HANYA WATI, WATI, DAN WATI.

1029 Words
“Wati ini bukan lagi karyawan di kantor kita lagi Pak, tak perlu di pikirkan. Dan lagi kalau masih karyawan pun tak pantas Bapak lebih mementingkan orang lain daripada istri Bapak sendiri.” pak Mahmud melarang Rusdi untuk memikirkan Wati karena sudah bukan karyawan nya lagi. “Dia itu sudah bukan karyawan Bapak lagi. Kenapa Bapak berpikir sampai harus menengok nya ketika dia butuh Bapak? Padahal dia juga bukan karyawan langsung di sekretariat. Bapak pernah ngapain dengan dia?” cecar Mahmud. “Saya enggak pernah ngapa-ngapain. Bahkan tak pernah bertemu di luar yayasan selain yang kalian semua tahu. Tapi sekarang saya harus menenangkannya karena dia sangat butuh saya,” kilah Rusdi dengan meyakinkan. “Lalu kenapa Bapak takut dia sampai terluka atau sampai sakit atau sampai apalah namanya? Bapak sangat mengkhawatirkan dia padahal dia sama sekali bukan teman Bapak atau pacar Bapak bahkan dia bukan istri Bapak.” “Bapak malah menyingkirkan perasaan sakit hati istri Bapak. Bapak tak peduli perasaan ibu Gita. Bapak ini sedang kenapa?” tanya Mahmud lagi. Rusdi hanya menggeleng-geleng dan menutup wajahnya dengan tangan. Dia tak bisa berpikir jernih. Yang dia pikir saat ini, dia harus menemui Wati dan membuat Wati tidak terluka, membuat Wati merasa nyaman dengan kehadirannya hanya itu saja. Yang ada di pikiran Rusdi saat ini hanya Wati, Wati, dan Wati. Rupanya Apa’ sudah bergerak, saat itu paman nya Apa’ datang. Paman nya ini bukan lebih tua dari Apa’ tapi usianya hanya dua tahun di atas Rusdi. Paman Apa’ atau kakeknya Rusdi ini walau masih muda punya kemampuan sangat bagus. Waktu Rusdi terbayang-bayang Wati pertama kali dia juga yang memberi air. Apa’ lalu bercerita bagaimana kelakuan Rusdi sejak menerima pesan suara lebih tepatnya telepon dari bibi nya Wati. “Aki ( kakek ) sarankan kamu pakai nomor baru, sementara nomor lama yang berkaitan dengan pekerjaan kasih sekretarismu saja. Atau beri pengumuman sementara nomor mu tidak aktif semua urusan pekerjaan bicara dengan sekretarismu.” “Jadi nomor mu tidak bisa di akses orang-orang tidak dikenal. Yang perempuan itu lakukan adalah pengiriman pesan tidak normal melalui suara. Rusdi sudah terkena pengaruh jahat dari suara Nenny yang memang sengaja ditujukan untuk Rusdi.” “Sekarang kamu tetap bisa menggunakan nomor itu, tapi tidak mengangkat telepon dari siapa pun yang tidak dikenal juga tidak membaca pesan dari nomor yang tidak di save atau disimpan di phone book,” jelas sang Aki Juned, paman nya Apa’. Tanpa diminta Amah memberikan segelas air untuk dibacakan doa oleh sang Paman. Paman melihat Gita menangis di ruang makan, sedang mereka semua ada duduk di ruang tamu bersama Pak Mahmud. Cukup lama Paman mendoakan air dalam gelas. Dengan air itu Paman membasuh kan ke wajah dan ubun-ubun nya Rusdi. Lalu sisanya dia minta Rusdi untuk meminumnya. Rusdi seperti baru bangun tidur. Dia bingung melihat ada pak Mahmud dan aki Juned selain Apa’ dan Amah nya. “Ingat jangan pernah angkat telepon dari nomor yang tidak dikenal nomor siapa pun itu, jangan pernah diangkat,” kata aki Juned pada Rusdi. “Paman, sudah aku larang dia. Dia tetap aja ngebantah seakan nomor itu punya daya tarik, seakan nomor itu harus diterima,” lapor Amah mengingat Rusdi tak mempan larangannya atau protesan Gita. “Bahkan Gita juga bilang: Kenapa sih A’a ngotot terima telepon itu? Terus Rusdi bilang katanya takut ada yang penting,” jawab Amah lagi. “Karena dari sebelum ditelepon sudah dikirimin pesan ke pikirannya Rusdi bahwa dia harus menerima, jadi besok kalau ada telepon walau ingin menerima langsung tolak saja sehingga tidak berbunyi terus dan mengganggu gelombang otak Rusdi. Sepertinya Rusdi pernah minum atau makan barang dari dia,” duga aki Juned. “Wati pernah siapkan saya dan tamu teh Aki,” jawab Rusdi dia ingat saat itu Wati membantu OB membuatkan minum untuknya dan tamu. “Itu penghubungmu yang telah tertanam dalam tubuhmu. Jadi kamu bisa digerakkan jarak jauh hanya dengan suara saja. Besok sebelum bekerja mampir ke rumah, Aki buat kan air. Kalau buat begitu enggak bisa pakai air instant,” sang kakek rupanya butuh waktu khusus untuk menyiapkan air bagi penawar Rusdi. “Baik Aki,” kata Rusdi. Rusdi tentu memanggil paman Juned dengan sebutan Kakek atau Aki bukan paman seperti yang Apa’ dan Amah biasa panggil. Dari ruang tengah Rusdi melihat Gita istrinya hanya duduk diam di meja makan. “Lho Yank, kamu kok di sana? Sini,” ajak Rusdi yang telah sadar. Dia hampiri istrinya tercinta dan dia ajak ke ruang tengah bertemu dengan Aki Juned. “Kamu bahkan enggak peduli istrimu menangis, kamu bahkan enggak peduli istrimu enggak makan,” jelas Apa’. “Astagfirullah, aku sampai begitu?” kata Rusdi tak percaya. “Ya itu kenyataannya. Kamu panggil pak Mahmud untuk menemanimu ke Indramayu,” lanjut Apa’ lagi. “Kamu menyia-nyiakan istri demi seorang perempuan yang tidak kenal asal-usulnya. Demi seorang perempuan yang membuat kamu lupa diri,” omel Amah. “Aku enggak pernah ingin menduakan Gita, Mah,” bantah Rusdi. “Kenyataannya seperti itu. Kamu menduakan Gita. Malam-malam seperti ini aja kamu ingin pergi ke Indramayu buat bikin Wati tenang. Kamu lebih mikir ketenangan Wati daripada ketenangan Gita,” kata Apa’ dengan marah. “Harusnya tadi Apa’ tempeleng aku, biar aku sadar,” saran Rusdi. “Dengan tempelengan itu tidak akan membuatmu sadar,” Kata paman atau Aki Juned. “Kamu malah akan makin marah dan makin memberontak,” jelas Paman lagi. “Ini bukan hipnotis. Kalau hipnotis di tempeleng atau di bangunkan langsung sadar. Kalau seperti ini tidak bisa.” “Hebat sekali ilmu dia, hanya dengan suara jarak jauh kamu bisa terpuruk seperti ini, kalau tadi kamu berangkat, kamu tak akan pernah bisa kembali ke sini,” kata sang Paman lagi. “Untuk selanjutnya kamu harus hati-hati. Sekarang aku pulang dulu,” pamit Juned. “Baik Aki.” “Baik Paman. Terima kasih,” jawab Apa’ dan Amah. Sebelum pulang paman membasuh sedikit air di gelas tadi pada wajahnya Gita, dia juga meniup ubun-ubun Gita. “Sabar ya. Kamu harus sabar karena sehabis ini akan banyak lagi cobaan yang dibuat oleh perempuan tersebut. Perempuan tersebut tidak ingin kamu menang,” Kata paman pada Gita. Amah dan Apa’ mendengar itu. Mereka berjanji akan selalu men-support Gita apa pun yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD