Pak Mahmud tentu saja menjadi serba salah, akhirnya dia memanggil Wati pegawai baru yang selalu membuat dia bermasalah.
“Iya Pak,” jawab Wati ketika tiba di ruang pak Mahmud.
“Kamu ada apa sih?”
“Memang saya kenapa Pak?” tanya Wati tanpa punya rasa bersalah.
“Kenapa katamu? Kenapa kamu laporkan Diah jatuh dari motor? Diah itu ke kantor naik mobil!”
“Barusan saya lihat dia ada dekat motor yang jatuh Pak,” jawab Wati lagi.
“Kamu jam segini ngapain di gedung sekretariat? Lingkup kerja kamu kan di sini,” tegur Mahmud.
“Saya barusan kan keluar Pak untuk fotocopy,” begitu alasan Wati.
“Fotocopy di luar? Memang kenapa tiga mesin fotokopi di lantai bawah kita? Apa kamu sengaja mau fotocopy di ruang sekretariat gitu? Biar bisa lihat Pak Rusdi?” cecar pak Mahmud.
Pak Mahmud bukan anak muda, dia sudah cukup umur, usianya lebih dari 50 tahunan. Kerja sudah sangat lama dan pak Mahmud tahu, biasanya Rusdi itu bukan pemarah. Lebih-lebih terhadap orang tua yang sudah lama bekerja di yayasan.
Maka pak Mahmud sekarang bingung kok bolak-balik ditegur terus gara-gara kasusnya Wati.
“Jangan mentang-mentang kamu sudah punya nomornya Pak Rusdi lalu kamu hubungi dia terus-menerus. Ini peringatan terakhir atau kamu saya pecat!”
“Pecat saja Pak. Enggak apa-apa kok Pak. Saya enggak takut, ada Pak Rusdi,” jawab Wati santai tanpa takut pada manager HRD tempat dia baru bekerja.
“Memang Pak Rusdi itu siapa kamu, kok yakin banget kalau dia akan bela kamu?” pak Mahmud tentu bingung karena yang suruh bersikap tegas pada Wati saja pak Rusdi.
“Ya calon suamilah,” jawab Wati dengan pede-nya.
“Ngawur saja kalau bicara,” jawab pak Mahmud.
“Ya iyalah, masa saya enggak bisa dapetin dia,” kata Wati tanpa takut.
“Saya peringatkan kamu ya, kalau terjadi lagi kamu berulah pada pak Rusdi, saya enggak mau tahu. Sekali lagi kamu ada di dekat gedung Sekretariat, enggak perlu pakai SP kamu akan pecat karena saya sudah peringatkan lisan berkali-kali.”
“Tanpa SP kamu akan langsung saya pecat.”
≈≈≈≈≈≈≈≈
“Iya Pak,” jawab Diah cepat.
“Sedang di mana kamu?”
“Saya sedang di poliklinik kesehatan Pak, sedang membantu orang tua siswa yang hampir jatuh karena pening. Rupanya ibu ini sedang hamil muda Pak.”
“Ibu ini ingin ke kantor TU untuk bayar SPP. Biasanya dia lewat mBanking, tapi hari ini dia bilang dia pengin lihat anaknya yang masih di SD. Saya bantu dia karena dia agak oleng Pak.”
“Oh gitu. Saya pikir kamu jatuh dari motor.”
“Bagaimana saya jatuh dari motor Pak? Saya kerja naik mobil kok,” jawab Diah.
“Itu juga yang saya katakan pada pak Mahmud. Barusan Wati telepon saya katanya kamu jatuh dari motor.”
“Kok pegawai baru bisa punya nomor Bapak?”
“Saya juga bingung. Dua hari lalu dia ada di depan gedung kita di depan gedung Sekretariat dia bilang kehujanan karena habis mengembalikan buku ke Gilbert.”
“Gilbert enggak ngajak dia pulang Pak?”
“Iya, dia malah nungguin di depan gedung. Karena kasihan akhirnya saya bawa dia sekalian lewat karena rumah kostnya arah jalan Penang kan kelewatan. Seingat saya, kami enggak ngobrol apa pun. Tapi tiba-tiba entah bagaimana kok dia punya nomor saya.”
“Lalu pagi siang malam dia kirim pesan ke saya. Selamat pagi Pak. Semangat. Jangan telat makan dan lain-lain kayak dia itu pacar saya,” kata Rusdi.
“Kok bisa gitu Pak?”
“Entah, makanya ini saya bingung barusan dia telepon saya katanya kamu jatuh.”
“Kamu jatuh, kenapa dia hubungi saya kan aneh. Dan kenapa kamu bisa jatuh dari motor itu makanya saya telepon kamu,” kata Rusdi lagi.
“Kayanya ada yang enggak benar deh Pak sama orang itu,” Diah mengemukakan pendapatnya.
“Itulah saya barusan tegor pak Mahmud. Kok bisa Pak Mahmud punya orang seperti itu. Pak Mahmud bilang sudah di ultimatum dua kali.”
≈≈≈≈≈≈≈≈
“Gilbert bisa ke ruangan saya?” pinta Rusdi. Biar dia ketua yayasan, tapi kalau pada orang yang benar, Rusdi selalu sopan. Dia tak memanggil Gilbert dengan sekehendak hatinya, melainkan meminta untuk datang ke ruangan nya. Kata-kata yang Rusdi gunakan sangat sopan.
“Baik Pak,” jawab Gilbert sopan.
“Oh ya sekalian sama Diah saja agar tidak harus diulang. Saya mau kita bicara bertiga.”
“Baik Pak,” kata Gilbert
“Di, dipanggil Bapak,” Gilbert memberitahu Diah ( dia panggil dengan nama DI ).
“Oke,” kata Diah. Dia menyimpan data yang sedang dia kerjakan dan mematikan daya komputer di meja kerjanya. Mereka pun langsung menuju ruangan Big Boss mereka.
≈≈≈≈≈≈≈≈
“Diah, bagaimana persiapan kita ke Bandung?”
“Ini yang saya sedang siapkan untuk laporkan ke Bapak, eh malah Bapak memanggil saya. Gilbert kan jadi ketua kontingen yayasan Pak. Dia akan meng-handle keseluruhan peserta. Nah kalau Bapak juga ikut hadir di sana sebagai ketua Yayasan yang bantu Bapak siapa Pak?”
“Kalau boleh saya ikut juga sebagai pembantu Bapak. Kalau di sini, enggak ada Bapak kan enggak perlu ada salah satu diantara kami buat jaga gawang kan Pak?”
“Kalau buat jaga tamu atau terima telepon, kan bisa dibantu oleh pegawai lain yang ada di bagian administrasi ke sekretariatan,” kata Diah
“Saya panggil kamu karena saya mau bilang begitu. Nanti di Bandung siapa yang akan urus berkas saya dan segala macam kan harus di handle. Masa saya pegang sendiri.”
“Tadi saya sudah ngobrol sama Gilbert, rencananya nanti siang akan saya sampaikan, karena kan ini sedang saya atur dulu berkas Bapak untuk persiapan di Bandung nanti.”
“Ya sudah kalian berangkat berdua saja, Gilbert sebagai orang yayasan yang ada di kontingen, dan kamu Diah tetap handle urusan saya,” putus Rusdi.
“Ya Pak. Itu yang memang kami mau bicarakan dengan Bapak tadinya. Tapi karena Bapak sudah memutuskan begitu ya alhamdulillah,” kata Diah.
Mereka bertiga selanjutnya sibuk dengan materi persiapan ke Bandung.
“Ingat ya saya tidak butuh disiapkan hotel, jadi jangan keluarkan dana lagi untuk hotel. Saya di sana sudah punya tempat kost, lumayan kan ngirit biaya hotel VIP selama satu minggu,” Rusdi mengingatkan Diah. Semua bisa terjadi karena memang dia sudah punya tempat tinggal selama calon istrinya kuliah di Bandung.