Bab 10. Hampir Ketahuan

1911 Words
Seperti yang Leora bilang kemarin, pagi ini akan ada rapat penting di ruang meeting lantai atas. Datang sedikit lebih awal dia lebih dulu belok ke toilet. Entah gara-gara semalam kebanyakan makan seafood atau karena akhir-akhir ini terlalu sibuk jadi suka asal makan, perutnya jadi mulas. Deva baru saja keluar dan melangkah santai menyusuri koridor menuju ruang rapat, ketika telinganya tanpa sengaja mendengar suara yang tak asing. Mengendap dia berdiri di belakang tembok tak jauh dimana Faris tampak mondar-mandir panik dengan ponsel di telinganya. Mata Deva celingukan untuk memastikan tidak ada orang lain yang bisa saja memergokinya menguping disini. “Sialan! Mana aku tahu kalau si tua bangka itu ternyata memegang kartuku. Kemarin aku sempat mengancamnya untuk tidak keterlaluan menghukum Dhea, tapi dia justru balik mengancamku. Papa tahu semua soal kejadian dua tahun lalu itu!” Tubuh Deva seperti tersengat. Kejadian dua tahun lalu? Apa yang Sofian maksud soal kematian Alana? Kalau iya, kenapa dia justru bungkam menutupi semuanya? Anaknya membunuh. Bagaimana bisa tua bangka itu tidur nyenyak, sementara di tempat lain ada seorang ibu yang selama dua tahun ini terus meratapi kematian putri kesayangannya. “Aku juga tidak menyangka papa bisa tahu soal Lana? Dia bahkan mengancam akan melemparku ke penjara kalau masih membangkang. b*****t! Dia kira bisa menggunakan itu untuk merantai leherku supaya terus tunduk?” Gemetar, tangan Deva terkepal erat. Kecurigaannya sama sekali tidak meleset. Sofian tahu Faris jadi orang di balik kematian Alana, tapi pilih menyembunyikan semua demi melindungi anaknya yang b******n itu. “Masalahnya papa sekarang lebih condong ke anak sialannya itu! Semalam saja dia bahkan menampar adikku, gara-gara ketahuan Dhea yang memberitahu orang tua Gading perihal status Leora. Kartu kredit dan perhiasan Dhea dan mama diambil semua. Sialan memang si Leora! Kalau tidak ingat sedarah, sudah aku bikin dia menyusul Alana!” Brak. Saking emosi Deva menghantamkan tinjunya hingga pigura lukisan yang di pajang di dinding dekatnya pun jatuh. “Siapa di situ?!” teriak Faris buru-buru menyudahi sambungan teleponnya dan keluar mencari asal suara. Sementara Deva juga blingsatan kaget. Sebelum sempat dia menemukan cara untuk kabur, seseorang menarik tangannya. “Stttt!!” Dengan muka panik Nalini meletakkan telunjuknya di bibir meminta Deva untuk tidak bersuara. Sumpah demi apa jantung mereka berdegup kencang. Kalau sampai ketahuan, habislah mereka. Suara langkah kaki makin mendekat. Mata Deva dan Nalini yang saling tatap tampak melebar was-was. “Siapa disitu?” Jantung Nalini berdebar menggila melihat dari pantulan kaca, Faris semakin melangkah mendekat ke arah mereka. Tak punya pilihan lain, di detik terakhir sebelum mereka tertangkap basah Nalini mengambil keputusan gila. Deva yang posisinya membelakangi Faris melongo dengan mata terbelaak ketika teman bawelnya itu tiba-tiba berjinjit mendekatkan wajahnya sampai nyaris berciuman. “Gila, kamu!” desis Deva tegang hendak mendorong Nalini menjauh, tapi terhenti oleh suara pria k*****t itu. “Kalian sedang apa?!” bentak Faris begitu mendapati keberadaan Deva dan Nalini di balik tembok seperti sedang berciuman. Pura-pura kaget, Nalini langsung melepaskan tangannya yang bertumpu di bahu Deva, lalu mundur menjauh. Bukan itu yang membuat jantung Deva seperti mencelat keluar, tapi keberadaan Leora yang berdiri tak jauh dari mereka dan menatapnya tajam. “Maaf, Pak Faris, saya cuma bantu meniup mata Deva yang kelilipan!” ucap Nalini gagap. “Kelilipan atau sedang ciuman? Sudah kebelet kalian sampai tidak tahu tempat buat bermesraan! Memalukan!” cecar Faris khas dengan mulut tajamnya. Otak Deva sudah tidak bisa diajak berpikir lagi. Pandangannya terpaku menatap Leora yang kemudian pergi tanpa sepatah katapun. Tapi tunggu! Kenapa keningnya diperban? Apakah ada hubungannya dengan keributan di rumah mereka seperti yang dikatakan Faris di telpon barusan? “Kamu lihat kelakuan bawahanmu, kan? Sama liarnya denganmu!” lontarnya kasar saat Leora melintas di dekat mereka. Nalini yang baru menyadari keberadaan Leora mematung salah tingkah. Dia meringis menatap Deva yang masih bungkam dengan muka kakunya. “Apa hubungannya denganku? Lagi pula bicara soal etika, sepertinya kamu selalu lupa berkaca. Urusi saja adikmu, sebelum rambutnya digunduli karena ketahuan nyolong suami ….” “Leora!” bentak Faris menyela ocehan adiknya sebelum kebablasan membuka aib Dheana di depan mereka. Nalini menarik lengan Deva menghadap ke Faris yang masih berdiri dengan tatapan marahnya. Leora menyeringai, lalu berbalik melanjutkan langkahnya menuju ruang meeting. “Sejak kapan kalian disitu?” tanya Faris kembali mencecar penuh selidik. Gigi Deva mengerat. Mati-matian menahan diri untuk tidak menjotos b******n yang sudah merenggut nyawa kakaknya itu. “Baru saja. Kami mau ke ruang meeting, tapi mata Deva kelilipan,” jelas Nalini. “Dengar obrolanku tadi?” cecarnya curiga sekaligus was-was. “Obrolan apa?” Deva balik bertanya. Matanya menelisik hingga Faris merasa tidak nyaman. “Sudahlah!” tandasnya sebelum kemudian berlalu menyusul adiknya ke ruang meeting. Sepeninggal Faris, Nalini langsung menoleh greget. Untung saja dia datang tepat waktu. Kalau tidak bagaimana nasib Deva. “Sembrono, kamu!” tegurnya. “Tapi, aku sudah dengar langsung dari mulutnya kalau dia memang orang di balik kematian Kak Lana! Bangsatt!” Deva menghantamkan tinjunya ke tembok. Mukanya merah padam menatap punggung Faris yang makin menjauh, lalu menghilang setelah berbelok ke ruang rapat. Nalini celingukan memeriksa apakah ada CCTV di sana. Keberuntungan masih berpihak ke mereka, karena tadi mengintip di balik tembok yang luput dari sorotan CCTV. “Maaf, tadi aku tidak tahu ada Leora. Aku juga spontan melakukan daripada kepergok Faris. Nanti biar aku yang jelaskan ke atasanmu supaya dia tidak salah paham.” Seketika Nalini tampak rikuh ingat kejadian baarusan ketika mereka hampir berciuman. “Tidak usah. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Dia bukan pacarku, kenapa harus khawatir salah paham?!” ucapnya bergegas melangkah pergi dari sana. Rapat sudah hampir dimulai. Dia bisa diganyang atasannya kalau sampai telat masuk ke ruangan. Mengekor di belakang Deva, Nalini masih merasa tidak enak hati. Iya, Leora memang hanya atasan Deva sebelum kejadian kemarin malam. Bagaimana mungkin semua akan sama setelah mereka tidur seranjang. Dia kenal betul Deva. Kalau menganggap Leora sebatas teman tidur satu malam seperti jalang sialan yang biasa merangkak di ranjangnya, Deva tidak akan segusar itu. “Dev …,” panggilnya sebelum mereka sampai pintu ruang rapat. “Apa?” “Nanti setelah rapatnya selesai aku akan menemui Bu Leora sebentar.” “Aku bilang tidak usah!” cegah Deva tanpa sadar meninggikan suaranya. Dia menoleh dan menghela nafas kasar. Pikirannya benar-benar sedang semrawut. Antara emosi ke si b*****t Faris dan tidak tahu kenapa dia was-was saat kepergok Leora sedang bersama Nalini. Takut dia salah paham, terlebih setelah tadi mendapat tatapan menghujam dari mata tajamnya. “Sorry, otakku lagi tidak bisa diajak mikir gara-gara b*****t sialan itu!” ucapnya melunak. “Iya, aku tahu. Aku cuma tidak ingin Bu Leora salah paham. Karena biar bagaimanapun dia atasanmu. Kamu tidak akan bisa fokus kerja jika hubungan dengan atasan tidak baik-baik saja,” sahut Lini. “Ayo, masuk!” Deva tersenyum mengedikkan dagunya ke arah pintu. Tak ada yang aneh ketika mereka masuk, selain tatapan sinis Faris dengan seringai tidak sukanya. Tapi, itu sama sekali tidak digubris oleh Deva yang hanya fokus ke arah Leora. Gundahnya makin menjadi karena Leora tetap tidak menoleh saat dia sudah menempati kursinya, tepat bersebelahan. Sementara Nalini dan atasannya manajer keuangan berada di seberang meja mereka. Masih ada sedikit waktu menunggu pimpinan utama yang belum datang, mereka pun memeriksa lagi materi rapat di atas meja. Sayangnya Deva terlanjur kehilangan konsentrasi. Sesekali dia melirik ke samping. Matanya menyipit menatap awas luka di dahi Leora yang terbalut perban kecil, lalu ganti lempar mata ke arah Faris. Sama, di jidat b*****t itu juga ada luka memar membiru. Apakah keributan di rumah mereka semalam separah itu sampai saling melukai? Tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Deva pun merogoh ponselnya dan bertanya langsung lewat chat. Ini satu-satunya cara mereka bisa mengobrol tanpa harus saling bicara. “Keningmu kenapa?” tulisnya. Tak lama ponsel Leora yang ditaruh di atas meja pun berkedip, namun dia pilih mengabaikannya setelah melihat notif masuk dengan nama Deva. Mendecak kesal, Deva kembali menulis pesannya. “Kamu marah?” “Kenapa chatku cuma kamu diamkan?” “Aku tanya, keningmu kenapa bisa barengan terluka dengan kakakmu? Kalian bertengkar?” “Leora?!” Seabrek chatnya tetap tidak digubris oleh Leora. Bahkan, wanita menyebalkan itu membalik ponselnya supaya tidak terganggu oleh layarnya yang menyala setiap kali ada notif masuk. Tidak bisa! Deva tidak betah dicuekin begini. Saking gregetnya dia hampir mencekal paha Liora di bawah meja, tapi urung karena kehadiran Sofian Wiryamanta yang masuk ke ruang rapat. Menegakkan punggungnya, Deva menatap dingin ke arah Faris dan Sofian. Meski tidak terlibat, tapi nyatanya Sofian ikut menutupi kesalahan anaknya. Tunggu saja, setelah ini dia akan mulai menyiapkan semua untuk menghancurkan mereka tanpa sisa. “Fokus ke rapat! Jangan membuatku malu! Kamu dibayar untuk kerja, bukan untuk melamun atau hal lain!” tegur Leora tanpa repot-repot menoleh. Bukannya marah, Deva malah mengulum senyum mendengar ucapan sengak atasan cantiknya. Paling tidak Leora sudah mau buka mulut, biarpun pedas bukan main. “Iya, Yang!” gumamnya lirih, tapi masih terdengar di telinga Leora. Rapat pun dimulai. Ulasan dari materi yang kemarin dia dan Leora kerjakan bisa dengan lancar Deva sampaikan. Jelas bukan perkara sulit bagi Deva yang sejatinya justru pemilik usaha bisnis yang terbilang sukses. Kalau bukan karena ingin balas dendam, mana mungkin sudi dia harus capek kerja di sana. Kembali ke kursinya, diam-diam Deva menyeringai membayangkan tidak lama lagi perusahaan ini akan morat-marit di tangannya. Satu jam rapat berakhir menyisakan kekesalan Deva pada perempuan di sebelahnya yang masih saja bersikap sinis. Bahkan, Leora langsung pergi begitu saja. “Kenapa masih disitu? Mau cari kesempatan m***m di sini?!” ketus Faris yang berdiri di ambang pintu. Sementara di dalam hanya menyisakan Deva, itupun karena dia memang masih membalas chat dari temannya. “Apa ada orang lain disini yang bisa aku ajak b******u? Oh, jangan-jangan malah kamu yang biasa halu m***m dengan hantu!? Orang kalau kebanyakan dosa memang biasanya begitu!” balas Deva meraih ponsel, berkas dan ipadnya, lalu beranjak mematikan lampu dan menghampiri Faris yang menatapnya nanar. “Kamu lupa sedang berhadapan dengan siapa?!” geram anak sulung Sofian yang juga menduduki posisi wakil direktur itu. “Perusahaan ini bukan cuma punya bapakmu. Jadi wakil direktur bukan berarti kamu bisa membullyku! Bicara soal otak dan skill kerja, aku jelas jauh di atasmu! Hidupmu sendiri amburadul, jadi tidak perlu sibuk mencela orang!” ucap Deva tersenyum miring di hadapan b*****t ini. “Kurang ajar!" Faris menyambar kerah Deva dan menariknya kasar. Tangannya yang satu sudah terkepal hendak menjotos, tapi ditepis oleh Leora yang tiba-tiba muncul lagi di sana. “Lepas! Jangan macam-macam kamu sama patnerku!” “Leora!” bentak Faris. “Satu panggilan teleponku, bisa membuat adikmu menangis darah! Kebetulan Arez nanti mau kesini, kan? Bagaimana kalau sekalian aku panggil istrinya, biar lebih enak ngobrolnya!” tantang Leora dengan tatapan menghujamnya. “Sialan!” umpatnya kasar menghempas kerah kemeja Deva, lalu pergi dengan langkah lebarnya. Leora masih dengan diamnya berbalik hendak enyah dari sana. Dadanya bergemuruh menatap muka tengil Deva yang sedari tadi tidak berhenti mengusiknya. Jerit tertahan Leora tak sempat terdengar karena tangan besar Deva lebih dulu membungkam mulutnya, lalu menariknya masuk ke ruang meeting yang gelap. “Lepas! Jangan gila kamu, Dev!” geramnya meronta begitu bungkaman tangan Deva mengendur. “Tidak sebelum kamu mendengar penjelasanku soal yang tadi itu!” tegas Deva mulai merasa gila hanya karena wangi parfum sama yang sampai sekarang juga masih menempel di bantal ranjangnya. Leora gemetar begitu Deva mendorongnya memepet dinding. Terengah dalam kungkungan badan tegap yang menekan kedua tangannya ke samping atas hingga Leora tidak bisa berkutik. “Kita selesaikan disini atau aku akan menyeretmu ke apartemenku lagi?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD