Tibra baru saja mandi saat pintu kamarnya diketuk. Dia benar-benar sibuk, sepagi ini, sudah ada orang yang menemuinya. Dia melangkah malas ke pintu, masih terlalu lelah untuk mendengarkan cerita persaingan sekaligus pertikaian orang-orang kaya, yang menjadikan dirinya eksekutor.
Mengintip lewat lubang pintu, ia melihat Sultan, tampak gusar dan berkali-kali mengetuk pintu.
"Yo?" Tibra membuka pintu dan Sultan segera masuk ke kamar mini suite yang dihuni Tibra.
"Tibra, lo ketemu sama Hazel?"
"Dia yang datang ke sini."
Wajah Sultan tampak tidak suka.
"Dia pasti nyuruh lo melakukan sesuatu."
"Yap."
"Bukannya lo udah kerja sama gue?"
"Nggak masalah, kerjaan yang dia kasih dan lo kasih bisa dikerjain bersamaan."
"Bullshit!" ketus Sultan kesal.
"Gue nanya ke Hazel apa dia yang bikin keributan di beberapa mini market lo, tapi dia bilang enggak, dan dia menduga saingan lo lainnya yang ngelakuin hal itu, kalau ga salah Johnny Sindoro namanya."
"Maling mana mau ngaku, kalau ngaku penjara penuh," decih Sultan.
Tibra mengedik.
"Ya udah, gue cari tahu siapa yang bikin rusuh ntar, btw, kenapa lo ga lapor polisi aja? Dan malah nyuruh gue cari tahu?"
"Gue males urusan sama polisi, apalagi kalau ternyata orang di belakang mereka tuh kayak Hazel atau kayak Johnny, tetep bakalan seret, dan dianggap kerjaan geng motor biasa. Akan lebih baik kalau diselesaikan secara pribadi."
"Dengan ngebunuh mereka?"
"Seengaknya, orang yang nyuruh mereka nggak ngeremehin, singkatnya mereka kapok berurusan sama keluarga gue dan nggak semena-mena sama keluarga gue."
"Jadi ini semua tentang politik dan bisnis ya?"
"Tibra, lo udah lama kerja sama Hazel dan lo tahu gimana cara kerjanya."
Tibra manggut-manggut. Dia, adalah alat bagi para konglomerat ini untuk melakukan tindakan kotor mereka, mengenyahkan semua hal yang menurut mereka menghalangi jalan mereka.
"Menurut lo, misal Hazel yang ada di balik keributan, apa tujuan dia?"
"Jelas, untuk menekan gue, terkait pencalonan Kaisar jadi Wakil Gubernur."
"Kalau ternyata Johnny?"
"Ya karena dia kalah dalam pengajuan bakal calon Wakil Gubernur. Jadi Wakil Gubernur bagi keluarga Sindoro saat ini sangat krusial, karena mereka baru saja membangun apartemen, tapi mangkrak. Mereka rugi besar, dan berharap dengan terpilihnya Johnny sebagai pejabat daerah, bisa memuluskan proyek mereka lagi."
"Kalian bakal terus bertikai kayak gini?"
"Selama kepentingan kita bersebrangan, kita pasti akan saling mengalahkan, tapi, nggak menutup kemungkinan kalau suatu hari kita bisa berteman lagi kalau punya kepentingan yang sama. Kayak, musuh lo, musuh gue juga, jadi kita temenan."
"Tibra, Hazel sempet mau bunuh lo karena takut lo ngaku kalau kecelakaan Tigra itu terjadi atas perintah Hazel. Kalau lo kerja sama dia, bukan nggak mungkin nyawa lo jadi taruhannya. Lebih baik, lo bergabung sama gue."
"Apa yang ngebuat lo yakin bahwa suatu hari lo nggak akan berpikiran kayak Hazel? Bisa aja lo nyuruh gue ngelakuin sabotase atau ngebunuh seseorang dan saat yang berwenang tahu hal itu, lo juga berpikir buat bunuh gue karena gue tahu rahasia lo."
Wajah Sultan agak kaget mendengar balasan Tibra, tapi ia mengendalikan diri.
"Gue dan Hazel beda, gue nggak akan memperlakukan buruk orang yang udah ngebantu gue."
"Jujur aja, lidah nggak bertulang dan gue nggak percaya."
Andai saja Tibra tidak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan, Sultan sudah memaki lelaki di hadapannya ini. Terdengar naif, sinis sekaligus sombong. Tibra bukan siapa-siapa, bukan salah satu keluarga konglomerat yang berkuasa, tapi dia punya keangkuhan setinggi langit di depan Sultan yang membuat pria itu ingin marah namun menahannya kuat-kuat. Semuanya, karena kemampuan Tibra untuk melenyapkan lawan-lawannya bukanlah suatu kemampuan yang main-main, apalagi Tibra baru saja keluar dari penjara, Sultan yakin, di dalam penjara Tibra mengalami sejumlah kejadian yang membuatnya semakin berbahaya.
Tibra, di hadapannya ini nampak seperti pria yang biasa saja, jika orang tidak tahu, bisa saja menyangkanya model atau bintang iklan. Posturnya tinggi ramping, kulitnya putih, dan wajahnya terlihat manis, imut cenderung cantik, dengan anting menghiasi telinganya, tidak akan ada yang menyangka bahwa dia adalah pembunuh berdarah dingin, yang sombong dan menyebalkan.
"Sesuai bayarannya, gue akan cari tahu siapa yang bikin keributan di mini market lo. Ada pertanyaan atau request lainnya?"
"Apa yang diperintahkan Hazel?"
"Itu rahasia."
Sultan mendecih. Jika keadaannya seperti ini, ia tidak bisa mengandalkan Tibra, karena bisa saja Tibra diperintahkan Hazel untuk melenyapkannya. Mendatangi Tibra seperti ini, hanya akan membuatnya seperti ular yang mendatangi tongkat pemukul.
"Untuk saat ini, lo bukan target sasaran gue, lagipula, gue udah bilang sama Hazel, kalau gue berencana buat tobat, tapi nggak tahu juga kalau gue berubah pikiran, atau Hazel nyuruh orang lain." Tibra menepuk-nepuk pundak Sultan.
"Tetapi, menurut gue, Hazel nggak mungkin bunuh lo, pertama, lo temennya, meski sekarang kalian lagi musuhan, gimanapun juga, Hazel punya kenangan baik atas diri lo, kedua, keluarga lo adalah keluarga terpandang, saat lo mati, keluarga lo sudah pasti tidak akan diam, mereka pasti cari tahu sampai menemukan pelakunya."
"Logikanya emang seperti itu, tapi, faktanya bisa beda. Ada banyak orang yang bisa dikorbankan buat jadi 'pelaku', tetep aja keluarga Soemarsono untouchable. Apalagi bokapnya sekarang Gubernur dan didukung oleh partai besar. Mereka powerful, dalam hal politik dan bisnis."
"Karena itu, gue memerlukan lo di sisi gue. Udah cukup keluarga Soemarsono menguasai semua dan mengeruk semuanya. Mereka cuma berpura-pura kerja untuk rakyat, padahal mereka nggak lebih dari vampir yang menghisap darah rakyat. Lihat aja, semua bisnis keluarga mereka terlihat berkembang sejak bokapnya Hazel jadi Gubernur. Mereka cuma memperkaya diri mereka sendiri."
"Memangnya, keluarga lo juga nggak akan melakukan hal yang sama kalau misalnya kakak lo berhasil jadi Wakil Gubernur? Pasti kakak lo bakal berusaha mempermudah perijinan bisnis dan segala macem untuk melancarkan bisnis lo, dan kalau perlu menekan bisnis pesaing lo."
"Lo, Hazel, Johnny, atau keluarga konglomerat lainnya sama aja. Gue nggak berminat dukung lo atau Hazel atau dukung yang lainnya. Gue bukan golongan kalian dan gue cuma diuntungkan dengan bayaran untuk pekerjaan gue. Lagipula, kalau soal politik, pemilu, gue ga minat jadi tim sukses calon Gubernur, dan biasanya juga tiap pemilu gue selalu abstain. Ga pernah ikutan nyoblos."
"One day, lo bakalan nyesel karena nggak percaya omongan gue. Hazel bisa aja bunuh lo."
"Or, in the other hand, bisa aja, lo yang bunuh gue? Atau yang lainnya? Gue udah mikirin soal itu, kayaknya nggak mungkin kalau gue mati di usia tua karena sakit atau penyebab natural lainnya. Maksimal kayaknya gue mati menjelang empat puluh, karena kecelakaan atau dibunuh. Gue yakin banyak yang pengen gue mati," balas Tibra santai, membuat Sultan merasa kesal, Tibra sama sekali tidak bisa diancam. Ia tidak memiliki ketakutan sama sekali.
