Muslim menyadari dia tak bisa menarik kata-katanya kembali. Habislah sudah, pikirnya. ketika melihat rentetan mata para murid di kelas yang menatap dirinya dengan tatapan geram nan kesal. Sementara Cynthia, murid cewek yang disinggung oleh Muslim, yang ternyata adalah sang Grade C, hanya memandang nanar ke arah pria yang sudah lancang mengusik status kepopulerannya. Tangan putihnya yang mulus dan halus masih begitu kuat mencengkram kerah seragam sekolah Muslim.
Wajah Cynthia sedikit mendekat ke arah Muslim, menyiratkan tatapan ketidaksukaan yang besar terhadapnya. "Aku nggak mau menghabiskan energiku hanya untuk mengurus pria sok idealis sepertimu." Cengkraman tangan Cynthia semakin kuat meremas kerah baju Muslim.
Muslim terjinjit mengangkat kakinya karena remasan tangan Cynthia di bajunya. Astaga, Grade C ini kuat juga walaupun wanita. Muslim tak menyangka Cynthia punya tenaga layaknya seorang pria, padahal dilihat dari tampilannya dia hanyalah gadis mungil dengan postur tubuh proporsional layaknya remaja wanita rata-rata. Kupikir yang kuat dan atletis itu adalah Grade A.
"Kamu bisa bicara seenaknya, karena kamu tidak tahu sistem seperti apa yang bekerja di sekolah ini." Kata Cynthia tepat di depan wajah Muslim. Saking dekatnya jarak antara mereka berdua, Muslim bahkan dapat merasakan hembusan napas dan aroma mulut Cynthia.
Aku tidak tahu dia akan searogan ini. Pantas saja .... pikir Muslim sembari memperhatikan Cynthia. Huh, sekolah dan hari-hari ke depan, akan menjadi perjalanan yang berat.
"Lihatlah, apa yang akan terjadi padamu selanjutnya." Cynthia sedikit menyeringai. "Akan kubiarkan murid-murid fanatik ini melumatmu sampai habis." Bisiknya pada Muslim. "Sudah kubilang aku nggak akan buang-buang energiku hanya untuk pria agamis sepertimu. Biar mereka saja yang urus." Cynthia melepaskan cengkraman tangannya dan menghempaskan Muslim. Muslim terduduk di lantai kelas karena dorongan kuat Cynthia. Sikap Cynthia terlihat cukup kasar dilihat dari sudut pandang seorang pria.
"Ternyata dia memang Dao Ming Tse-nya, Gu Jun Pyo-nya atau Doumyoji Tsukasa-nya disini." Gumam Muslim sembari membersihkan celananya.
"Kau bilang apa?" tanya Cynthia ketus.
"Tidak, aku tidak bilang apa-apa."
Sehabis menyapu bagian belakang celananya yang kotor karena terjatuh, Muslim mendongak dan mendapati ia sudah dikepung oleh sekelompok murid marah yang harusnya menjadi teman sekelasnya mulai hari ini hingga beberapa waktu ke depan. Namun kali ini, mereka semua adalah para Barbarian yang siap mengeksekusi Muslim.
"Baiklah teman-teman. Aku cukup memaklumi bagaimana murid baru yang satu ini berlaku tidak sopan pada kalian." Kata Cynthia. "Entah bagaimana ia bisa begitu tega, menganggap kasih sayang dan kepedulian kalian semua kepadaku, sebagai p********n. Dia tidak memahami perasaan kalian semua, jadi ... terserah kalian saja, mau kalian apakan orang ini. Aku tidak akan mengurus permasalahan remeh seperti ini."
"Tenang saja, Cynthia. Biar kami yang urus murid baru tak sopan ini." Ucap seorang murid pria sembari membunyikan jari jemarinya. "Dia harus diajari tata krama dan hukum di sekolah ini."
"Grade C benar. Dia tidak hanya telah melecehkan gadis Grade kesayangan kita, tetapi murid baru ini juga menginjak-nginjak hukum sakral di kelas ini bahkan di seluruh sekolah ini." Sahut seorang murid cewek lagi. "Dia telah melecehkan rasa ketulusan kita pada Cynthia."
"Guys, aku hendak mengunjungi teman-temanku dulu di kantin, lalu setelah itu juga harus menemui Pak Yos untuk mempersiapkan ajang peningkatan nilai semester dan program berkala yang akan datang selaku konsultan. Aku tidak ada waktu untuk semua ini, jadi kalian semua urus saja murid ini ya." Kata Cynthia seraya beranjak keluar kelas sambil tersenyum jahat menatap Muslim. Ia mengangkat sebelah alisnya sebagai ejekan.
Simpul senyum itu seakan berkata padanya, "Habislah kau!"
Oleh para murid 11E, Muslim diminta duduk ke bangkunya dengan bentakan. Muslim kemudian diikat dengan seutas tali tambang. "Wait, wait, wait." Stop Muslim. "Teman-teman, kalian serius...? Aku mau kalian apakan?"
"Diam saja, murid baru!"
"Tentu saja kau akan kami hukum. Sudah selayaknya kau dihukum atas kelancanganmu tadi."
"Hukuman...?" tanya Muslim. "Tunggu, teman-teman. Kalian ... tidak akan benar-benar menghukumku secara fisik, 'kan? Kukuku tidak akan dilepas, lalu ditaburi garam seperti hukuman di zaman penjajahan Jepang bukan?" Kelakar Muslim mengernyitkan dahi.
"Konyol! Tentu saja tidak." Sahut Tony, sang ketua kelas. "Kami mengikatmu agar dirimu sadar, seberapa besar kesalahan yang telah kau lakukan. Yah, supaya kau tidak lari tentu saja, kalau-kalau kau berusaha lari dari kami."
Astaga, Ya Allah, ada-ada saja keanehan yang terjadi di hari pertamaku bersekolah disini.
Hukuman seperti apa yang akan kuterima? Muslim tak habis pikir dengan mindset dan cara berpikir anak sekolah zaman sekarang. Semua ini benar-benar konyol serta tak masuk akal baginya. Pemujaan dan ashobiyah macam apa yang telah mencuci otak anak-anak SMA disini? Wahai Abah Guru, tugas ini sudah terasa berat. Fanatisme tidak sehat ini membuatku nampak seperti seorang nabi yang diutus kepada mereka, lalu mendapatkan pertentangan darinya. Tapi aku harus berusaha mengikuti cara berpikir mereka, pikir Muslim.
Muslim sadar bahwa dirinya tadi sudah salah bicara dan melakukan satu kesalahan besar menurut para murid di kelasnya. Demi bisa berbaur dan bertahan di sekolah ini, terutama di kelas 11E tentu saja, maka mau tidak mau Muslim harus mengikuti cara berpikir dan permainan para murid disini. Apapun yang akan mereka lakukan terhadapnya, Muslim siap menjalaninya.
"Teman-teman, aku mengaku salah." Kata Muslim melakukan pembelaan berupa permintaan maaf. "Aku sadar telah keliru, karena sudah melukai hati kalian semua. Dan yang paling fatal ... adalah melukai hati Cynthia, Grade C kebanggaan kita semua."
Muslim sudah mulai masuk dalam gelombang kefanatikan ala sekolah barunya, walau tentu saja itu hanya akting Muslim semata. Daripada kehidupan sekolahnya akan menjadi bertambah buruk, Muslim memutuskan akan masuk ke dalam perannya, yakni seorang murid yang mengidap fanatisme buta. Layaknya murid-murid disana.
"Akhirnya kau sadar, kalau kau sudah berbuat salah." Kata salah seorang murid pria.
"Tentu, dengan penuh kesadaran jiwa dan ragaku, aku mengaku bersalah. Tidak seharusnya tadi aku berkata seperti itu kepada Grade C tercinta kita, iya kan? Aku bahkan juga mengidolakan Grade C sama seperti kalian." Muslim mulai memutar lidah berucap manis. Akting konyol Muslim pantas diganjar sebuah piala Oscar.
"Hei ketua kelas. Kau bahkan tadi sudah menulis namaku sebagai salah satu murid yang masuk dalam faksi pecinta Grade C kan? Jadi mana mungkin aku akan melukai idolaku sendiri. Kesalahanku hari ini adalah yang pertama dan terakhir, aku janji." Muslim menggerak-gerakan tangannya yang sedang terikat di belakang. Para murid itu menengok ke arah tangan Muslim dan mendapati simbol V dari telunjuk dan jari tengah Muslim, tanda ia sedang berjanji.
"Ayolah, kalian percaya kan? Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ini janjiku."
"Hmm, bagus kau menyadari kekeliruanmu anak baru." Kata ketua kelas. "Tapi hukuman tetaplah hukuman. Kami mungkin bisa memaklumi kesalahanmu kali ini, akan tetapi proses hukum harus tetap berjalan. Ini sudah termaktub dalam hukum kanon kelas kita."
Mereka punya kitab hukum kanon? Yang benar saja! Muslim lagi-lagi mengernyitkan dahinya.
"Hukuman harus tetap dilanjutkan, biar ada efek jera." Timpal seorang murid.
"Hukum Muslim! Hukum Muslim! Hukum Muslim!" Teriak para murid serentak.
Pembelaan dan permintaan maaf buaya Muslim nyatanya tak berguna. Para murid itu masih menetapkan Muslim sebagai tersangka yang harus tetap diproses secara hukum. Muslim tak tahu menahu hukuman seperti apa yang sedang menantinya.
"Jadi, hukuman seperti apa yang akan aku terima?" tanya Muslim iseng.
"Hukuman yang paling menyakitkan, paling menakutkan, yang pernah kau tahu." Jawab seorang murid pria sambil mengangguk, mencoba membuat Muslim takut.
"Hukuman macam apa itu?" Jawaban murid tersebut sukses membuat Muslim bergidik, seraya menanti hukuman jenis apa yang akan didakwakan kepadanya. Nasibku ngenes amat, baru sehari sekolah disini, sekarang sudah mau hampir dieksekusi, pikir Muslim.
"Semuanya, mari kita rembukan. Hukuman macam apa yang cocok untuk anak baru ini?" tanya Tony, sang ketua kelas 11E. Mereka mulai membincangkan hukuman untuk Muslim.
"Pemuda ini baru satu hari masuk, tapi dia sudah cari gara-gara. Bagaimana kalau nanti dia membuat masalah lainnya? Yang aku takutkan dia mungkin bisa merugikan kelas kita dan Grade C dikemudian hari. Bayangin aja, bagaimana seandainya tadi ada murid dari faksi gadis Grade lain yang kebetulan mendengar sikap orang ini? Pasti pamor Grade C akan turun ketimbang gadis Grade yang lain. Murid di kelas lain akan berpikir Grade C sudah tidak dihormati lagi bahkan di kelasnya sendiri."
"Benar juga ya," sahut seorang siswi. "Mereka semua akan berpikir bahwa Grade C memiliki pembenci di kelasnya sendiri. Grade C sudah tidak istimewa lagi. Ngeri sekali! Hal ini akan mengancam kepopuleran dan strata Grade C kebanggan kita di sekolah ini."
"Kalau begitu, kita akan memberikan hukuman yang seperti apa?" tanya Tony sang ketua kelas. "Dia sudah berjanji tidak akan mengulangi sikap seperti itu lagi." Tony menoleh menatap Muslim.
Muslim mengangguk mengiyakan. Tanda bahwa ia tobat, tidak akan bersikap seperti tadi.
"Bagaimana kalau kita minta murid baru ini untuk keliling lapangan sekolah dengan hanya menggunakan kaos daleman aja?" usul wakil ketua kelas mereka.
"Hmm, itu boleh juga sih." Pikir Tony, "tapi kita tidak bisa melakukan itu. Aturan sekolah kita melarang penghukuman terhadap murid tanpa melibatkan keputusan anak-anak OSIS dan dewan, juga tanpa mandat kebijakan penghukuman dari mereka. Ini bukan masalah yang terkait dengan sekolah, ini hanya masalah internal kelas kita saja. Akan sulit jika kita melakukannya. Anak-anak OSIS akan marah karena menganggap kita telah melangkahi wewenang mereka."
"Lalu bagaimana kita akan menghukum murid baru ini? Pikirin ton, elu kan ketua kelas."
"Ethan, kemari lah." Tony nampak memanggil seorang siswa. "Kita serahkan pada ahlinya. Pakar hukum yang telah merumuskan hukum kanon kelas tercinta kita. Biar dia yang akan menetapkan hukuman yang pantas diterima Muslim." Tegas Tony.
Apa? Kelas ini punya seorang pakar hukum...? Muslim bertanya-tanya.
Seorang pemuda berkacamata dengan gaya rambut belah tengah pun muncul diantara kerumunan murid 11E yang mengelilingi Muslim. Dengan kepala yang ditegakkan, jari tengah tangan kanannya menyentuh tengah gagang dari kacamatanya dengan sangat percaya diri.
"Terima kasih sudah mempercayakan ini padaku. Ahli hukum yang akan bersekolah di Yale University nantinya. Perumus hukum kanon kelas 11E, Ethan Lewis." Siswa berpenampilan kutu buku itu memperkenalkan diri sembari memegang sebuah buku bertuliskan 'Pedoman Hukum Kanon Kelas 11E' di sampulnya.
Murid bernama Ethan itu menepuk pundak Muslim. "Aku akan mengadilimu secara adil dan berimbang, tenang saja. Memutuskan perkara hukum adalah keahlianku. Aku sudah khatam 71 buku yang terkait dengan hukum baik perdata maupun pidana. Menjadi pengacara adalah cita-cita dan goal karirku, namun menjadi jaksa agung di MK adalah impian terbesarku."
"Aamiiiin," sahut Muslim.
"Terima kasih," ucap Ethan. "Namun selaku calon jaksa yang berintegritas, aku tidak akan luluh dengan sogokan kata amin darimu itu."
"O—okeee," gumam Muslim. Padahal dirinya hanya mencoba mengaminkan sebuah doa saja.
"Aku telah mengulas lebih dari 100 tinjauan hukum di kejaksaan lokal," lanjut Ethan. "Dan terlatih membaca ulasan kelas internasional seperti tinjauan hukum Columbia yang didirikan oleh Joseph E Corrigan pada tahun 1901. Rencananya aku juga akan mengkaji dan mempelajari semua studi kasus dan essai-essai hukum akademik pada tinjauan hukum Harvard."
"Masha Allah," gumam Muslim terperangah. Seberapa berbakatnya anak ini di bidang hukum? Kelas 11E ternyata memiliki cikal bakal pakar hukum dan ketata-negaraan.
"Hmm, setelah menimbang dan meninjau tindakan ketidaksopanan yang dilakukan terdakwa, sesuai dengan penurunan kualitas kasasi hukum pidana baku, dalam kasus yang bisa dikategorikan pemaksaan tindakan sebab memenuhi syarat perbuatan tidak menyenangkan yang telah ditulis dalam KUHP Pasal 335 ayat 1 butir pertama, maka kurasa murid baru ini harus dihukum dengan cara mengurungnya di ruangan seram dan bau, bilik tujuh! Sekian dan terima kasih." Ethan menjatuhi vonis dan menyudahi dakwaannya.
"Bilik 7...? Kau bercanda!?" seorang siswi nampak tak percaya dengan vonis Ethan.
"Itu hukuman yang layak!" celetuk seorang siswa lainnya. "Dikurung dalam bilik seram dan bau itu terdengar cukup setimpal untuk sebuah hukuman. Ini pasti menyenangkan."
Seorang murid nampak tertawa jahil. "Bagus, bagus, aku setuju. Ini bentuk hukuman yang siapapun tidak akan mau mengalaminya. Bilik 7, kau pasti akan sangat jera setelah ini karena telah lancang mencoba menggurui perilaku kami-kami disini." Katanya sambil menatap Muslim.
"Bilik 7 ya? Aku saja tidak akan mau memasukinya." Timpal Tony, si ketua kelas dengan gaya rambut changcut layaknya detektif hewan Ace Ventura. "Itu terserah kalian saja."
Muslim menenggak air liurnya sendiri. Mendengar betapa senangnya para murid itu ketika ia dijatuhi hukuman kurungan di sebuah ruangan yang mereka sebut bilik 7, Muslim bertanya-tanya ruangan seperti apa Bilik 7 itu?