1. ORANG ASING BERSAMA NIO
“Mommy!”
Teriakan dari bocah berusia 7 tahun membuat pagi Rhae menjadi semakin panik. Penyesalannya saat ini adalah terlambat bangun sehingga membuyarkan rencana paginya. Salahnya memang sudah membawa pekerjaan ke rumah, lalu mengganggu jadwal tidur malamnya. Alhasil Rhae bangun kesiangan dan semuanya harus dilakukan serba buru-buru dibalut kepanikan.
“Mom, ayo ke sini!”
“Tunggu Sayang. Mommy segera meluncur ke sana,” balasnya.
Rhae segera mengangkat telur mata sapi di atas wajah lalu mematikan kompor. Setelah itu menata roti panggang dengan selai cokelat di atas piring, di dampingi s**u segar di dalam gelas. Tinggal menatap mananan dikotak bekal, namun harus ditunda karena harus mendatangi putranya.
Langkah kaki Rhae begitu cepat mencari keberadaan anaknya yang bernama Elenio di kamar. Begitu sampai di sana, ia terdiam dengan raut wajah kebingungan.
“Loh, kok belum pakai seragam?”
Nio memberi reaksi seperti orang dewasa. Tangannya bersidekap di depan dadaa, lalu mengangkat bahunya ringan. “Mommy, hari ini jadwalnya olahraga. Kenapa bajunya belum di setrika?”
“Ya ampun!” Rhae menepuk keningnya penuh sesal. Bagaimana bisa melupakan jadwal sekolah anaknya. “Oke, Sayang. Mommy minta maaf sama Nio. Sekarang Mommy setrika dulu, ya. Cepat kok, jadi sabar sebentar, ya.”
“Tapi nanti Nio terlambat, Mom.”
Rhae menggeleng lalu mengambil seragam olahraga dari tangan Nio. “Nggak akan, nak. Sambil nunggu seragamnya, Nio sarapan dulu, ya.”
“Oke Mommy,” jawab bocah itu.
Tanpa mengulur waktu, Rhae segera bergerak untuk menyetrika seragam Nio. Meninggalkan anak itu menikmati sarapan agar waktu tidak terbuang. Dalam hatinya menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa mempersiapkan kebutuhan anaknya dengan baik. Membuat pagi mereka menjadi serba panik dan tegang.
Rhaellia Joseph seorang ibu pekerja yang masih berusia cukup muda. Ia hanya tinggal bersama anaknya yang bernama lengkap Elenio Daffara. Meski hanya berdua, Rhae dan Nio hidup dalam kesederhanaan yang membahagiakan.
“Sayang, nanti kamu pulang lebih awal dari biasanya, kan?”
Nio mengangguk di sebelah Rhae yang sedang mengemudikan mobil. “Iya Mommy.”
“Nanti kalau Mommy telat 5 atau 10 menit, Nio jangan marah, ya. Bibi nggak bisa jemput karena hari ini libur, sedangkan jadwal Mommy hari ini sangat padat. Tapi Nio jangan khawatir, Mommy pasti berusaha datang tepat waktu,” jelas Rhae dengan pandangan fokus ke depan karena jalanan Denpasar pagi hari cukup padat.
“Oke. Mommy semangat, ya.”
Rhae menoleh singkat dengan senyum mengembang di wajahnya. Bocah di sebelahnya begitu manis, membuat semangat Rhae terisi penuh. “Makasih ya, Sayang. Nio sudah jadi anak yang baik, penurut dan mengerti kesibukan Mommy.”
“Mommy kerja buat aku sekolah dan beli buku. Iya kan?”
“Iya Sayang. Segalanya Mommy lakukan untuk Nio. Jadi kalau misal Mommy sibuk, Nio jangan sedih, ya,” balas Rhae.
“Siap Mommy!”
Tidak ada yang lebih beruntung bagi Rhae karena memiliki Nio yang sangat pengertian. Meski usianya masih anak-anak dengan dunianya yang harus selalu Rhae perhatikan, ada kalanya Nio bersikap cukup dewasa. Kadang protes selayaknya anak kecil yang butuh perhatian, namun lebih banyak memahami keadaan ibunya yang apa-apa serba sendiri.
Setelah mengantar Nio ke sekolah, Rhae melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya. Sejak Nio masuk ke bangku kelas satu sekolah dasar dua bulan lalu, rutinitasnya berubah. Untung semuanya masih bisa dijalani dengan baik, seimbang dalam mengurus keluarga dan pekerjaan.
“Selamat pagi!”
“Pagi.”
Rhae segera melakukan absen sidik jari begitu sampai di tempat kerjanya. Pagi ini tidak terlambat namun tetap saja harus buru-buru. Ia memiliki atas yang cukup galak serta tegas, jadi sebisa mungkin ia tidak memancing emosi wanita berusia 40 tahun itu.
“Agak berantakan ya, Rhae. Jangan bilang kamu kesiangan?” tanya Lula.
Rhae tersenyum kecil. “Aku bangun kesiangan dan harus ngurus Nio biar nggak telat.”
“Eh, udah datang?” Senara datang dari pantry. “Rhae, ini sarapan buat kamu.”
“Apa ini?” Rhae nampak semringah. “Nasi ayam Bu Oki?”
Nara mengangguk. “Iya. Bagi-bagi rezeki buat kalian biar rezekiku makin lancar.”
“Amin. Makasih Nara cantik. Kebetulan sekali aku belum sarapan dan nggak sempat beli.”
“Terus anakku nggak sarapan dong?”
Rhae menggeleng. “Tuan Muda nggak boleh skip sarapan, nanti dia tantrum”
“Jadi kangen sama Nio. Rasanya udah lama nggak ketemu.”
“Baru juga minggu lalu kalian pergi berdua tanpa ngajak aku,” sindir Rhae.
Nara berdecis judes. “Bukan pergi berdua tapi lebih tepatnya Nio pergi sama aku karena kamu ngurus deadline.”
“Iya sih, tapi makasih onty kesayangan Nio,” ucap Rhae sambil memeluk teman baiknya.
Rhae bekerja dengan seorang desainer bernama Keiko di Denpasar. Tidak hanya di Bali, Keiko juga memiliki nama yang cukup terkenal di Indonesia. Hampir 4 tahun Rhae menekuni bidang sebagai fashion desainer. Pekerjaan yang didapatkan atas rekomendasi teman kursusnya yang juga bekerja di sana yaitu Nara.
Sebagai asisten desainer dari Keiko, langkahnya tidak mudah. Ia harus merasakan pahitnya dunia kerja. Jatuh bangun tanpa peduli bagaimana harga dirinya tergores. Ditambah bosnya yang tidak segan memecat karyawannya jika pekerjaannya tidak memuaskan. Dan wanita berusia 25 tahun itu tidak ingin itu terjadi sebab ada Nio yang harus ia hidupi dengan layak dari hasil keringatnya.
“Rhae, desain untuk Mr. Felix sudah selesai? Saya ingat hari ini deadline-nya dan kamu sebagai orang yang saya percayakan menghandle klien penting ini, jangan buat saya kecewa.”
“Sudah, Madam,” jawab Rhae. Ia pun segera menyerahkan desain yang semalam ia kebut demi hasilnya memuaskan. “Silakan Mdam lihat lagi. Harusnya sudah sesuai request Mr. Felix.”
Keiko mengangguk. “Oke, nanti saya cek lagi. Oh iya, sekitar jam 10 kamu ikut saya ketemu klien. Dia mau buat gaun untuk acara tunangan. Bukan Cuma gaun tapi seragam keluarga juga.”
“Nanti siang?”
Rhae langsung ingat harus menjemput Nio. Rencana dari Keiko tidak ada dalam agenda hari ini. Namun ia juga tidak mungkin menolak urusan pekerjaan karena hal pribadi.
“Kenapa? Kamu ada kerjaan urgent?”
“Enggak, Madam. Saya siap ikut meeting dengan klien,” jawabnya.
“Bagus. Saya suka orang yang nggak banyak mikir apalagi urusan kerjaan.”
Keluar dari ruangan Keiko, Rhae dilanda perasaan galau. Ia mencoba mencari cara agar Nio tetap ada yang menjemput dan membawa ke rumah bibinya. Orang yang selama ini bekerja mengurus rumah dan juga menjemput Nio sedang tidak bekerja, jadi Rhae sangat kebingungan.
“Semoga Tante Anti bisa bantu jemput Nio. Tapi kalau enggak, aku harus gimana?”
***
Pertemuan dengan klien berjalan lancar dan selesai lebih cepat dari yang Rhae kira. Ia pun meminta izin kepada Keiko untuk menjemput Nio, mengambil jam istirahat agar bosnya itu tidak marah kepadanya. Namun meski demikian, Rhae tetap terlambat datang sekolah Nio.
Sambil mengemudi, wajah Rhae nampak cemas. Merasa kasihan karena membuat putranya menunggu. Apalagi jalanan sedang tidak bersahabat, padat merayap. Dari lokasi meeting dengan sekolah Nio cukup jauh, sehingga waktunya habis di jalan.
“Sabar ya, Sayang. Mommy usahakan bisa sampai lebih cepat.”
Rhae langsung menghubungi sekolah Nio begitu bibinya tidak bisa membantu menjemput putranya. Hal ini dilakukan agar memastikan Nio aman di sekolah dan tidak sendirian. Harusnya Nio pulang jam normal, tapi karena ada pertemuan para guru, anak-anak dijadwalkan pulang lebih cepat.
“Pak, ada anak yang masih di sekolah nggak? Namanya Nio, masih kelas 1,” tanya Rhae kepada satpam sekolah yang berjaga. “Saya sudah telpon sekolah, biar anaknya nunggu di dekat sini.”
“Oh, tadi nunggu di bawah pohon jambu, Bu. Coba cari di sana, mungkin anak Ibu masih duduk sambil baca buku.”
Rhae mengangguk lega. “Baik Pak. Terima kasih, ya.”
Bukan tanpa alasan Rhae cemas jika terlambat menjemput anaknya. Dulu pernah kejadian waktu Nio masih di playgrup. Ada orang asing yang tiba-tiba ingin mengajak Nio pulang dan mengaku sebagai keluarga. Tentu saja hal ini meninggalkan trauma yang mendalam bagi wanita itu. Itu sebabnya Rhae begitu protektif yang kadang membuanya pusing sendiri.
Rhae segera menuju tempat yang dimaksud oleh satpam. Suasana sekolah cukup sepi, karena memang semua sudah pulang. Hanya samar-samar terdengar suara menggema yang kemungkinan berasal dari tempat rapat para guru.
“Loh, kok Nio nggak ada?” Rhae mulai cemas melihat ke segala arah. “Apa dia pindah tempat buat nunggu aku?”
Tidak mau tinggal diam, Rhae segera mencari di mana anaknya berada. Ia ingin minta bantuan satpam tapi ia coba cari sendiri. Saat kakinya menuruni anak tangga untuk menuju area lapangan basket, Rhae tertegun. Nio sedang bersama seseorang yang tidak Rhae kenal.
Jantung Rhae berdebar, merasa sangat cemas. Ia segera berjalan mendekati anaknya dan mencari tahu siapa pria dewasa yang bermain basket dengan anaknya.
“Kamu siapa? Kenapa main sama anak saya?”