Sultan kehabisan kata untuk membuat Tibra mendukungnya secara total. Lelaki itu memilih menempatkan kakinya di dua kubu antara dirinya dan Hazel, untuk mendapatkan bayaran lebih banyak. Sultan mengumpati ketamakan Tibra dalam hati.
"Gue rasa, buang waktu bicara sama lo."
"Emang."
Sultan beranjak dari tempat duduknya, melangkah pergi tanpa pamit, wajahnya terlihat sangat kesal, dan Tibra membiarkan Sultan pergi. Dia benar-benar tidak tertarik untuk mendukung atau bersikap loyal pada Sultan atau Hazel. Keduanya sama saja, menjadikan dirinya peluru untuk menghabisi lawan politik dan lawan bisnis mereka. Bagi Tibra, ukuran siapa yang didukungnya adalah, siapa yang memberikannya uang imbalan jasa dengan jumlah yang banyak.
Tibra membuka tirai kamarnya, dan dari jendela lebar, ia melihat matahari sudah cukup terik bersinar, jalanan ibu kota terlihat padat oleh kendaraan, semuanya begitu sibuk mencari penghasilan untuk melanjutkan hidup.
Perut Tibra terasa lapar, dan mendadak ia ingin makan di Warteg, di mana ia pernah makan siang bersama Tigra.
***
Mengemudikan jeep yang dikirimkan Hazel menyusuri jalanan ibu kota yang panas dan padat setelah perutnya terisi masakan warteg terasa menyenangkan bagi Tibra.
Masakan warteg secara mengejutkan masih sama enak rasanya. Entah karena lidahnya terbiasa memakan jatah makan di penjara yang rasanya begitu hambar, ataukah memang dia terlanjur jatuh cinta pada cita rasa warteg olahan si Nyak pemilik warteg.
Nyak pemilik warteg terlihat tidak bertambah tua di mata Tibra. Ia masih sama, melayani pembeli dan berceloteh macam-macam, terutama kepada pembeli yang familiar dan sering datang. Tetapi, Nyak tidak mengingat Tibra. Mungkin karena Tibra hanya pernah datang satu kali, jadi wanita pemilik warteg itu tidak mengingatnya.
Tibra bertanya-tanya, saat berita tentang kematian Tigra muncul, hal apa yang pemilik warteg lakukan? Ia nampak akrab dengan Tigra, Tibra pikir, dia pasti menangis dan bersedih, merasa kehilangan salah satu orang yang setia menyantap masakannya, lalu menceritakan kepada semua orang yang makan di wartegnya tentang Tigra, terutama saat televisi menayangakan berita tentang Tigra. Bagaimana Tigra selalu memanggilnya dengan sebutan Nyak, dan bagaimana polisi muda itu bersikap ramah kepada semua orang.
Tibra tersenyum pahit, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, begitulah Tigra akan dikenang, sebagai seseorang yang meninggalkan banyak kesan baik. Ada perasaan yang janggal saat Tibra menghabiskan brunch--makan pagi yang kesiangan di warteg ini.
Tibra meninggalkan warteg usai perutnya terisi penuh, dan berencana datang ke suatu tempat yang tercetus begitu saja di benaknya. Dia menginjak lebih dalam pedal gas dan jeep melaju lebih kencang ke sebuah tempat di mana dia akan berkunjung.
Suasana sepi saat Tibra sampai di tempat itu. Matahari bersinar begitu terik, membuat orang-orang enggan berada di tempat terbuka seperti ini. Jika tidak terpaksa, orang akan lebih memilih berada di bawah atap, medinginkan tubuh di ruangan ber-ac, jika punya, jika tidak, kipas angin, atau lembar koran sebagai kipas pun jadi.
Tanah yang ditapaki Tibra nampak begitu kering, menunjukkan bahwa hujan sudah lama tidak datang mengguyur tempat ini. Dia mengingat terakhir kali dia datang ke tempat ini, hujan turun lumayan deras, seolah turut berduka.
Dia sampai di satu titik, di mana sebuah makam bernisan putih yang terlindung pohon kamboja berada. Namanya diukir dengan tinta emas, Javier Tigra, saat dia meninggal, usianya masih muda. Tibra menatap nisam makam Tigra, berpikir bahwa pasti banyak cita-cita dan keinginan Tigra yang belum terlaksana, dan lagi-lagi, rasanya Tibra merasakan sebuah perasaan sedih.
Bukankah hal ini adalah sebuah keanehan? Tigra meninggal karena dirinya, menabrak lelaki muda itu dengan truk, atas perintah Hazel Soemarsono, tetapi pada akhirnya, Tibra merasakan sebuah kesedihan saat Tigra benar-benar menghilang dari dunia ini.
Mendadak angin berhembus cukup kencang, menerbangkan beberapa daun kering yang bertebaran, serta menghembusi Tibra yang masih berdiri di depan pusara Tigra, hanya menatap, tanpa melakukan apapun, bahkan, ia lupa untuk sekedar membawakan Tigra bunga.
Setelah beberapa lama, Tibra mendekati nisan, mengusap nama Tigra dengan telapak tangannya.
"Hai, tiger, gue datang. Udah lima tahun lo pergi, dan gue nggak tahu, apa lo masih marah sama gue? Suatu hari nanti, kalau kita udah ketemu lagi, gue rela lo maki-maki gue sampai puas. Maaf, gue baru datang lagi sekarang. Gue baru aja keluar dari penjara, meski gue tahu, lima tahun di penjara bukan apa-apa dan ga sebanding sama perbuatan gue yang ngebuat lo meninggalkan semua cita-cita dan cinta di dunia ini."
"Tadinya, gue mau insaf, gue nggak mau lagi terlibat kerjaan yang ngebuat orang lain celaka, tapi...ya, gue kayaknya nggak bisa. Baru aja keluar dari penjara, gue udah ketemu lagi sama orang-orang berkuasa dan berduit yang ngebooking gue buat ngelakuin pekerjaan ilegal. Lagipula mereka ngasih bayaran yang setimpal, jadi gue rasa ga ada alasan nolak mereka. Lo pasti sebel denger alesan gue." Tibra tertawa kecil seolah dia benar-benar berhadapan dan mengobrol dengan Tigra.
"Gue kayaknya ntar bakalan masuk neraka, jadi kita ga bakalan ketemu lagi. Karena itu, gue...." Tibra menggantung ucapannya cukup lama, rasanya begitu berat meneruskan kata-katanya, sekaligus dia merasa konyol, bicara sendirian di pemakaman pada tengah hari yang terik.
Dia menghela nafas.
"Gue minta maaf, meski gue tahu ini terlambat dan ga ngerubah apapun. Well, Tigra, lo tahu kan, gue itu Godzilla, monster jahat yang bisanya bikin orang celaka, dan nggak mungkin monster kayak gue berubah jadi baik."
Angin kembali berhembus, seolah mengusap helai rambut kecoklatan Tibra, diiringi suara tonggeret, yang dahulu dianggap sebagai penanda musim panas masih lama berlangsung, tapi sekarang, terkadang tonggeret pun terkena prank. Baru saja dia bersuara, tidak lama kemudian hujan deras datang, efek dari perubahan iklim yang ekstrim, musim berubah-ubah tanpa bisa diprediksi.
"Kayaknya udah waktunya gue pulang, gue yakin, lo juga udah bosen lihat muka gue, dan muak juga denger bacotan gue yang nggak bermanfaat. Lain kali, gue akan datang lagi, gue bakal bawain lo bunga, tapi jangan minta doa, soalnya gue nggak tahu caranya berdoa. Ya...mungkin bisa kalau sekedar baca, nanti gue usahain, gue search dulu di google."
"Oke, see you then, Tigra." Tibra berbalik meninggalkan makam Tigra, berjalan pelan menuju tempat di mana jeepnya diparkir.
Tibra menyalakan mesin dan melajukan jeep meninggalkan area pemakaman. Tanpa dia sadari, sepasang mata menatap Tibra, mengawasi Tibra dengan seksama, tanpa terlewat sedetikpun. Sejak awal kehadiran Tibra di makam Tigra, dan semua pembicaraan mistik antara Tibra dan Tigra, didengar oleh pemilik mata itu. Dia sengaja menyembunyikan diri serapat mungkin, agar Tibra tidak menyadari kehadirannya, dia ingin tahu, apa yang Tibra lakukan di makam Tigra, dan dia menemukan jawaban dari pertanyaannya.