Ranjang empuk luas berseprei putih bersih menyambut Tibra, dan lelaki itu segera melompat ke atas ranjang. Punggungnya terasa sangat nyaman disangga kasur empuk berlapis seprei halus dan bersih, setelah lima tahun belakangan ini tidur beralaskan lantai dingin yang keras, jika sedang beruntung, dilapisi tikar tipis yang kadang bertungau.
Matanya terpejam, mengingat kembali lima tahun yang terasa melelahkan di penjara. Dia tidak pernah menyesali masa itu. Semua yang terjadi adalah resiko dari tindakannya yang terbawa perasaan emosional saat melakukan tugasnya mengeliminasi Tigra.
Sampai sekarang, ia tidak pernah tahu mengapa Tigra membuat dirinya merasa begitu sentimentil, sampai mengacaukan eksekusi yang berujung pada masuknya ia ke penjara. Tigra yang hanya ditemuinya sekali dan bercakap dengannya mendadak membuatnya merasakan sebuah perasaan asing yang membuatnya melakukan hal yang tidak biasa ia lakukan.
Alam mimpi sudah hendak menyambut Tibra saat ketukan di pintu terdengar. Dia masih mengabaikan suara ketukan itu, menyangka room service atau semacamnya, tetapi ketukan di pintu tidak juga berhenti, justru semakin keras terdengar.
Tibra duduk di ranjang dengan raut wajah kesal, istirahatnya terganggu karena seseorang--entah siapa mengetuk pintu kamarnya. Ia mengintip dari lubang pintu, empat orang berbadan tegap, berpakaian serba hitam, yang Tibra kenali sebagai pakaian para pengawal pengusaha besar, berada di depan pintu.
Tibra segera waspada, bukan tidak mungkin kedatangan mereka untuk mencelakakannya. Jika kata-kata Sultan benar, Hazel bisa saja menginginkan ia dilenyapkan, karena ia adalah saksi kunci kematian Harris, juga Tigra.
"Siapa?" tanya Tibra waspada.
"Tibra, Bapak Hazel ingin bertemu." Seseorang berkata dari balik pintu.
Tibra kembali mengecek lewat lubang kunci, dan benar saja, Hazel tampak berada di depan pintu dengan para bodyguardnya mendampingi.
Perlahan, Tibra membuka pintu.
"Halo, welcome home, Tibra. Sorry gue nggak ngadain acara penjemputan dan ngasih lo karangan bunga kayak artis yang baru aja keluar dari penjara." Hazel berkata dan masuk begitu saja ke dalam kamar.
"Wah, lo keluar dari penjara ternyata masih banyak duit ya? Gue kira lo udah kere," ucap Hazel sambil mengamati kamar mini suite yang dihuni Tibra.
"Gue denger, lo jual apartemen gue," balas Tibra dengan wajah datarnya tapi terdengar jelas hal itu cukup mengusik dirinya. Bagaimana bisa apartemen yang dihuninya itu dijual saat ia di penjara tanpa persetujuannya. Hal itu cukup menunjukkan seberapa besar kuasa keluarga Soemarsono dalam membolak balikkan sesuatu.
"Ow...soal itu. Sorry gue nggak ngabarin sebelumnya, tapi, lo tahu kan, kalau polisi bakalan nyari semua data lo, di mana lo tinggal dan semua hal t***k bengek pokoknya, jadi tim gue beresin semuanya. Lo nggak usah khawatir, semua bakal balik lagi kok."
"How's your day, lima tahun ini?" tanya Hazel, mendudukkan diri di sofa.
"Menurut lo?"
"Nggak terlalu baik gue rasa."
"Bisa nggak langsung aja, jangan kebanyakan basa-basi," sela Tibra.
"Lo, sekarang lebih agresif ya?"
"Menurut orang gue, lo dijemput Sultan dan sempat ngobrol sama Sultan di restoran fine dining?"
"Ya terus kenapa? Bukannya Sultan juga temen akrab lo?"
"Tibra, gue yakin Sultan udah cerita tentang keadaan lima tahun belakangan ini. Semuanya udah berubah. Sultan sedang mencoba menjegal bokap gue yang akan mengikuti pemilihan gubernur."
Tibra menatap Hazel. Ada perbedaan cerita yang disampaikan Hazel dan Sultan, di antara mereka siapakah yang mengarang cerita, dan, mengapa mereka datang padanya, setelah lima tahun mereka sama sekali tidak peduli pada keberadaannya di penjara? Bahkan sejak hari pertama ia menyerahkan diri, diikuti penyidikan berhari-hari, sidang, hingga putusan, tidak pernah mereka muncul, bahkan orang-orang suruhan mereka pun tidak.
Tibra tahu hubungannya dengan Hazel dan Sultan hanya sekedar bisnis, bukan hubungan akrab persahabatan, tapi tetap saja, rasanya janggal mereka berdua bisa tahu kapan ia keluar dari penjara, atau secara singkatnya, itu berarti, Hazel dan Sultan setidaknya mencari informasi tentangnya.
"Terus, apa hubungannya sama gue?"
"Gue mau memastikan lo untuk tetep di sisi gue. Lo selama ini orang kepercayaan gue, Tibra. Kinerja lo sangat bagus, yah, kecuali di dua pekerjaan terakhir, tapi gue masih percaya lo bisa diadalkan." Hazel menatap Tibra dengan tatapan meyakinkan.
Tibra mengedik. "Gue nggak peduli sih sebenarnya, gue kepercayaan atau enggak, selama ini gue melakukan order sesuai yang diminta, kalau harga cocok, pasti gue lakuin."
"Apa Sultan minta lo melakukan sesuatu buat dia?"
"Itu termasuk rahasia."
Hazel terkekeh. "Oke, kayaknya gue tahu, Sultan pasti ngajak lo bergabung sama dia. Gue kasih tahu, kakaknya Sultan dicalonin jadi wakil gubernur sama lawan politik bokap gue, pertarungan politik bakalan sengit terjadi dan ya lo tahu sendiri kayak apa politik itu. Rakyat cukup puas dengan kinerja bokap gue selama ini dan dari survey, bokap gue bisa kembali menang. Sultan mendukung kakaknya dan gue rasa dia akan ngelakuin apapun demi kemenangan kakaknya dalam pemilu."
"Gue pikir lo dan Sultan bersahabat bagi kepompong?"
Hazel tertawa kecil.
"Seharusnya lo tahu Tibra, nggak ada persahabatan abadi, yang ada adalah kepentingan pribadi."
"Setelah sekian lama lo bersahabat sama Sultan, ngelewatin susah seneng bareng, lo berhenti berteman sama dia karena politik?"
"Nggak sesimpel itu."
"Sebagai orang yang nggak punya temen, gue nggak ngerti. Gue pikir persahabatan itu hal yang bakalan dijaga."
"Lo nggak perlu ngerti, Tibra, it's complicated, ada kalanya sebuah persahabatan berakhir, just like relationship between man and woman, pacaran, terus putus...."
"Holy crap! Kenapa gue jadi terdengar kayak bapak-bapak lagi ngobrol sama anaknya!" celetuk Hazel dan Tibra mengedik.
"Intinya, gue mau lo tetep di sisi gue. Apapun yang lo bicarain sama Sultan, kesepakatan-kesepakatan apapun itu, batalin."
"Gue udah bilang kalau gue kerja sama orang yang ngasih harga cocok sama gue. Gue nggak mihak lo atau Sultan."
"Gue bayar dua kali lipat dari yang Sultan kasih, apartemen, mobil dan semua fasilitas lo bakalan balik dalam hitungan detik."
"Kedengerannya menarik."
"Tugas lo, adalah mengawasi Sultan, kalau perlu, cari tahu rencana apa yang ia lakukan."
"Bukannya lo udah tahu? Sultan ngerencanain buat lakuin apapun biar kakaknya menang di pemilu kan?"
"Maksudnya cara apa yang bakalan dia pake!"
"Gue cari tahu nanti. Berapa lo berani bayar?"
Hazel menghela nafas. "Kalau soal duit cepet ya lo?"
"Hanya duit temen gue."
"Tiga ratus juta."
"Gue nggak perlu eliminasi orang kan?"
"Sementara ini enggak."
"Good. Soalnya gue mau tobat."
Hazel menoleh dan menatap Tibra kaget, lalu tawanya meledak.
"Tibra, selama di penjara, lo ikut pendalaman iman apa gimana?"
"Ya, apa seorang manusia nggak boleh bertobat?"
"Boleh aja, tapi nggak sekarang, Tibra. Kenapa lo mendadak pengen tobat?"
"I don't know, mungkin lagi bosen aja jadi jahat terus."
"Ini bukan jahat, tapi profesional. Lo profesional, Tibra, sama aja kayak agen rahasia, atau pasukan khusus, cuma bedanya lo nggak berada dalam kesatuan, lo lone wolf, and it's cool."
"Kata-kata lo manipulatif dan toxic positivy sekaligus ya? Lagian, cool, memangnya kulkas dua pintu?"
"Selera humor cringe lo masih belum hilang ya."
"Gue masih pengen ngobrol banyak, tapi ada meeting sama importir beras, jadi gue harus pergi. Staff gue bakalan siapin apartemen, mobil dan bayaran buat lo, juga handphone, lo harus ngelaporin info apa yang lo dapat tentang Sultan."
"Apa lo yang bikin kerusuhan di mini market keluarga Sultan?"
"Kerusuhan? Gue nggak ngelakuin apapun ke bisnisnya Sultan."
"Well, Sultan bilang, ada yang ngerusuh mini marketnya."
"Bukan gue, lagipula, musuh Sultan bukan cuma gue, dia bermasalah juga sama keluarga Sindoro, soal bakal calon wakil gubernur, Johnny Sindoro harusnya yang jadi calon wakil gubernur, tapi kakak Sultan, Kaisar Wirjasoesmita yang akhirnya dipilih, denger-denger, pake suap. Tapi, ya, udah lama Sultan nggak cocok sama Johnny dan keluarganya, apalagi core bisnis mereka sama. Minimarket, dan kertas."
Tibra makin pusing, dia baru saja keluar dari penjara, keinginannya hanya satu, tidur di kasur empuk seharian, seperti beruang berhibernasi, alih-alih bisa tidur dengan nyenyak, ia malah disuguhi konflik di antara orang kaya.
"Gue rasa, lo perlu istirahat, Tibra. Tugas lo banyak nantinya. Gue cabut dulu, nanti staff gue bakalan datang buat nyerahin kunci apartemen dan bawain mobil." Hazel beranjak dari tempat duduknya, melangkah keluar ruangan mini suite yang dihuni Tibra, bodyguardnya mengiringi, dan menutup pintu kamar Tibra kembali.
Suasana kembali hening dan sepi melingkupi Tibra, dan ia membaringkan tubuh lelahnya di ranjang, tidak lama kemudian ia terlelap, jauh ke alam mimpi.
Ini adalah tidurnya yang paling nyenyak dalam lima tahun belakangan ini. Di penjara, semuanya serba terbatas, bahkan untuk tidurpun, terbatas. Bagaimana Tibra bisa tidur nyenyak jika kadang harus menghuni sel yang seharusnya dihuni lima orang, tetapi dihuni tujuh belas orang.
Dalam tidurnya yang nyenyak, dia melihat Tigra, masih sama seperti saat mereka bertemu di Warteg dan bercakap-cakap. Tigra melambai dan berjalan menjauh, masuk ke dalam sebuah lorong gelap dan panjang. Tibra mengikuti langkah Tigra begitu saja, dan mendadak ia tidak bisa lagi melihat Tigra, lorong semakin gelap dan ia hanya bisa melihat sebuah cahaya kecil di ujung sana. Keringat dingin membasahi tubuh Tibra, berikut rasa takut yang menyergap sekujur tubuh, ia menggigil, dan berusaha melangkahkan kakinya secepat yang ia bisa, tetapi kakinya begitu terasa berat, seolah sebuah beban diikatkan di sana. Ia menjadi panik, dan hendak berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar, lalu telinganya mendengar suara Tigra memanggil-manggil ibunya.
Semua kejadian seolah berpusing cepat di otaknya dan Tibra merasa tercekik, lalu tepat saat ia merasa hendak kehabisan nafas, matanya terbuka, menemukan dirinya terbaring di ranjang empuk kamar mini suite mewah hotel bintang lima.
Ia terengah-engah, mimpinya terasa begitu nyata. Tibra mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menghapus keringat yang mengalir. Mengapa mimpi itu kembali datang? Mengusik tidurnya yang paling nyenyak dan memberikan efek tidak menyenangkan baginya.
Tibra bertanya-tanya mengapa kematian Tibra seolah terus membayanginya? Bahkan, saat dulu ia mendorong Sony, teman SMP yang sering membullynya dari lantai atas hingga cedera parah, ia tidak merasakan apapun selain kemarahan yang mendapatkan pelampiasan. Ia tidak menyesal dan merasa puas sudah memberikan Sony pelajaran, membungkam mulut Sony yang seperti sampah, dan tangan kakinya yang sering menendang dan memukul dirinya dan anak lain yang lebih lemah, menjadi cacat. Tibra tidak pernah menyesal.
Begitu juga orang-orang lainnya, yang ia tagih hutangnya, Henokh Linggadjaja, dan orang-orang lainnya, tidak pernah membawa sebuah penyesalan dalam dirinya, tidak pernah membuat mimpi buruk dalam tidurnya, tetapi sejak ia menabrak Tigra hingga tewas, ia kadang merasa bersalah dan juga mengalami mimpi buruk yang terasa menghantuinya.
Tibra beranjak dari ranjang, pergi ke kamar mandi dan mencuci wajahnya dengan air dingin, dengan kepala yang masih terasa pening karena mimpi yang baru saja ia alami.
Ia menatap wajahnya di kaca, semakin lama menatap, ia seolah melihat wajah Tigra di wajahnya. Tibra mengerjapkan mata, sepertinya ada yang tidak beres dalam otaknya, bagaimana mungkin ia bisa melihat wajah Tigra di pantulan cermin.
Dia beranggapan bahwa semua halusinasi ini karena perutnya lapar. Menurut Tibra, perut lapar, bisa membuat seseorang berpikir irrasional dan bertindak brutal.
Tibra sedang memegang gagang telpon untuk menelpon room service saat ketukan terdengar di pintu. Batal menggunakan telpon, ia berjalan ke pintu dengan waspada, melihat dari lubang pintu, siapa yang datang.
Salah satu bodyguard Hazel yang tadi datang berada di depan pintu, dan Tibra membuka pintu sedikit, membiarkan grendel rantai masih terpasang.
"Ya?"
"Mau menyampaikan pesanan Pak Hazel," balas pria berbaju hitam itu.
Tibra membuka pintu lebih lebar, dan pria itu mengangsurkan sebuah paper bag, setelah Tibra menerimanya, pria itu pergi tanpa banyak kata.
Hazel mengirimkan kartu akses apartemen, kunci mobil, uang dalam amplop dan ponsel, seperti yang ia janjikan. Tibra sedang mengutak-atik ponselnya saat sebuah panggilan telpon masuk.
"Yo...."
"Udah terima semuanya kan?"
"Yup...."
"Oke, gue tunggu laporan dari lo soal Sultan."
"Sementara, gue disuruh Sultan untuk cari info siapa yang ngerusuh di mini marketnya, kalau lo bilang bukan lo, berarti gue harus nyari dalangnya."
"Gue emang bukan orang baik, tapi gue bener-bener nggak ngelakuin apapun ke bisnis keluarga Sultan, bahkan setelah dia keluar dari perusahaan gue dengan banyak kecurangan."
"Tibra, lo sebenernya, kerja buat gue apa Sultan sih?"
"Semua yang bayar."
"b***h! Lo ngeruk duit dari gue dan Sultan," maki Hazel.
"What's wrong? Kalian yang datang dan minta gue kerja sama kalian."
Terdengar Hazel menghela nafas.
"Lo pura-pura aja kerja sama Sultan, lo bisa ambil duitnya, lo juga dapat duit dari gue."
"Oh, mata-mata ganda maksudnya? What if, Sultan juga mengatakan hal yang sama?"
"Lo harus tetep dukung gue."
"Untuk alasan apa? Gue udah bilang kalau gue nggak dukung siapapun, gue lakuin kerjaan buat siapapun yang bayar sesuai tarif gue."
"Bener-bener lone wolf," decak Hazel sedikit kesal karena Sultan membajak Tibra untuk melawannya.
Tibra memiliki latar belakang anak yatim piatu, tidak ada keluarga dan sanak saudara sama sekali, membuatnya mudah melakukan tugas-tugas berbahaya, tanpa harus mengkhawatirkan keluarga. Tetapi, di sisi lain, hal itu membuat Tibra sulit dikendalikan, tidak ada satu hal pun yang bisa membuat Tibra dikendalikan, seperti saat ini, Tibra bekerja pada Sultan, dan juga bekerja padanya.
Hazel berpikir mungkin ia harus menggunakan privilegenya untuk mengetahui latar belakang Tibra, dan membuat Tibra memiliki sesuatu agar bisa dikendalikan.