Tujuh Bulanan

1004 Words
Gara-gara Nikah di KUA Bab 8 : Tujuh Bulanan Kututup kembali kardus buah-buahan itu dan berusaha menahan diri untuk tak memakannya sebab tak tahu itu milik siapa, barangkali saja punya orang nitip sama Bang Yusril sebab rasanya mustahil suamiku yang hanya gembala itu bisa membeli buah-buahan mahal. “Assalammualaikum.” Terdengar suara Bang Yusril dari depan pintu. Aku segera melangkah keluar dari dapur, di depan pintu terlihat suamiku dengan setelan khas saat menjadi gembala, yaitu baju dan celana panjang serta topi. “Waalaikumsalam, Bang,” sambutku dengan tersenyum ke arahnya, walau orang melihat Bang Yusril itu dekil dan awut-awutan, tapi bagiku dia tetap tampan dengan kulit kuning langsat itu juga perawakan yang tinggi tegap. Bang Yusril masuk ke dalam dengan membawa sepatu botnya, aku mengekor di belakang. Aku memberikan handuk agar ia mandi dan membersihkan diri, sedang aku membuatkannya kopi seperti biasanya. “Bang, itu kardus buah punya siapa?” tanyaku tak sabar saat Bang Yusril sudah keluar dari kamar mandi. Bang Yusril menautkan alisnya dan melihat telunjukku yang mengarah ke atas meja kayu lapuk itu. Dia tersenyum dan mendekat. “Loh, belum dikeluarin dari kardus? Simpan ke keranjang buah, Dek, itu buah-buahan buat kamu.” Dia mendekati meja dan menunjuk kardus yang masih terbungkus rapi itu. “Dapat dari mana, Bang? Benaran buat Adek? Sebanyak ini?” tanyaku bertubi-tubi dengan raut kebahagiaan, berharap ini bukan mimpi di siang bolong. “Iya, Sayang, ini buat Adek dan calon bayi kita, agar kalian berdua selalu sehat.” Bang Yusril membuka kardus itu dan mengeluarkan satu persatu buah-buahan itu. “Dapat dari mana, Bang?” tanyaku masih penasaran. “Nanti saja ceritanya, Abang mau pakai baju dulu. Kamu cuci dulu buah-buahnya, Dek, setelah itu masukin keranjang.” Bang Yusril berlalu menuju kamar. Bibir ini tak hentinya mengulas senyum, bagaimana tidak? Sebab buah-buahan yang hanya bisa kulihat di TV tetangga dan pasar buah yang ada di Kota, kini ada di depan mataku. Menurut cerita Nenek sebelah Bapak, kalo masuk syurga nanti kita bisa pilih mau makan buah apa saja, semuanya ada di sana, tapi kini belum juga di syurga tapi kini aku sudah bisa menikmati buah-buahan ini. Oh iya, ini bukan kata Nek Jannah ya, Nek Jannah itu Neneknya Mira, yang wajahnya mirip artis India film ‘Tafasya.’ “Dek, kok cuma dilihatin aja buah-buahannya? Emang nggak mau dicobain?” Suara Bang Yusril membuatku terbangun dari lamunan. “Eh, iya, Bang, tapi cerita dulu dapat dari mana? Soalnya ini buah-buahan mahal loh.” Aku menatapnya penuh selidik. “Nai bisa kok nahan ngidam buah mangga mahal ini, dari pada harus membuang banyak uang untuk membelinya, kata Amir suami Mira, mangga jumbo ini sejuta loh harganya.” Bang Yusril menahan tawa mendengar ceritaku. “Masa semahal itu? Hahaa ... Dek, Dek, kamu cuma dibohongi suami sepupumu saja." Bang Yusril tertawa, deretan gigi putihnya terlihat berkilauan. "Jawab deh, Bang, dapat dari mana buah-buahan ini?! Nai sayang mau makannya kalau harganya benaran sejuta." Aku mengerucutkan bibir. "Abang nggak beli, Sayang, itu dikasih orang. Kebetulan tadi siang, pas di Kota, Abang nolongin seorang bapak-bapak yang ditabrak. Eh, nggak tahunya dia bos toko buah. Ya udah, sebagai ucapan terima kasih, Abang dikasih oleh-oleh buah deh,” jawab Bang Yusril. “Oh gitu, kirain Abang beli,” ujarku lega. Bang Yusril meraih pisau dan mengajakku untuk duduk meleseh di lantai dapur dengan menghadap ke pintu belakang. Aku mulai mengupas buah mangga yang seperti di rumah Mira tadi. Dengan tak sabar, aku mulai mencicipinya. Sedang suamiku, dia hanya memperhatikanku saja dengan sambil tersenyum. *** Beberapa hari yang lalu, di rumah Bude Nani baru saja mengadakan cara tujuh bulanan Mira. Menurut kepercayaan orang di desaku acara ini memang sangat penting, sepenting acara resepsi pernikahan. Kata Ibu sih, nggak diadain juga nggak apa kalau nggak ada biayanya, yang penting baca doa selamat saja. “Kamu kapan ngadain acara tujuh bulanan?” tanya Bu Rosdiana saat aku membeli sabun cuci di warungnya. “Belum tahu, Bu Ros,” jawabku dengan perasaan tak enak, lalu dengan cepat meraih belanjaanku. “Ini acara wajib loh, kalau nggak diadain maka anak yang kamu kandung itu akan cacat,” timpal Bu Dillah yang membuatku merinding mendengarnya, dia sedang berbelanja mie instans. “Apa kamu juga nggak akan ngadain tujug bulanan ini, Nai, seperti kamu yang nggak ngadain acara resepsi pas nikahanmu itu?” tanya mereka lagi. “Mira aja, sepupu kamu, dia udah ngadain dua kali acara yaitu pas empat bulanan dan tujuh bulanan.” “Ya sudah, Ibu-ibu, saya duluan,” ujarku dengan sambil membayar belanjaanku lalu segera berlalu dari warung itu. Beberapa Ibu-ibu yang tadi menanyaiku semakin menyaringkan volume ghibahannya. Heran juga, warga desa ini begitu suka menggunjingkan orang dan begitu merendahkan orang miskin sepertiku padahal mayoritas kehidupan di desa ini bukanlah orang kaya semuanya. Amit-amit jabang bayi, amit-amit jabang bayi. Kuusap perut ini berkali-kali karena takut ucapan Ibu-ibu di warung itu jadi kenyataan, sebab Ibu mana pun pasti ingin anaknya lahir dengan selamat dan sehat. Mereka selalu membandingkan kehidupanku dengan Mira, tak cuma tetangga bahkan keluarga. Pas acara tujuh bulanan Mira kemarin pun aku sudah dipermalukan oleh Nenek yang menganggapku begitu berbeda dengan cucu-cucunya yang lain. Katanya, aku akan miskin tujuh turunan dan kehidupanku akan lebih melarat lagi saat anak-anakku lahir karena kebutuhan hidup akan semakin bertambah sedang suamiku hanya mengandalkan upahnya sebagai gembala saja. Beberapa hari kemudian, sesuai yang kurencanakan, aku mengadakan acara tujuh bulanan yang hanya dihadiri kedua orangtuaku, mertuaku juga Bu Midah, dukun beranak yang biasa dipanggil untuk acara ini juga Ustad Dahlan untuk membacakan doa selamat. Acara berlangsung sederhana dan khikmat, yang terpenting doa dan syarat sudah dilakukan. Semoga calon anak kami lahir dengan sehat dan selamat. Itu saja doaku, walau saat ini para tetangga kembali menggunjingkanku karena mereka tak diundang. "Udah nikahan kagak ngundang, tujuh bulanan juga tidak ngundang juga. Dia mati, kita juga gak usah datang ngelayat! Biar saja mayatnya membusuk nanti tanpa ada yang bantu!" Begitu umpatan sadis yang begitu menghujam hati ini. Aku hanya bisa menarik napas sabar dan berusaha untuk tak memasukkan kata-kata itu ke dalam hati. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD