat Nio di depan, dan kami ngobrol sebentar. Karna Mommyanya nggak kunjung datang, saya jadi kasihan. Makanya saya ajak main basket biar dia nggak bosan.” “Terima kasih mau sudah nemenin, Nio. Tapi lain kali nggak usah,” ujar Rhae ketus. Nio menarik tangan ibunya. “Kenapa nggak boleh Mommy?” “Karna kamu nggak boleh ngomong sama orang asing,” jawabnya. Bibir anak itu langsung mengerucut sedih. “Padalah aku suka ada teman main,” gumamnya. Tanpa peringatan, Nio langsung pergi meninggalkan Rhae. Tindakan anak ini membuat ibunya terkejut sekaligus bingung. “Nio, tunggu Mommy!” Gyan berdeham untuk mengalihkan perhatian Rhae. “Sepertinya dia kesal. Sebaiknya cepat susul dia.” Tatapan mata Rhae semakin sinis dan mengangap ini salah Gyan. “Lain kali jangan ajak main anak saya. Harusnya pihak sekolah nggak sembarangan biarin anak-anak ketemu sama orang asing.” “Saya minta maaf,” ucap Gyan dengan senyum bersahabat di wajahnya. Rhae menghela napas, lalu pergi dari hadapan Gyan tanpa mengatakan apa-apa lagi. Baginya, urusannya dengan pria itu sudah selesai. Ia tidak suka basa-basi dengan orang yang tidak dikenal. Apalagi pertemuan pertema mereka bisa dianggap tidak hangat, jadi Rhae ingin cepat pergi dan menyusul putranya. “Mommy salah telat jemput tapi Mommy tahu kamu anak pintar yang selalu ingat apa pesan Mommy sama kamu, Nio.” “Uncle Gyan kan baik, Mom. Aku senang main sama dia. Aku mau berteman sama Uncle Gyan.” “Kamu baru kenal sama dia, jadi belum tentu dia baik, Sayang,” ujar Rhae sambil mengemudikan mobil dan meninggalkan area sekolah. “Anak kecil harus berteman dengan yang seumuran. Pokoknya ini yang terakhir, lain kali jangan mau diajak ngobrol sama orang asing. Kamu ngerti, Nio?” Nio mengangguk masih dengan raut wajah sedih. “Iya Mommy.” Kadang sebagai ibu yang sangat menyayangi anaknya, Rhae harus tega bersikap tegas. Mungkin Nio menganggap ibunya suka marah tapi Rhae berusaha memberikan pengertian bahwa tujuannya selalu baik. Untung saja, diusianya yang masih kecil, anak itu selalu belajar memahami hal baik yang diberitahu olehnya, sehingga Rhae bisa sedikit lega anaknya tidak membencinya. Mengingat tentang Gyan, Rhae akhirnya tahu siapa sosok pria itu. Ia sempat komplain dengan satpam karena membiarkan Nio bersama orang asing. Satpam tersebut memberitahu kalau yang bermain dengan Nio adalah Gyanendra Romedjoe yang tidak lain adalah anak dari pemilik yayasan tempat anaknya sekolah. Namun meski begitu, Rhae tetap keberatan atas apa yang Gyan lakukan. *** “Nio, gimana sekolahnya? Berapa banyak Nio punya teman?” Anak yang ditanyai oleh Senara nampak lahap menikmati pasta dari salah satu restoran di daerah Renon. Bahkan pertanyaan teman dari ibunya tidak langsung dijawab karena tidak rela menunda suapan dari makanan favoritnya. Rhae tersenyum melihat anaknya. “Jangan ganggu dulu Onty, aku lagi makan,” ucapnya seakan bicara mewakili Nio. “Ya ampun, seenak itu ya, Nio?” Nio mengangguk dengan pipi mengembang karena mengunyah pasta. Setelah itu, Nio mengelap bibirnya dengan serbet. “Temanku sudah banyak kok, Onty. Baik-baik semua.” “Ada yang nakal sama kamu, nggak?” “Enggak. Mareka seru, deh.” Senara menyipitkan mata. “Onty jadi pingin kenalan biar punya banyak teman. Boleh, nggak?” Nio menggeleng setelah kembali menyuapkan pasta ke mulutnya. “Kata Mommy anak kecil harus berteman dengan anak kecil. Onty sudah besar, berteman sama Mommy saja.” “Oh begitu. Onty jadi sedih,” balas Senara dengan mata memelas. “Aku juga sedih nggak bisa berteman sama Uncle Gyan,” ujar Nio dengan polosnya. Apa yang dikatakan Nio memancing rasa penasaran Senara. Wanita itu langsung menatap Rhae yang nampak canggung dan berusaha menghindar. “Siapa Uncle Gyan? Pacar kamu?” bisik Senara. Rhae langsung menggeleng cepat. “Jelas bukan. Aku juga nggak kenal dia,” balasnya dengan suara pelan. “Uncle Gyan pernah ajak aku main basket di sekolah,” celetuk Nio. Anak itu meneguk air putih setelah menghabiskan satu porsi pasta. “Mommy, aku boleh ke sana nggak?” Rhae mengikuti arah tangan yang dituju putranya. Kafe yang mereka kunjungi terdapat taman bermain meski tidak terlalu lengkap. “Kamu habis makan, masa mau langsung main?” Nio menggeleng. “Aku Cuma lihat-lihat aja. Boleh ya, Mommy?” Tidak tega melihat tatapan memelas anaknya, Rhae akhirnya luluh. “Ya sudah, tapi jangan main dulu karna kamu baru selesai makan. Nanti kamu muntah kalau nggak dengar kata Mommy.” “Oke, Nio nggak bandel, kok.” “Jadi siapa Gyan itu? Kenapa Nio bisa ngomong begitu? Apa dia guru di sekolah?” tanya Senara begitu Nio pergi dari meja. “Jarang-jarang atau bahkan nggak pernah Nio ngomongin cowok seantusias itu. Aku jadi penasaran,” lanjutnya. Lagi dan lagi Rhae menggeleng pelan. “Aku nggak kenal sama Gyan itu siapa. Yang jelas aku nggak suka sama sikapnya yang ngajak Nio main basket siang-siang. Harusnya dia jangan sok akrab padahal nggak kenal anakku.” “Katanya nggak kenal tapi kok kesel?” “Oke, aku kasih tahu biar kamu nggak kayak polisi lagi interogasi penjahat,” ujar Rhae dengan tatapan kesal. “Aku telat jemput Nio karna ikut meeting. Kamu pasti ingat kegiatan dua hari yang lalu.” “Iya, terus?” Rhae menuturkan apa yang terjadi saat menjemput anaknya di sekolah. Raut wajahnya tegang dan kesal saat menyebut sosok Gyan. Bukan tanpa alasan, rasa kesal itu muncul setiap ingat anaknya bersama orang asing yang membuat traumanya muncul kembali. “Kamu tahu kan gimana rasa takut itu nggak pernah hilang. Makanya kesan pertama ketemu sama dia nggak ada bagus-bagusnya.” Senara pun mengangguk paham. “Oke, aku ngerti perasaan kamu sebagai ibu. Tapi setelah tahu dia anak pemilik yayasan, harusnya kamu nggak terlalu kesal, dong?” “Nggak bisa. Kesan pertama menentukan sikapku selanjutnya.” “Jangan berlebihan, Rhae. Dia pasti berniat baik sama Nio karna kasihan sendirian. Lagian kamu nggak tahu ke depan akan gimana. Siapa tahu ternyata Gyan itu jodoh sama kamu,” ucap Senara. Sontak kedua mata Rhae membola dengan raut wajah panik. “Enggak, jangan ngomong terlalu jauh. Kamu tahu sendiri aku nggak ada niat menikah. Aku sudah bahagia hidup berdua sama Nio.” “Tapi kamu pernah mikir nggak, apakah Nio bahagia hidup Cuma berdua sama mommynya tanpa ada kehadiaran daddy?” Rhae menghela napas, lalu meraih gelas berisi air putih. Diteguknya cukup lama, dengan napas sedikit memburu. “Sorry aku ngomong kelewatan tapi aku kadang sedih lihat Nio natap anak-anak yang lagi sama daddy-nya. Dia pasti pingin, Cuma nggak tahu harus ngomong gimana sama kamu,” ucap Senara. “Aku tahu apa yang terbaik untuk Nio. Dia Cuma butuh aku, jadi kamu nggak usah kasihan kalau dia nggak punya daddy,” ucapnya tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD