Didalam mobil, David asik dengan laptopnya. Ardilla menatapnya dengan kesal.
"Heyy, Mister. Lo pakai pelet ya?"
David mengernyitkan keningnya, ia menatap Dilla dengan menyipitkan mata.
"Pelet?"
"Iya pelet."
"Apa itu pelet?"
Plakk!!
Ardilla memukul jidat dengan telapak tangannya.
"Lupa gue, kalau lo cuma setengah Indonesia. Pelet itu ilmu, biar orang suka sama lo."
Kepala David menggeleng.
"Untuk apa pakai pelet? Aku orang yang percaya dengan diriku sendiri. Memang kenapa kamu sampai berpikir begitu?" David menatap Dilla tidak mengerti.
"Itu Ayah, dan Bunda, kenapa kok seperti tunduk sama lo." Dilla balas menatap David.
David tertawa nyaring. Suara tawanya sungguh menggetarkan hati Dilla.
'Ya ampun ... dia ganteng sekali kalau lagi tertawa, suara tawanya itu loh ... enak sekali di dengar. Eeh apa enaknya, seperti makanan saja.'
"Kenapa tertawa?"tanya Dilla dengan mata melotot,Dilla tak ingin David tahu hatinya barusan memuji David.
"Kamu lucu, Dilla. Siapa bilang orang tuamu tunduk sama aku, mereka itu orang tua yang baik, sangat baik, mereka hanya berusaha memberi kesempatan, agar kita bisa lebih dekat lagi, sebelum waktu itu tiba."
"Waktu ... waktu apa? Untuk apa lebih dekat, gue nggak butuh dekat sama lo, Mister!"
David tersenyum.
"Kita lihat saja nanti, kamu butuh aku, atau tidak." Suara David terdengar kalem. Sekalem tatapannya.
"Apa siih ... enggak lo, enggak Bunda, sama pakai rahasia segala, menyebelkam tahu!"
"Enggak!" Kepala David menggeleng.
"Iisssh ... itu pernyataan bukan pertanyaan, mengerti nggak sih lo, Mister?" Ardilla makin kesal pada David.
"Enggak ngerti," Kepala David menggeleng.
Ardilla mengepalkan kedua tangannya, lalu meninju lengan atas David.
"Beneran mau gue pukul ya lo, Mister. Jadi orang kok menyebalkan sekali!"
"Kamu nggak bisa ya, kalau bicara yang lemah lembut, begitu. Jangan grasa grusu, jangan sambil marah. Hal seperti itu akan merugikan diri kamu sendiri nantinya." David membiarkan saja Dilla mencurahkan kekesalannya dengan meninju tangannya.
Dilla menghentikan gerakannya yang meninju lengan David.
"Kalau yang dihadapi orang seperti lo, Mister. Siapa yang nggak kesal! Lo itu super menyebelkan!"
"Kamu harus belajar mengontrol rasa marahmu, emosimu. Kalau tidak, nanti kamu akan mudah terhasut, dan terpancing omongan orang, yang sebenarnya belum bisa dibuktikan kebenarannya."
"Apa sih, lo bicara sudah seperti orang tua gue saja. Apapun yang gue lakukan, dan terjadi pada diri gue, itu bukan urusan lo."
"Aku sudah katakan, apapun yang jadi urusanmu, akan menjadi urusanku nantinya. Apa lagi orang tuamu sudah menitipkanmu untuk aku jaga."
"Gue bukan barang yang bisa dititipkan, gue juga nggak perlu dijaga titik." Dilla menatap David dengan mata menyala marah.
Mobil berhenti di kampus.
David menarik napas dalam.
"Turunlah ... nanti siang aku jemput," kata David berusaha lembut. Dilla membuka pintu mobil.
"Enggak perlu dijemput, gue bisa pulang sendiri!"
Braaakk!!
Pintu mobil dibanting Dilla, membuat David, dan supirnya terjengkit kaget.
----
Hari ini, Ardilla benar-benar tidak bisa fokus belajar.
Pikirannya terus kepada David.
'Aarrggghhh ... jangan-jangan aku dipeletnya juga ... eeh. enggak ... enggak boleh percaya yang begituan, itukan syirik ... eeekkkhhhh ... tapi kenapa wajahnya menempel terus di mataku, suaranya terngiang terus di telingaku, namanya menempel terus di bibirku. Arrgghhh ... harus diusir, tidak boleh dibiarkan, pergi!'
Ardilla celingak celinguk mencari mobil David di depan kampus, tapi tidak ada.
Justru ada Gio yang motornya berhenti tepat di depannya.
"Mau kuantar pulang?" tawar Gio sambil menyodorkan helm ke arah Dilla. Dilla mengangguk, ia tersenyum menang, padahal dia melihat mobil David yang semakin dekat. Cepat Ardilla mengenakan helmnya, lalu naik keboncengan Gio.
"Jalan Gi," Ardilla menepuk pundak Gio.
'Hohoho ... aku tidak perlu menuruti perintahmu kan Mister. Aku bisa pulang sendiri, dan aku berharap tidak akan pernah bertemu denganmu lagi.'
"Kok nggak dijemput, La?"tanya Gio. Ardilla merapatkan tubuhnya ke punggung Gio agar bisa mendengar suara Gio.
"Supirku pulang kampung," jawab Dilla.
"Mau kuantar jemput nggak tiap hari?" tawar Gio.
"Hmmm ... mau nggak ya," ucap Dilla sambil tersenyum.
"Mau dong," bujuk Gio.
"Bolehlah, asal jangan minta bayaran ya."
"Hahaha ... bayarannya cukup cinta kamu, La."
"Aah, kalau pamrih nggak mau, aah."
Gio tertawa.
"Aku cuma becanda kok, La."
Braakkk!
Tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang menyenggol stang motor Gio. Motor Gio rebah bersama Gio, dan Ardilla. Gio sempat menjauh sebelum motor benar-benar jatuh, tapi Ardilla kaki, dan tangannya terluka karena kejatuhan motor.
David yang sejak tadi mengikuti mereka langsung meminta supirnya menepikan mobil.
Disibakan kerumunan orang yang mengerubungi Ardilla, dan Gio. Tanpa banyak bicara dibopongnya Dilla.
"Eeh ... eeh anda siapa?" tanya Gio seraya menarik baju David.
"Saya calon suaminya," jawab David. Gio menatap Dilla seakan bertanya tentang kebenaran jawaban David.
"Benar itu, La?" tanya Gio.
Ardilla yang sudah merasa pusing melihat darah di tangan, dan kakinya, hanya mengangguk saja. Kemudian Ardilla pingsan.
David segera membawanya ke mobil. Gio mematung di tempatnya.
BERSAMBUNG