SMA Cendana

1864 Words
Noah sudah menduga kalau SMA Cendana adalah sekolah elite, tapi ia tak menyangka areanya akan seluas ini. Berdiri di atas lahan seluas 8 hektar, termasuk di dalamnya adalah gedung asrama, gedung sekolah, dan sport section[1]. Seperti namanya, sport section merupakan area yang memang dikhususkan untuk semua kegiatan yang berhubungan dengan olahraga. Sedangkan area asrama terdiri dari enam bangunan berlantai dua. Tiga bangunan asrama laki-laki (Raven, Hawk dan Falcon) dan tiga bangunan asrama perempuan (Lavender, Dandelion dan Clover). Berbeda dengan bangunan yang ada di area sekolah SMA Cendana, arsitektur bangunan asrama cenderung kuno dan bergaya Eropa, dengan dua pilar besar dan pintu masuk utama yang megah, klasik, serta warna cat yang lembut dan terkesan hangat. Sementara arsitektur bangunan sekolah lebih modern, dengan design yang cenderung asimetris dan model bangunan yang bersegi-segi, serta banyak menggunakan pencahayaan natural dengan beberapa sisi dindingnya yang terbuat dari kaca. Saat ini Noah sudah berada tepat di depan pintu sebuah kamar, dengan papan nama yang menempel pada pintu bertuliskan: Raven-27. Ruangan di lantai 2 gedung Asrama Raven yang akan menjadi kamar Noah selama satu tahun ke depan. Noah baru saja mengulurkan tangan untuk membuka pintu, tapi seseorang sudah menguak pintu dari dalam ruangan dan wajahnya berhadapan langsung dengan Noah. Igris Mahesa. “Oh, hai! Kau juga di sini?” sapa Igris ramah. Tubuhnya memang sedikit lebih pendek dari Noah, tapi Noah sama sekali tak berniat menurunkan dagunya sehingga hanya bola matanya saja yang bergerak untuk menatap Igris. “Ngapain kamu di sini?” tanya Noah datar. “Ini kamarku.” “Ha?” Melihat reaksi Noah yang tak percaya, Igris menoleh ke arah papan nama kamar untuk kembali memeriksa apakah ia sudah berada di kamar yang benar. “Iya, ini Raven-27, kamarku,” ujarnya lagi mengkonfirmasi. “Ah! Jangan-jangan, kamu yang akan menjadi roomie-ku?” tebaknya kemudian. Noah menghempas napas sambil menggerutu. Sejak Kejurnas tahun lalu, Noah dan Igris sering menjadi bahan perbincangan para penggemar basket. Disebut-sebut sebagai calon atlet berbakat yang sudah dipastikan memiliki posisi di Tim Nasional, dua anak jenius yang akan mengharumkan nama bangsa. Meski pada akhirnya, setiap perbincangan tentang dua nama itu akan diakhiri dengan perdebatan siapa yang lebih unggul antara satu sama lain. Lalu, siapa yang punya ide gila menyatukan Noah dengan Igris dalam satu ruangan di asrama? Rasanya Noah kesal sekali sampai-sampai ia berpikir untuk membatalkan niatnya tinggal di asrama. Noah menyeret tas travel miliknya dan melangkah masuk ke kamar, ia hanya membawa satu tas berukuran sedang dan juga satu duffel bag. Kamar asrama itu cukup luas, dan alih-alih tempat tidur dua tingkat, sekolah ini menyediakan dua tempat tidur pada masing-masing sisi kamar dengan jendela di tengahnya dan dua meja belajar yang saling bersebelahan di depan jendela tersebut. Tanpa mengatakan apapun kepada Igris, Noah meletakkan kedua tasnya di belakang pintu sebelum kembali meninggalkan ruangan. “Hei, mau kemana?” tanya Igris tepat saat Noah sudah melewati ambang pintu. “Nyari Ketua Asrama,” jawab Noah sambil lalu. “Oh… Ok, kalau kamu butuh bantuan…” Padahal kalimat Igris belum selesai, tapi Noah bahkan tak berniat untuk memperlambat langkahnya. Ia berbelok di koridor tanpa menoleh kembali. Noah bertemu dengan Mbah Marwan, penjaga asrama, dan dia memberitahu Noah bahwa Ketua Asrama Raven adalah seorang siswa tahun kedua yang bernama Ilham. Kamarnya ada di lantai 1, Raven-15, kamar paling ujung. “Ya… Sebentar,” sahut sebuah suara sesaat setelah Noah mengetuk pintu kamar itu. Tak perlu menunggu lama, seorang lelaki berkacamata menguak pintu dan langsung berhadapan dengan Noah. “Ada apa, ya?” tanyanya kemudian. “Kak Ilham?” tanya Noah memastikan. “Iya, benar.” “Begini, Kak. Namaku Noah, siswa baru,” Noah memulai dengan memperkenalkan diri, “aku cuma pengen nanya, apa aku bisa minta pindah kamar?” “Pindah kamar? Kenapa? Kamu ada masalah dengan roommate-mu?” “Iya.” “Lho? Hari pertama masuk asrama, masa langsung ada anak kelas 10 yang berkelahi?” “Bukan berkelahi, aku cuma merasa kurang nyaman dengan teman sekamarku.” “Sebentar, ya. Biar aku check dulu.” Ilham meninggalkan Noah di depan pintu dan kembali masuk ke dalam kamar tanpa mempersilakannya masuk, akibatnya Noah bisa mendengar pembicaraan Ilham dengan seseorang dari dalam. “Kenapa?” tanya seseorang yang sepertinya teman sekamar Ilham. “Anak baru, minta pindah kamar.” Terdengar suara Ilham menjawab seadanya. “Serius? Banyak tingkah amat. Baru juga hari pertama.” Tak ada tanggapan lagi dari Ilham, tapi ia tampak kembali mendatangi Noah sambil mengamati layar tablet-nya yang menampilkan daftar nama-nama penghuni Asrama Raven. “Hm… Noah… Diaz Noah Arakha?” tanyanya untuk mengkonfirmasi. “Iya, saya, Kak.” “Kamarmu Raven-27, bersama Igris Mahesa,” ujarnya sambil mulai mengalihkan pandangannya dari layar tablet. “Igris kelihatannya anak yang baik, dia ramah dan murah senyum. Kalian ada masalah apa?” “Bukan apa-apa… sebenarnya aku cuma…” “Apa dia anaknya berantakan, nggak jaga kebersihan kamar? Atau gimana?” “Nggak, bukan gitu juga sih.” “Jadi? Masalahnya di mana?” “Kami sepertinya kurang cocok.” “Ada apa ini?!” Teman sekamar Ilham akhirnya menampakkan diri. Orang yang tiba-tiba muncul dari belakang si Ketua Asrama itu postur tubuhnya cukup tinggi, lebih tinggi dari Ilham dan hampir menyamai tinggi Noah. “Ini… anak yang minta tukar kamar,” jelas Ilham singkat. “Ha? Padahal aku kira kamu bakal cocok sama roomie-mu. Kalian sama-sama main basket, kan?” kata orang itu lagi, kali ini ia mengarahkan kalimatnya langsung kepada Noah. “Yang punya ide memasangkan mereka jadi satu kamar itu kan kamu, Yuda. Tanggung jawab! Jadi repot nih,” protes Ilham akhirnya. “Ya… mana aku tahu. Aku kira karena sesama siswa undangan dan sama-sama masuk klub basket, nggak akan ada masalah.” Anak kelas 11 bernama Yuda itu menggaruk-garuk kepalanya bingung, sebelum kemudian perhatiannya kembali kepada Noah. “Kamu siswa undangan itu, kan? MVP di Kejurnas basket junior tahun lalu, Noah… apa Norman…” “Noah,” timpal Noah tegas. “Iya, Noah. Igris itu anaknya baik lho, ini kan masih hari pertama, coba aja dulu selama kira-kira sebulan. Kalau memang nggak cocok, kamu boleh ngajuin buat pindah.” Sebenarnya Noah cukup kesal, sejak tadi dua senior itu selalu mengatakan kalau Igris adalah anak yang baik. Apa sudah sehebat itu kesan mereka terhadap Igris? Tapi, apa boleh buat, karena yang ada di hadapan Noah saat ini adalah senior, ia hanya bisa menghempas napas sambil berusaha untuk menerima kenyataan, bahwa ia harus melewati – minimal – satu bulan ini berada dalam satu ruangan dengan Igris. Noah juga tak bisa membatalkan niatnya untuk tinggal di asrama dan kembali ke rumah. Lokasi sekolah ini cukup terpencil, jaraknya ke kota kurang lebih memakan waktu 2 jam jika menggunakan mobil. Lagipula, sebagai siswa undangan, Noah dibebaskan dari segala biaya sekolah, termasuk biaya tinggal di asrama. Jadi, tak ada alasan bagi Noah untuk menolak tinggal di asrama daripada harus menempuh perjalanan berjam-jam setiap harinya untuk pergi ke sekolah. “Baiklah, satu bulan lagi aku akan kembali,” putus Noah akhirnya. “Terima kasih, Kak. Selamat siang,” pamitnya kemudian. . “Nggak jadi pindah kamar?” tanya Igris saat Noah kembali muncul di pintu kamar itu. “Disuruh nunggu satu bulan dulu,” sahut Noah sambil mulai mengangkat kedua tasnya ke atas tempat tidur dan membukanya untuk beres-beres. “Kenapa harus pindah? Kan lebih asyik kalau kita jadi roomie. Padahal kita baru ketemu lagi setelah Kejurnas, tapi kok kayaknya kamu nggak senang gitu? Memangnya aku ada salah apa?” tanya Igris dengan tampang memelas. “Kalau ditanya gitu, aku harus jawab apa, s****n!” gerutu Noah dalam hati. Ia merasa akan sangat konyol jika harus mengatakan bahwa sebenarnya dia masih kesal karena kalah di final Kejurnas waktu itu, dengan cara yang ia anggap cukup memalukan. “Kamu nggak jadi berhenti main basket, kan?” Pertanyaan Igris yang spontan itu membuat detak jantung Noah melewatkan satu ketukan. Ia langsung menoleh kepada Igris dan mengabaikan pakaian yang sejak tadi ia keluarkan dari dalam tas satu per satu. “Maksudmu?” Noah meminta Igris memperjelas pertanyaannya. “Aku nggak maksud nguping sih, cuma pas aku ke toilet setelah pertandingan final hari itu, nggak sengaja aku dengar kamu ngobrol sama seseorang di telepon. Aku dengar kamu bilang mau berhenti main basket.” Noah tak langsung menanggapi perkataan Igris. Entah kenapa, apapun yang dikatakan oleh orang di hadapannya itu, selalu saja membuatnya kesal. Tapi kali ini Noah berusaha untuk mengendalikan diri dan tak terlalu memperlihatkan rasa kesalnya. Itu sebabnya ia hanya balas diam sambil kembali melanjutkan beres-beres barangnya. “Ah… rasanya kayak aku baru aja diteriakin: ‘Gak usah ikut campur urusan orang!’” gumam Igris sambil nyengir sendiri. Untunglah dia segera sadar kalau Noah tak ingin membahas mengenai hal itu. Tapi suasana hening di ruangan itu hanya bertahan beberapa saat, Igris segera menemukan kembali bahan obrolan baru. “Eh, kamu udah lihat-lihat sport section sekolah ini belum?” Ia kembali membuka percakapan. “Luar biasa, luas banget. Gedung sekolahnya juga keren, design bangunannya futuristik, bersih dan rapi. Ada banyak spot-spot outdoor buat duduk-duduk selonjoran di area sekolah, banyak taman-taman terbuka. Gedung perpustakaan juga gede banget – walaupun sebenarnya nggak penting juga sih, soalnya aku jarang ke perpustakaan – dan kantinnya pakai sistem dining card[2]. Para siswa Kelas S dapat saldo bulanan dari sekolah, jadi kita bisa makan gratis di kantin.” Dari seluruh kata yang dilontarkan Igris tanpa jeda itu, Noah hanya menangkap kata “Kelas S” yang keluar dari mulutnya. “Kamu juga masuk Kelas S?” tanya Noah akhirnya. “Iya. Kalau nggak dapat undangan, mana mungkin aku bisa masuk sekolah elite kayak gini.” “Jadi kamu juga masuk tim basket?” tanya Noah lagi. “Jelas dong, untuk apa aku ada di sini kalau bukan karena basket?” “Aku nggak mau satu tim denganmu.” “Ha?” Noah berbalik hingga akhirnya ia bisa saling berhadapan dengan Igris. Kali ini ia bicara sambil langsung menatap wajah lelaki itu. “Aku nggak mau satu tim denganmu. Kamu cari olahraga lain aja.” Wajah Igris berubah kaku, bahkan senyum yang berusaha ia bentuk juga seolah beku. “Mana bisa begitu. Aku cuma bisa main basket, masa’ aku harus pindah ke klub olahraga lain cuma gara-gara kamu ngambek dan nggak mau satu tim denganku.” “Aku ngambek?” “Iya… kamu masih marah karena kalah di final kejuaraan tahun lalu, kan?” “Aku marah karena kalah?!” Intonasi suara Noah mulai terdengar berat dan ia sudah selangkah lebih dekat di hadapan Igris, membuat suasana semakin intens. ___ ___ ___ ___ ___ [1] Sport Section berada di bagian belakang sekolah SMA Cendana, dengan lapangan sepak bola yang dikelilingi lintasan lari, tiga buah GOR masing-masing untuk klub renang (akuatik), klub basket dan klub gymnastic (termasuk fitness center). Sementara lapangan outdoor lainnya juga disediakan untuk tenis dan voli. Selain itu juga ada sebuah gedung aula serba guna yang saat ini lebih sering digunakan secara bergantian oleh klub badminton dan futsal. [2] Kartu Pelajar SMA Cendana juga bisa dijadikan sebagai Dining Card di kantin. Setiap satu kali penggunaan, saldo pada Dining Card akan berkurang Rp 60.000 dan untuk biaya sebesar itu siswa sudah berhak mendapatkan paket “all you can eat”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD