Nyonya Di Rumah Ini

1622 Words
"Nenek ...," Seru Rindu berlari memeluk Neneknya yang tengah menikmati buah jeruk di meja makan. "Kau ini, jaga sikapmu. Sekarang kau seorang istri." Perempuan senja menepuk lengan cucunya. "Suamimu mana?" "Nenek," Pernadi meletakkan kopernya, menghampiri kemudian mencium punggung tangan perempuan tua. "Kemari sayang." Perempuan senja menepuk sofa kosong di sampingnya untuk Pernadi duduki. Sang nenek mengambil tangan kedua cucunya yang duduk diantaranya. Ia menyatukan tangan itu dalam pangkuannya. "Aku memberkati pernikahan kalian, Cucuku. Semoga langgeng hingga maut memisahkan kalian." Katanya seraya menatap kedua cucunya bergantian. "Iya Nenek." gumam Rindu sementara Pernadi hanya mengangguk pelan. Ada keraguan tersirat di wajah pria itu. "Nenek juga berharap, sebelum Tuhan menjemputku. Aku ingin melihat cicitku." Tambahnya, membuat rona di wajah Rindu. "Tapi, Rindu masih ingin kuliah, Nek. iya kan sayang?" Rindu menaikkan kedua alisnya mendengar kata sayang yang ucapkan Pernadi. "Iya, Nek." "Kuliah bukan alasan untuk menunda dapat momongan. Rin, jangan KB, ya." Rukaya menimpali ucapan menantunya. "Kami baru kemarin menikah sudah ngebahas macam-macam sih, Ma. Sudah ah, Nadi mau ke kamar." Pernadi bangun dari duduknya. "Ini hanya rencana Pernadi. Mama nggak bilang kok Rindu langsung hamil hasil malam pertamamu." "Mama!" "Kenapa berteriak pada Ibumu, sayang." Perempuan senja menasihati cucunya, terdengar helaan napas panjang dari pria itu. "Aku mau ke kamar." Katanya dan langsung berlalu dari ruang tamu. "Rindu, sana ikutin dia." Ujar Rukaya. "Eh, nggak mau tante. Dia galak kalau marah." "Semua orang galak kalau lagi marah. Sana, coba hibur dia." Rindu mengembuskan napas panjang, menatap punggung Pernadi menaiki anak tangga. "Rindu ke kamar, Nek." ucapnya segera bangun dari duduknya Ketukan pintu mengejutkan Pernadi yang tengah berbaring di ranjang, ia mengangkat sedikit kepalanya melihat ke arah pintu dan melihat Rindu masuk. "Mau ngapain lu kesini?" Tanya Pernadi, kembali meletakkan kepala di atas bantal. "Suruh Mama, lagian kamar ini sekarang milikku juga, kan?" "Bukan cuma kamar ini milikmu tapi, semua harta Suparat sekarang milikmu. Kau nyonya di rumah ini. Puas?" "Nah itu kakak tahu." Rindu duduk di ranjang. Melihat kaki suaminya yang mengantung di tepi ranjang. "Kak, mengenai kuliah. Kita belum bahas ini loh." "Bahas sama mama aja," "Aku mau kuliah, boleh?" "Tanya mama Rindu," "Kakak ngimana sih, kan tadi kakak yang bilang kalau Rindu kuliah." Pernadi bangun dari baringannya, ia menyentil jidat Rindu. "Lu tidak tahu maksud gue apa? Gue ngomong begitu supaya mama dan nenek tidak nuntut kita punya anak sekarang. Dan satu lagi, pikirkan masa depan Lu. Karena gue nggak bisa hidup sama orang yang tidak gue cintai. Sampai disini paham?" Pernadi turun ranjang menuju sofa yang ada di kamar itu. Menyalakan televisi untuk bermain PlayStation. Rindu kesal mendengarnya, ia mengambil bantal kemudian melempar ke arah Pernadi. "Yakkk!!!" Teriak Pernadi kesal. "Tidak ada kata pisah. Titik." Tegas Rindu, melipat tangan di d**a. "Gue nggak butuh persetujuan Lu, untuk pisah." Sungutnya, mengambil stik Ps dan mengabaikan Rindu yang menatapkan kesal. Malam hari, Rindu dan Rukaya mengobrol di ruang santai, mereka membahas mengenai kuliah Rindu. "Mama setuju kau kuliah. Tapi, jangan KB ya sayang." "Ngapain juga aku KB, malam pertama aja belum." Membatin menahan senyum. "Nggak kok, Ma. Rindu nggak KB." ucapnya yakin. "Mengenai kuliahmu, bahas sama suamimu. Minta pendapat kampus mana yang tepat untukmu. Kau sudah pikirkan ambil jurusan apa?" "Mmm sudah, Ma." "Bagus, sudah sana. Jangan biarin tuh orang main PlayStation terus. Istri di anggurin." Rindu tersenyum sekaligus merona. "Rindu naik ya, Ma. Selamat malam." katanya. Saat tiba di kamar Rindu masih melihat Pernadi sibuk bermain Ps. Gadis remaja itu menghampiri dan duduk di sampingnya. "Rindu mau ngomong, Kak." "Mengenai apa?" Tanya Pernadi tanpa mengalihkan tatapannya dari layar Tv. "Kira-kira kampus yang tepat buat aku kuliah dan mengambil jurusan fashion design dimana?" Pernadi meletakkan stik Ps dan mematikan televisi. "Lu mau ambil jurusan itu?" Rindu mengangguk yakin. "Mmm ...siapin transkrip nilai kamu, nanti aku coba cari kampus yang tepat buat kamu dan nggak jauh dari rumah." ujar Pernadi, kali ini ia berkata dengan suara lembut dan menghilangkan kata Lu yang terdengar kasar di telinga Rindu. "Ya udah, nanti aku siapin kak." "Uda makan, Rin?" Tanya Pernadi, memengangi perutnya yang sudah lapar. "Ini sudah jam delapan malam, kak. Semua orang sudah makan kecuali kakak. Ngambek kayak anak kecil." Ledek Rindu seraya mencebir. Pernadi hanya berdecak melihat bibir Rindu yang mencebik. Ia bangun dari duduknya dan mengambil kunci motor. "Kakak mau kemana?" "Mau makan di luar." "Kan masih ada makanan, Kak." "Pengen makan pizza." Mendengar itu Rindu juga bangun dari duduknya. Ia belum pernah makan makanan asal Italia itu. Rindu mengambil jaket dan berlari keluar kamar mengejar Pernadi yang sudah keluar terlebih dulu. "Mau kemana?" Tanya Pernadi menaikkan kedua alisnya saat mengeluarkan motor dari garasi. "Ikut." "Nggak, nggak. Di rumah aja." "Ikut, kak. Aku belum pernah makan yang begituan." Pernadi terkekeh geli, "Kapan-kapan aja, sama mama, sama nenek dan papa." "Nggak mau, pengennya sekarang." "Jangan ngeselin Rindu."Pernadi menghidupkan mesin motornya. Ia mengenakan helem saat itu juga Rindu sudah duduk di motornya. Pernadi menghela berat, menolehkan kepala dengan tatapan kesal. Gadis di belakangnya segera tersenyum menunjukkan gigi gingsulnya, manis. Pernadi menggeleng- gelengkan kepala melihat tingkah Rindu kemudian memutuskan membawa Rindu. Motor membaur ke jalanan padat, dari atas motor Rindu menikmati pemandangan malam terutama saat mereka melintasi jembatan. Lampu gedung pencakar langit menghiasi kota Jakarta yang gelap. Mall pondok Indah tujuan mereka. Pernadi memarkirkan motornya setelah mengambil tiket parkir. Ia melepas helem yang ia kenakan dan terkekeh begitu melihat penampakan Rindu. Rambut bergelombang miliknya tampak berantakan. "Lu dah kayak tarzan masuk kota tau." Ledek Pernadi, refleks ikut merapikan rambut istrinya. Rindu menatap Pernadi yang tertawa kecil sambil merapikan rambutnya. Jantung gadis itu berdebar dan wajahnya kini merona. "Sudah, ayo penghuni hutan." "Kakak." Rindu memukul lengan Pernadi hingga pria itu mengaduh. "Emang lu mirip," ejeknya, membawa langkah menuju lift yang ada di bawah tanah. "Kak nama tempat ini apa?" "PIM." "Ada bioskopnya juga." Tanya Rindu penasaran. "Nggak ada." ucapnya berbohong, ia nggak mau istrinya ini minta aneh-aneh yang membuatnya ribet. "Mall sebesar ini nggak ada bioskop, kak?" "Kenapa emangnya?" "Heran aja, kakak lain kali bawa aku nonton bioskop ya." "Ogah," "Bukan sebagai istr—" "Sstt ..." Pernadi segera menutup mulut Rindu dengan telapak tangannya. "Ingat ya, jangan sekali-kali kau menyebut status hubungan kita. Dimanapun!" Pernadi mendesiskan ucapannya tepat di belakang telinga Rindu. Rindu mengangguk patuh, Pernadi segera melepas tangannya bertepatan saat pintu lift terbuka. Kafe Pizza tampak ramai, saat mereka tiba. Hari ini bertepatan akhir pekan. Seorang pelayan langsung menyambut tepat di depan pintu masuk dan membawa mereka ke tempat yang masih kosong. "Selamat datang di Kafe Pizza Marzano, Tuan dan Nona. Apa yang bisa saya bantu?" "Buku menunya." "Silahkan." Pelayan meletakkan buku menu dengan sopan di meja tepat di hadapan Pernadi. "Lu mau makan apa?" Tanya Pernadi pada Rindu yang tampak sibuk mengedarkan tatapannya kesana -kemari. "Mmm ... samain aja, kak." Menyengir. "Yakin?" "Umm ...." Mengangguk yakin. Pernadi menulis pesanannya lalu menyerahkan buku menu pada pelayan. "Terima kasih, kami akan menyajikan dalam waktu 15 menit. Mohon sabar menunggu, Tuan dan Nona." "Baiklah, kami tunggu." Sembari menunggu Pernadi memeriksa ponselnya. Cintya kekasihnya sedang perjalanan pulang dari Australia. Senyum pria itu merekah saat melihat photo yang di kirim Cintya padanya lewat w******p. [Sudah nggak sabar pengen ketemu kamu."] Pernadi mengirim balasannya tak lupa menyelipkan emoji love kisses. Ponsel Rindu berdering, Mama Mertua, tertulis di layar. "Siapa?" Tanya Pernadi meletakkan ponselnya di atas meja. "Tente," Rindu segera mengangkatnya. "Iya tante," "Mama, Rindu." "Eh, iya Mama." Rindu masih belum terbiasa dengan sebutan itu. Wajah gadis itu kini merona. "Kalian ada dimana?" "A ...." Rindu menjauhkan ponselnya dari telinga. "Kita ada dimana, kak?" Tanya Rindu setengah berbisik. "Sini." Pernadi berdecak, mengambil alih ponsel Rindu. "Halo, Ma." "Eh putra Mama, sudah nggak ngambek anak manja?" Tanya Rukaya dibarengi kekehan ringan. "Apa sih, Ma?" Pernadi cemberut. "Kalian ada dimana?" "Di PIM, ajak Rindu jalan-jalan bentar." Rindu mencebik. Lagi-lagi pria ini menjadikannya alasan. "Oh, tapi kok malam benar perginya. Ya udah, hati-hati pulangnya." "Iya, mama." Sambungan terputus, Pernadi mengembalikan ponsel Rindu. Pesanan mereka tiba, pelayan menyajikan di meja. Aroma Pizza bertopping pepperoni sapi, daging cincang sapi, dan jamur yang gurih segera membaui meja makan mereka. Minuman Autumn punch dengan irisan buah strawberry segar menjadi pelengkap pesanan mereka. "Pesanannya sudah semua,Tuan. Apa masih ada yang bisa saya bantu?" "Terima kasih ini saja." "Baiklah selamat menikmati." Rindu menelan air ludahnya, begitu pelayan meninggalkan mereka ia segera menarik miliknya dan menusuk menggunakan garpu potongan pizza tersebut dan memakannya dengan mulut besar. Pernadi melongo melihatnya, gadis ini benar-benar membuat selera makannya hilang. Rindu mengacungkan jari jempolnya, sebagai pujian atas nikmat makanannya. "Rindu, jangan malu-maluin. Makan santai aja, nggak ada mau ngambil makanan Lu." Rindu menelan semua isi mulutnya, lalu memakannya lagi. "Cih, gue tahu lu dari kampung. Tapi, nggak begitu juga kali cara makannya. Malu-maluin tau nggak!" Pernadi menyenderkan tubuhnya pada sandaran kursi. Melipat kedua lengan di d**a, melihat mulut Rindu yang penuh makanan dengan tatapan jijik. "Ini enak, kak. Ini pertama kali aku makan beginian. Biasanya cuma lihat di tv." Katanya, cuek lalu menikmati minumannya. "Ahh, segar bangat ..., kakak nggak makan?" "Lihat cara makan lu, gue malah jijik. Selera makan gue hilang seketika." Mendengus lalu berdecak. "Ya sudah, bodoh amat." Santai dan tidak peduli. Pernadi berdecak lagi, ia mengedarkan tatapannya ke sekeliling kafe dan tersentak kaget saat melihat tiga temannya masuk ke dalam kafe itu. Pernadi menekan gigi kuat-kuat pada bibir bawahnya, segera bangun dari duduknya dan menarik tanga Rindu hendak membawanya pergi dari tempat itu. "Ayo pulag, Rin." "Tapi, aku masih makan kak." ucap Rindu tak jelas lantaran mulutnya masih ada makanan. "Udah, kapan -kapan kita kesini lagi." Buru-buru dengan raut pucat. "Tunggu, aku minum dulu." Rindu menyedot minumannya dengan sedotan. "Rindu cepetan." Tak sabar. Suara salah satu temannya semakin mendekat. "Pernadi." Pria itu memejam, salah satu dari mereka memanggil namanya. Suara itu milik Lira, teman dekat Cintya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD