Tempat yang paling tidak Leora sukai adalah rumah kediaman keluarga Wiryamanta. Penjara mengerikan yang telah mengurungnya sejak usia empat belas tahun. Hidupnya baik-baik saja saat masih ada bundanya, meski penuh cibiran karena lahir tanpa ayah. Bagi Leora tak apa, toh dia tidak kekurangan apapun karena bundanya seorang wanita penyayang dan pekerja keras.
Seperti apa sosok ayahnya, Leora tidak pernah menanyakan soal itu ke bundanya. Buat apa? Kalau masih ada dan pria baik-baik tentu tidak akan membiarkan bundanya banting tulang, juga jadi bahan cibiran karena punya anak tanpa suami. Andaipun sudah mati, pasti bundanya menunjukkan kuburnya. Diamnya sang bunda sudah cukup membuat Leora paham untuk tidak mengungkitnya.
Sayang, kehidupan damai mereka berhenti di detik mamanya menghembuskan nafas terakhirnya. Leora seperti kehilangan tempat berpijak. Sempat terpuruk, karena bibinya sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa justru sama sekali tidak menaruh rasa peduli.
Kehilangan bundanya bukanlah hal yang paling menyedihkan. Derita Leora dimulai ketika suatu hari dia tergeletak sakit dalam keadaan tidak berdaya. Bibinya bilang akan membawanya berobat ke rumah sakit di kota, tapi nyatanya dia diantar ke rumah keluarga kaya dan ditinggalkan begitu saja.
Bayangkan sesakit apa hati Leora dalam kondisi tidak berdaya dibuang di tengah keluarga tirinya yang bahkan memperlakukannya begitu sinis. Sofian Wiryamanta, setelah empat belas tahun dia akhirnya bertemu sosok papanya itu. Persis seperti dugaannya selama ini, papanya tipe pria diktator dan tidak punya hati.
Kehadirannya tidak pernah diinginkan, tapi papanya juga tidak mengizinkan dia pergi dari sana. Memaksanya tinggal bersama ibu tiri dan kedua saudaranya yang selalu mencari segala cara membuatnya salah di depan papanya. Pernah Leora berhasil kabur dan kembali ke rumah bundanya. Tapi, semua peninggalan mendiang bundanya sudah dikuasai oleh bibinya. Tak cuma itu, orang suruhan papanya datang dan menyeretnya pulang kembali ke rumah mereka.
Sudah, Leora benar-benar hancur tak bersisa. Bibinya sengaja menyerahkan dia ke papanya supaya bisa menguasai harta peninggalan bundanya. Sedang dia juga terkekang kehilangan kebebasan di rumah papanya. Bisa tetap waras hingga sekarang saja sudah luar biasa bagi Leora.
“Tuh, si paling alim yang mulai hobi keluyuran dan mabuk-mabukkan akhirnya pulang juga! Dilepeh Gading jadi agak stres dia! Makanya tahu diri dan sadar diri! Mana sebanding kamu dengan tunangannya yang cantik dan anak konglomerat!"
Leora bahkan baru nongol di pintu ketika mulut pedas mama tirinya menyambut dengan cemoohan pedasnya. Bukan menghindar, tapi Leora justru dengan tenang menyusul mereka duduk di sofa ruang tamu. Ada papanya, mama tiri, Faris, dan juga anak bungsu mereka.
“Yang penting bukan mabuk suami orang!” balasnya terkekeh mengejek Dheana, adiknya yang langsung melotot.
“Jangan sembarangan kamu kalau ngomong, ya!” gertak Elsa nyolot tidak terima anaknya dihina.
“Sesekali mulutnya memang minta digampar biar tidak asal celometan menghina orang, Ma!” timpal Dheana.
“Kamu jadi selingkuhan Arez yang sudah beristri. Kamu pikir aku tidak tahu, kalian sering janjian di apartemen yang kamu sewa. Makanya jaga mulut kalian jangan asal mangap! Aku tidak semurahan kamu!”
“Leora!!” gertak Sofian.
“Apa?! Kenyataannya gitu, kan?! Mereka selalu menghina bundaku sebagai w************n yang punya anak dengan suami orang. Tuh, lihat sekarang seperti apa kelakuan anak kalian! Dia juga sama murahannya, menggoda dan jadi simpanan pria beristri!” seru Leora tidak akan sudi diam diinjak.
“Bocah sialan!” teriak Elsa sudah mengangkat tangan dan berdiri mau menampar mulut kurang ajar Leora, tapi lebih dulu ditarik duduk oleh suaminya.
“Berisik! Bisa tidak kalian tidak ribut terus kalau di rumah!” bentak Sofia menatap istri dan ketiga anaknya.
Tangan Leora bersedekap, duduk menyandar dengan senyum puas menonton mama tirinya yang sampai terengah saking emosinya. Beruntung tadi pagi Nalini maju membelanya. Kalau tidak sekarang dia pasti sudah dicemooh mereka habis-habisan kalau sampai tahu dirinya mabuk dan tidur dengan Deva.
“Kalau begitu minta istri dan anak Papa untuk berhenti mencelaku! Sejak awal kehadiranku disini tidak diterima oleh mereka. Aku juga sudah muak, tapi Papa yang tidak pernah membiarkanku pergi dari sini!”
“Karena kehadiranmu jadi racun di rumah ini! Kalau kamu jadi aku, apa sudi hidup serumah dengan anak haram hasil perselingkuhan suamimu?!” teriak Elsa benar-benar sudah kehilangan kendali.
Leora melempar tatapannya ke sang Papa. Bibirnya gemetar dengan mata memburam panas. Selalu saja seperti ini. Dia dimaki dan disalahkan untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Sedang biang dari segala kekacauan itu pilih bungkam, sama sekali tidak pernah membelanya.
“Racun itu ada di sebelahmu! Dia yang harusnya bertanggung jawab atas sakit hati kalian, karena aku juga korban kelakuan bejatnya! Suamimu yang selingkuh, kenapa aku yang disalahkan? Berada disini juga bukan mauku!” balasnya berteriak meluapkan amarahnya dengan tatapan benci ke papanya.
“Kalau begitu minggat dari sini! Toh, kamu sudah kami besarkan dan sekolahkan. Tanggung jawab suamiku sudah selesai. Kamu anak haram. Menikah juga tidak butuh wali. Jadi pergi sejauh mungkin dari hidup kami, bocah sialan!” usir istri Sofian melotot ke Leora dan menuding ke arah pintu.
Tanpa menunggu sedetik pun Leora langsung beranjak dari duduknya. Namun, belum juga beranjak mereka melongo melihat Sofian menampar keras wajah istrinya.
“Papa apa-apaan?!” seru Faris terlonjak tidak terima melihat mamanya kena tampar.
“Diam, kamu! Ini rumahku. Tidak ada satupun yang berhak mengusir Leora dari sini. Kalau kalian merasa tidak nyaman, silahkan pergi! Tapi, jangan harap menerima sepeser pun hartaku!” tegas Sofian ke anak juga istrinya.
“b******k kamu, Fian! Begini balasanmu setelah aku sabar memaafkan perselingkuhanmu dengan wanita kampung itu? Bahkan, membiarkan anak haram kalian tinggal disini. Pernah tidak kamu memahami rasa sakitku?!”
Elsa mendorong suaminya. Berusaha membalas tamparannya, tapi dicekal dan dihempas kasar oleh Sofian. Leora berdiri mematung. Seumur-umur dia tersakiti oleh mereka, baru sekali ini papanya sudi membela.
“Berhenti memanggil Leora anak haram! Dia juga darah dagingku. Aku sudah menuruti apapun kemauanmu untuk menebus rasa bersalahku, tapi sampai detik ini tetap terus kamu ungkit. Jangan ngelunjak, Sa! Sabarku juga ada batasnya!” geram Sofian menatap tajam istrinya yang menangis terisak.
“Puas kamu sekarang melihat mereka bertengkar? Dasar anak pembawa sial!” Tanpa diduga Dheana mendorong Leora hingga jatuh terjungkal ke lantai.
“Leora!” teriak Sofian kaget bukan main melihat anaknya meringis memegangi keningnya yang berdarah setelah terhempas ke pinggiran meja.
Sontak Dheana panik ketakutan. Tidak menyangka niatnya ingin membalas Leora yang membuat orang tuanya bertengkar dan mamanya kena tampar, justru berakibat sefatal itu.
Elsa langsung bangun menarik anak perempuannya ke belakang punggung. Jangan sampai Dheana juga kena tampar papanya yang kalau sedang emosi benar-benar mengerikan.
“Bangun!” ucapnya hendak membantu Leora berdiri dari lantai, tapi ditolak mentah-mentah oleh Leora.
“Lepas! Tidak usah sok peduli! Mereka kasar juga bukan baru kali ini. Sakitnya belum seberapa dibanding luka yang kalian toreh di hati dan mentalku!” dengusnya menepis tangan papanya, lalu meringis bangun memegangi keningnya yang berdarah.
“Bi! Ambilkan obat!” teriak Sofian menatap Leora dengan raut tidak terbaca.
“Tidak usah! Aku akan visum ke rumah sakit dan menuntut bocah sialan itu! Ada CCTV di sini. Jangan harap bisa lolos kamu!” Leora menyambar tasnya, tapi langkahnya sudah lebih dulu dihadang oleh Faris.
“Apa-apaan kamu asal main tuntut! Hanya karena luka kecil di jidatmu, lalu mau membuat Dhea masuk penjara dan nama keluarga tercoreng! Norak!” ucap Faris tidak memberi kesempatan Leora lewat.
Menyeringai, yang dibilang luka kecil bahkan sudah membuat wajah Leora berluluran darah. Sejujurnya mereka juga takut karena lukanya separah itu, tapi juga tidak mungkin membiarkan Leora menggunakan kesempatan ini untuk membalas mereka.
“Hanya luka kecil. Kamu mau coba?!”
Belum sempat mereka mencerna omongan Leora, tangannya sudah menyambar vas bunga di atas nakas samping sofa, lalu menghantamkan ke jidat Faris.
“Arghhhh …,” Faris meringis kesakitan memegangi jidatnya yang berdenyut nyeti.
“Faris!” seru mamanya melotot panik menghambur ke anaknya.
“Apa-apaan kamu, Leora?!” bentak Sofian menarik tangan anaknya menjauh.
“Masih tanya! Aku sedang membalas mereka!” sahut Leora tanpa takut sedikitpun.
“Kurang ajar! Beraninya kamu melukai anakku!” Elsa kembali menghambur hendak membalas.
Sofian sudah pasang badan di depan anaknya, tapi Faris mencekal lengan mamanya dan menariknya menjauh.
“Bukankah hanya luka kecil? Jangan seperti banci merintih kesakitan. Masih untung lukanya tidak sampai berdarah-darah!” cibir Leora menyeringai ke kakaknya yang mendelik marah.
“Diam, Leora!” bentak Sofian benar-benar pusing menengahi keributan mereka.
Leora duduk dengan muka angkuh. Pembantu rumah mereka membantu membersihkan darah yang masih mengalir dari luka di keningnya. Sementara mereka berdiri berusaha diam supaya Sofian tidak senakin murka.
“Impas, kan? Jadi jangan bikin drama untuk mempermalukan kami semua!” ucap Faris duduk meringis mengompres jidatnya yang bengkak membiru.
“Mulai sekarang aku tidak akan diam kalian injak-injak lagi. Jangan coba-coba membullyku, karena aku akan membalas apapun yang kalian lakukan untuk menyakitiku. Toh, aku bukan seperti kalian yang gila harta. Tidak masalah aku kehilangan semua untuk menukar kebebasanku dari neraka kalian!” tegas Leora setelah lukanya selesai diobati.
“Cih, mau jadi gembel dia!” cibir Dhea sinis.
“Hati-hati dengan mulutmu! Aku bisa saja membongkar skandalmu yang jadi selingkuhan pria beristri, kalau mulutmu masih seperti comberan!” ancam Leora.
“Sefrustasi itu kami dikhianati oleh Gading? Makanya ngaca! Jangan kecentilan cuma karena punya pacar tampan dan mapan. Keluarga kaya seperti mereka mana sudi punya menanti anak haram yang mamanya saja orang tidak jelas!” cemooh Dhea.
“Bisa tidak kalian diam!” bentak Sofian mengurut kepalanya yang pusing.
Jantung Leora berdetak kencang. Tangannya mengepal menatap jalang sialan yang secara tidak sadar sudah membuka kelakuan busuknya sendiri itu.
“Jadi kamu yang sudah lancang memberitahu orang tua Gading, kalau aku adalah anak hasil perselingkuhan papa?!”