PART. 1 DAVID
Pintu ruangan Abi terbuka, Ardilla muncul di ambang pintu.
"Maaf, Pak, tadi saya sudah katakan pada Mbak Dilla, kalau Bapak sedang ada tamu." Dina sekertaris Abi menjelaskan.
Dina baru beberapa tahun ini bekerja pada Abi, setelah Nita berhenti, kemudian diganti Ani, baru Dina.
"Tidak apa-apa, kamu kembali ke tempatmu Dina," sahut Abi.
Ardilla masih berdiri di ambang pintu.
"Sini masuk, kenapa masih berdiri di
situ." Abi melambaikan tangan pada putrinya.
Ardilla mendekat.
"Maaf, Ayah."
"Makanya kebiasaan nyelonongmu itu, setidaknya dikurangi, Sayang. Ayo kasih salam dulu sama, Om Frans dan anaknya David. Masih ingat tidak, kita pernah bertemu waktu kita liburan di lombok, sebelum Abang berangkat ke Amerika?"
"Hallo," Ardilla menyalami dua orang pria yang bersama Ayahnya.
"Maaf, aku lupa, Ayah. Kita bertemu banyak orang di sana," jawab Ardilla.
"Om Frans ini punya peternakan besar, dan juga punya usaha properti di Australi. Sedang David, dia seorang arsitek. Ayah, dan Om Frans sedang ada kerjasama pembangunan apartemen. Arsiteknya David, jadi dia yang akan mengawasi pembangunan apartemennya."
Selain usaha dibidang pertambangan, Abi juga menangani perusahaan properti dari keluarga Sanjaya milik kakek Arini.
"Oh.... " Ardila menganggukan kepalanya
Diperhatikannya David sekilas.
Keliatan tinggi, dan gagah.
Rambutnya coklat, kulitnya juga.
Kalau matanya tidak biru, dan hidungnya tidak mancung tinggi, pasti orang tidak akan menyangka, kalau dia bule.
"Dilla sudah makan siang?" tanya Abi. Kepala Ardilla menggeleng.
"Dilla ke sini ingin mengajak Ayah makan siang ke luar," jawabnya.
"Dilla makan siangnya sama David saja
ya, Ayah sama Om Frans ada janji bertemu dengan beberapa teman masa kuliah dulu," kata Abi.
"Haah ... enggak mau, aah. Dilla mau makan di rumah saja sama Bunda kalau begitu," tolak Ardilla.
"Ayah minta kamu temani David makan siang, Sayang. Tidak ada penolakan, oke!" Abi menggoyangkan jari telunjuknya di hadapan Dilla.
"Iya ... iya" jawab Dilla dengan wajah cemberut.
"David selesai makan siang, tolong antarkan Dilla pulang ya," pinta Abi pada David. Kepala David mengangguk.
"Siap, Ayah!" jawabnya.
Ardilla menatap kaget pada David, yang
memanggil Ayah, pada Ayahnya, tapi ia tidak berani membahas hal itu di hadapan Ayahnya.
David, dan Ardilla berdiri dari duduk mereka, keduanya berpamitan pada Abi, dan Frans.
Setelah ke luar dari ruangan Abi.
"Mau makan di mana?" tanya David.
"Kantin kantor!" jawab Ardilla.
'Kita lihat, Mister David, apa kamu bisa makan masakan jawa.... ' Ardilla tertawa di dalam hatinya.
Pandangan pengunjung kantin tertuju ke pintu semuanya, saat Dilla, dan David masuk ke dalam kantin.
"Makannya ambil sendiri, Mister, tinggal pilih saja," kata Dilla seraya mengambil piring, dan sendok, lalu mengambil nasi, dan lauk pauk yang diinginkannya.
Matanya melirik ke arah piring David. Isinya nasi, urab, gudeg, orek tempe, dan ayam goreng.
Sedang piring Dilla sendiri cuma berisi gudeg, dan opor ayam, plus ikan asin serta sambel.
Mereka sudah duduk berhadapan. Selain dua piring makan siang mereka, ada juga dua gelas es jeruk di atas meja.
Melihat David yang begitu menikmati makan siangnya, Dilla jadi tidak dapat menahan rasa penasarannya.
"Sudah biasa ya makan lauknya begini, Mister?"
Kepala David mengangguk.
"Ooh, tapi kata Ayah, Mister tinggalnya di Australi, iya kan?"
Kepala David mengangguk lagi.
"Terus biasa makan begini di mana?"
"Kami punya restoran masakan Indonesia di sana."
"Ooh ... Mister asli bule nggak sih, kok nggak putih ya?"
David mengangkat tatapan dari piring
makan, ditatapnya Dilla.
"Bisa kuhabiskan dulu makanku, baru kita bicara? Aku tidak terbiasa makan sambil bicara?" tanyanya datar. Tatapan.matanya menyiratkan ia merasa terganggu.
Bibir Ardilla langsung manyun.
"Eeh, Mister, dengar ya, kalau di rumah gue, makan di meja makan sambil ngobrol itu biasa, kami bisa makan sambil curhat apa aja!" cerocos Dilla kesal.
Dilla meraih tas yang diletakan di atas kursi di sampingnya.
"Mister nggak usah antar gue, gue bisa
pulang sendiri!" Ardilla sudah ingin melangkah, tapi tangan David menahannya.
Sebenarnya Dilla ingin berontak, tapi pandangan mata pegawai Ayahnya yang
tengah makan tertuju kepadanya. Terpaksa ia duduk lagi dengan wajah ditekuk.
"Aku sudah berjanji pada Ayahmu, untuk mengantarmu pulang," kata David, ia berusaha berbicara selembut mungkin.
Setelah selesai makan siang, David, dan Ardilla ke luar dari kantin. Ternyata David tidak menyetir mobilnya sendiri, tapi memakai supir. Tanpa bicara, David yang duduk bersisian dengan Ardilla membuka laptopnya. Entah apa yang dilakukannya. Tapi yang pasti Ardilla merasa bosan.
"Mister, tadi belum jawab. Mister asli
bule apa, bukan?"
"Bukan."
"Ooh, Ibu Mister orang Indonesia ya?"
"Iya."
"Orang Jawa ya?"
"Iya."
'Iih orang ini, sungguh menyebalkan, sok cool, sok sibuk, sok ganteng ... eeh apa ganteng? No.... '
"Stop, Pak!" Ardila memukul sandaran jok supir di depannya.
David mengalihkan pandangannya dari laptop ke Ardilla. Ditutup laptop, diletakan di sampingnya.
"Mau ke mana?" tanya David, ia memegang pergelangan tangan Ardilla yang ingin membuka pintu mobil, setelah supir David menepikan mobil.
"Bukan urusan lo!" sengit Ardilla.
"Urusanku, karena Ayahmu menitipkannu kepadaku untuk aku antar sampai ke rumahmu."
"Gue bisa pulang sendiri," jawab Ardilla. David tidak menghiraukan kata-kata Dilla.
"Jalan, Pak!" perintah David.
"Stop, Pak!" Ardilla ingin membuka pintu mobil, tapi dengan sigap David mengunci tubuhnya dalam pelukan lengan besarnya.
"Jalan, Pak" nada dingin terdengar dari suara David.
Mata Ardilla melotot, tubuhnya bergerak berusaha lepas dari kuncian lengan David.
"Lepaskan.... "desisnya.
Supir David hanya tersenyum melihat keduanya.
"Bersikaplah dewasa, jangan seperti
bocah begini," kata David seraya melepaskan pelukannya pada tubuh Ardilla.
"Gue sudah dua puluh tahun, ya. Pastilah sudah dewasa!" ujar Ardilla dengan nada sengit.
"Tapi sikapmu, tidak menunjukan kalau kamu itu sudah dewasa," sahut David.
"Eeh ... dengar ya, Mister! Mau gue dewasa, atau seperti bocah, enggak ada urusannya sama, Lo, Mister!" Ardilla menatap sengit ke mata David.
"Kamu perlu tahu, apapun yang berhubungan denganmu akan jadi urusanku nanti," David balas menatap mata Ardilla.
"Apa maksud, Lo?" tanya Ardilla.
"Nanti juga kamu akan tahu," David
mengalihkan pandangannya. Mereka berdua sama terdiam.
"Mister umurnya berapa?" tanya Ardilla tiba-tiba, sepertinya rasa kesalnya sudah mulai surut.
"Dua puluh sembilan tahun," jawab David singkat.
"Sudah menikah?"
"Belum."
"Enggak laku ya?"
David menolehkan kepala.
Matanya menatap Ardilla dengan pandangan yang sulit diartikan.
BERSAMBUNG
segini dulu ya.