Diaz Noah Arakha (2)

1614 Words
Pukul 14.00 WIB, Noah sudah berdiri di dekat gerbang sekolah Lisa. Ia menyandar di tembok pagar sambil mengutak-atik handphone-nya. Bel pulang sekolah sudah berdering, harusnya tak berapa lama lagi Lisa sudah muncul di gerbang itu. Tapi ternyata Noah harus menunggu selama 15 menit lagi sebelum akhirnya ia menangkap sosok Lisa bersama beberapa orang temannya yang baru saja meninggalkan lobby depan gedung sekolah. Saat Lisa menyadari bahwa Noah sudah menunggunya di luar gerbang, Lisa berlari kecil meninggalkan kelompok teman-temannya. “Noah…” serunya girang sambil merentangkan tangan siap melompat memeluk Noah. Tapi yang menyambut Lisa adalah telapak tangan Noah yang mendarat cukup keras di jidat Lisa. “Aaw…! Apa sih?!” pekiknya jengkel. “Nggak usah sok sinetron,” cetus Noah, “aku nungguin sampai kering nih.” “Hehe… ya maaf.” Lisa nyengir tanpa rasa bersalah sambil lalu berbalik dan melambaikan tangannya ke arah sekelompok orang yang baru saja ia tinggalkan tadi. “Sini cepat!” panggilnya penuh semangat. Lisa kemudian menoleh kembali kepada Noah untuk menjelaskan tentang sekelompok anak SMP yang tampak sedang berlari kecil menghampiri mereka. “Dua orang anak perempuan itu Irma dan Resti, mereka temanku di tim voli. Tiga anak laki-laki itu dari tim basket sekolah kami, aku cuma kenal dengan Ilham karena kami sekelas, tapi sepertinya dia mengajak dua orang temannya.” “Whoaaa… tinggi banget.” Salah seorang dari kelima anak-anak itu meletakkan tangan di depan keningnya seolah ia sedang menatap pucuk pohon tinggi. Tanpa basa-basi mereka langsung berkomentar sesuka hati saat sudah berada di hadapan Noah. “Padahal cuma beda setahun loh sama kita,” sahut salah seorang anak cewek berambut pixie. “Kak Noah ternyata aslinya lebih ganteng,” tambah teman ceweknya yang satu lagi. “Halo, Kak. Aku Irma, aku sudah lama ngefans banget sama Kakak.” “Aku! Aku! Aku Resti, aku yang lebih dulu ngefans sama Kakak. Irma ini cuma ikut-ikutan aja.” “Apa sih?! Nggak usah caper deh.” “Yee… makanya jangan ngaku-ngaku.” Alis Noah berkerut bingung menatap dua teman cewek Lisa yang mulai berdebat soal siapa yang lebih dulu ngefans dan siapa yang karbitan. Lisa melipat tangan di depan d-a-d-a sambil mengangkat dagu dengan bangga. “Kubilang juga apa, Noah itu tetanggaku. Padahal aku sudah menunjukkan foto-foto pribadinya sama kalian, masih juga nggak percaya.” “Woi,” sentak Noah tanpa perlu berteriak, “foto apa, hah?” Lisa mulai melipat jari tangannya satu persatu. “Fotomu waktu lagi nyiram tanaman, fotomu waktu lagi main basket di lapangan komplek, fotomu waktu lagi tidur, waktu lagi berenang, banyak deh pokoknya." Rahang Noah seolah akan menyentuh tanah saking lebarnya dia menganga. “Ngapain kamu nyebar-nyebarin foto pribadi aku?!” “Awalnya kan aku bilang kalau aku punya tetangga yang ganteng dan gagah banget, terus jago main basket lagi. Mereka minta bukti foto, ya aku kasih aja foto-fotomu yang kusimpan di-hp. Terus dari situ mereka jadi kepo, pengen kenal, jadi beberapa kali mereka aku ajak nonton pertandinganmu. Akhirnya ngefans deh sampai sekarang.” Noah baru saja akan memiting leher Lisa lagi, tapi ia mengurungkan niatnya saat perhatiannya teralihkan pada ketiga teman cowok Lisa yang tampak masih agak malu-malu untuk menyapa. Sejak tadi mereka hanya saling berbisik-bisik dan saling menyikut dengan wajah salah tingkah, hingga akhirnya salah seorang dari mereka tiba-tiba memberanikan diri untuk memulai obrolan. “Kak Noah, kami anggota tim basket juga. Tapi tim sekolah kami bukan tim yang kuat,” kata salah seorang yang tampak paling bernyali di antara dua orang lainnya. “I-iya Kak, kami selalu kalah di babak penyisihan daerah,” tambah yang seorang lagi. “Saking lemahnya, tim sekolah kami bahkan belum pernah berjumpa dengan tim sekolah Kakak. Pokoknya levelnya beda banget deh, Kak.” Anak yang ketiga akhirnya ikut membuka suara. “Oh, hai, aku Noah.” Dengan canggung Noah memutuskan untuk memperkenalkan dirinya lebih dulu karena sepertinya anak-anak cowok itu lupa menyebutkan nama mereka. “Oh iya, lupa, nama saya Fadil, Kak.” “Saya Ilham.” “Saya Randi.” Akhirnya mereka mulai tampak lebih rileks dari beberapa saat yang lalu. Noah juga jadi bisa mengobrol dengan lebih santai. “Kalian juga nonton pertandinganku?” tanyanya. “Kami selalu nonton pertandingan Kakak!” Anak-anak itu serentak menjawab pertanyaan Noah. “Eh, tapi tahun lalu kita nggak bisa nonton langsung ya.” “Iya kan cuma tahun ini kota kita jadi tuan rumah Kejurnas (Kejuaraan Nasional) Basket Junior.” “Tapi kami nggak pernah melewatkan setiap kali SMP Pelita bertanding.” “Betul, Kak. Aku bahkan menonton langsung pertandingan debut Kakak waktu aku masih kelas 6 SD. Waktu itu aku diajak sama Kakekku…” “Tapi Kak Noah ini, dari kelas 7 saja sudah terkenal banget loh. Semua orang kaget waktu pertama kali lihat kakak main.” “Waktu itu Kakak dijuluki Super Rookie!” “Iya, iya aku ingat banget.” “Ingat apanya? Kamu kan baru ikut-ikutan basket tahun lalu.” Kelima anak SMP yang antusias itu bergantian bicara di hadapan Noah yang dibuat bingung mau menanggapi apa. Ia tahu, saat pertama kali masuk di tim inti SMP Pelita sebagai satu-satunya anak kelas 7 waktu itu, Noah cukup menyita perhatian. Dia masih sangat baru tapi sudah menyingkirkan kakak kelasnya untuk menempati posisi Shooting Guard[1] di tim inti. Dan penampilannya di lapangan juga cukup menghebohkan karena bakatnya yang memang sangat menonjol. Semakin banyak mendapat pujian, Noah semakin bersemangat untuk menunjukkan kemampuannya. Dia selalu datang paling awal dan pulang paling akhir di setiap latihan klub basket SMP Pelita. Akibatnya, tinggi badan Noah bertambah pesat dan kemampuan bermain basketnya meningkat. Dia cepat dan nyaris tak bisa dihentikan, tembakannya juga semakin jarang meleset, baik dari luar maupun dari dalam, ia bisa mencetak angka dari mana saja. Noah pun sering masuk ke lapangan basket universitas milik ayahnya hanya untuk mencari lawan yang lebih kuat. Ia menikmati setiap kemenangannya dan juga tatapan kagum orang-orang yang memandangnya. “Hei! Kenapa kalian malah berdebat,” sela Lisa tiba-tiba dan membuyarkan lamunan Noah. “Kami nggak punya banyak waktu. Yang mau foto, langsung saja, cepat.” “Aku foto berdua dong,” pinta Resti manja. “Hell no! Semuanya sekalian saja foto bareng,” tukas Lisa. “Kurasa aku akan keluar dari voli dan beralih ke basket,” timpal Irma. “Kau sudah gila, ya. Pertandingan kita bulan depan, masih bisa bercanda seperti itu.” “Kak, ajarkan kami main basket dong.” “Iya, lapangan basket lagi kosong tuh.” Mereka kembali bicara dengan semangat menggebu-gebu sambil saling menimpali, sepertinya mereka bahkan tidak begitu peduli dengan jawaban Noah. Anak-anak itu hanya ingin bicara tanpa mau mendengar. Rasanya Noah mau meledak karena kewalahan menghadapi mereka. Noah melirik jam tangannya sebelum akhirnya kembali bersuara. “Sebenarnya aku ada janji, tapi mungkin kita bisa main sebentar.” Meski tidak menaikkan nada suaranya, tapi Noah tetap berhasil menyita perhatian keenam anak SMP yang tadi asyik berdebat dan berbicara satu sama lain; mengira Noah akan tertarik dan memperhatikan setiap pembicaraan mereka. “Mau ke kampus lagi?” Lisa yang sebenarnya sudah tahu rutinitas Noah, bertanya untuk memastikan. “Iya, mereka sedang mengadakan pertandingan 3 on 3, dan salah satu tim mengajakku jadi pemain keempat.” “Kalau begitu sekalian saja kami ikut nonton.” “Nggak bisa, ini pertandingan tertutup, bukan pertandingan resmi.” “Maksudnya tertutup?” Noah berpikir sejenak, apakah dia akan menjelaskan kepada Lisa soal liga street basketball yang biasanya diadakan dengan jadwal acak dan hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Noah tak begitu paham detailnya, tapi sepertinya liga yang ia ikuti ini melibatkan taruhan uang dan orang-orang bertampang seram. Awalnya anak kuliahan yang biasanya menjadi teman main basket Noah di kampus, tak mau membuka mulut soal liga itu. Tapi mungkin mereka cukup terdesak ketika meminta Noah untuk jadi pemain keempat dan melarangnya memberi tahu atau mengajak siapapun. “Kamu nggak perlu tahu,” tandas Noah sambil lalu beralih ke teman-teman Lisa, “Ayo tunjukkan lapangan basket kalian, biar aku ajarkan beberapa trik.” “Serius, Kak?” Mata anak yang bernama Randi berbinar penuh antisipasi. Ia pun langsung mengarahkan Noah untuk mengikutinya ke lapangan basket outdoor sekolah, diikuti oleh teman-teman lainnya, termasuk Lisa. “Kak, ajarin tembakan satu tangan yang di atas kepala itu dong.” Fadil kembali memulai obrolan tak berujungnya, di tengah perjalanan mereka menuju lapangan basket. “Hook?” tebak Noah. “Woah… namanya hook?” “Keren banget loh, nggak ada yang bisa nge-blok.” “Nanti aku ajarin beberapa cara menembak yang juga bisa menghindari blok.” “Yes! Kak Noah memang yang terbaik.” “Kak, kok bisa jago banget sih? Latihan di mana?” “Latihan sendiri.” “Bohong!” protes ketiga anak itu bersamaan. “Kak, kasih saran dong. Tim kami nggak ada yang bisa drive[2], kalau maksa pasti kena charging foul[3],” celetuk Fadil lagi. “Ya… banyak-banyak latihan shoot dari luar aja kalau gitu.” “Kami punya penembak 3 poin, tapi sering gagal.” “Ganti. Cari yang lebih jago.” “Kasihan dong, Kak.” “Mau menang nggak?” Noah membalas setiap pertanyaan mereka dengan cuek dan tanpa ampun, sambil merendengi langkah ketiga anak tim basket SMP itu menuju ke arah lapangan basket di balik gedung aula. Sementara Lisa sibuk menjelaskan kepada Irma dan Resti tentang istilah-istilah basket yang disebutkan sekelompok anak cowok di hadapan mereka. ___ ___ ___ ___ ___ [1] Shooting Guard: Disebut juga posisi 2 dalam olahraga basket, Posisi ini biasanya ditempati oleh penembak yang baik dari berbagai posisi. [2] Drive: Penetrasi, ketika pemain menggiring bola dan “menusuk” masuk ke dalam area pertahanan lawan. [3] Charging Foul: Pelanggaran yang diberikan kepada tim yang sedang menyerang, biasanya karena menabrak pemain tim yang sedang bertahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD