Mangga Harga Sejuta

1109 Words
Gara-gara Nikah di KUA Bab 7 : Mangga Harga Sejuta “Nai, jaga ucapan kamu!” bentak Ibu tiba-tiba. “Minta maaf sama Budemu!” sambungnya dengan melotot ke arahku. Aku menggaruk dahi, merasa bersalah juga dengan ucapan yang meluncur begitu saja itu. Rasanya memang tidak pantas aku berkata demikian, duh ... Mulut ini kok mendadak jadi gini, suka nggak bisa dikontrol kata-katanya. “Maaf, Bude,” ujarku lirih. “Huh, penyakit iri dengki itu memang selalu menjadi penyakit yang berbahaya yang hanya bisa diobati jika sudah kaya benaran. Kamu sih bisa jadi kaya, cuma mimpi aja, Nai! Palingan cuma bakal kaya hati saja! Hahaaa .... " cibir Bude Nani lagi dengan sambil menetertawaiku lalu membalikkan tubuhnya. “Kasihan calon anakmu itu, dia akan terlahir dan hidup dalam kemiskinan karena bapaknya cuma gembala kere,” sambungnya dengan sinis kemudian menyeberang jalan untuk pulang ke rumahnya. Ya Allah, jahat sekali mulutnya Bude Nani. Aku tak pernah iri dengan Mira, sepupuku itu, walau nasib kami berbeda. Dia bisa sekolah sampai SMA dan menggaet suami kaya, nikah besar-besaran dan hidup berkecukupan. Aku tak dengki akan hal itu, aku juga sudah merasa bahagia dengan pernikahanku dengan Bang Yusril, kami saling mencintai. Bisa bersatu dalam mahligai pernikahan yang suci dengannya, sudah membuatku begitu berbahagia. “Nai, kamu kenapa?” Suara Ibu mengejutkanku. “Ah, nggak apa-apa, Bu.” Aku berusaha tersenyum. “Ucapan Budemu jangan diambil hati, dari dulu dia memang suka ceplas-ceplos aja,” ujar Ibu dengan mengusap punggungku. “Iya, Bu, Nai santai aja kok.” Aku tersenyum dengan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar rumah Ibu. “Hmm ... Bu, kok nggak ada mangga yang berbuah sih? Nai lagi pingin mangga muda deh.” “Oh, kamu lagi ngidam mangga, Nai? Lagi nggak musim mangga juga,” jawab Ibu dengan nada sedih. Taklama kemudian, sebuah mobil merah berbelok ke arah rumah Bude Nani. Itu mobilnya Amir, suami Mira. Benar saja, Amir keluar dari kendaraan roda empat yang masih ber-plat putih yang tandanya masih baru. Dia keluar dengan menenteng beberapa buah mangga dengan ukuran jumbo yang dikantongi plastik tranparans. Air liur ini serasa nyeces melihatnya. Langkah kaki ini langsung beranjak dari teras rumah Ibu, aku akan ke rumah Bude, mudah-mudahan saja Mira mau membagi mangganya walau cuma sepotong. “Nai, mau ke mana kamu?” tanya Ibu dari belakang saat aku mulai menyebrangi jalan. “Naima mau ke rumah Mira sebentar, Bu,” jawabku dengan menoleh ke arah Ibu lalu mempercepat langkah saat sudah tiba di depan rumah Bude. Mira terlihat keluar dari dalam rumah dengan membawa piring dan pisau, sedang Amir membawakan mangga yang sudah ia masukan ke dalam keranjang buah. “Eh, Naima, kebetulan kamu ke sini. Bantuin aku buat kupas mangga dong!” ujar Mira manja. “Boleh, Mir, sini aku kupasin! Tapi boleh minta, ya,” ujarku dengan raut senang. “Iya,” jawab Mira sambil duduk meleseh di lantai teras dengan menyodorkan piring dan pisau ke hadapanku. Kupegang mangga dengan ukuran jumbo itu lalu mengusap perutku, dengan sambil berkata dalam hati, “Nak, Ibu akan menuruti pintamu untuk makan mangga.” “Buruan, Nai, aku udah nyeces ini!” ujar Mira dengan tampang kesal. “Iya, sabar ... ini lagi dikupasin,” jawabku dengan mulai mengupas mangga itu. Amir dan Mira duduk bersebelahan dengan sambil bermanja-manjaan, aku jadi kangen Bang Yusril juga. “Beli di mana, Mir, mangganya? Gede dan wangi,” tanyaku dengan sambil memotong mangga ke dalam piring. “Beli di supermarket kota, Nai. Kenapa emangnya, kamu mau beli juga?” tanya Mira dengan tak sabar lalu mencomot potongan mangga itu. “Berapaan ini harganya?” tanyaku lagi dengan menelan ludah saat melihat Mira mulai menikmati mangga muda itu. “Mahal, Nai, soalnya lagi gak musim mangga sih. Ini barang imfor, harganya satu juta satu kilo,” jawab Amir dengan sambil menahan senyum. “Apa, sejuta? Kok mahal amat?” Aku menganga. “Iya dong, namanya juga buah imfor dan langka, tapi Bang Amir mah selalu nuruti keinginan ngidamku ini. Semua juga demi calon anak kami biar nggak nyeces pas lahiran nanti.” Mira meletakkan piring mangga yang sudah kosong. Ya ampun, udah habis aja, padahal baru juga aku mau nyobain. “Kamu juga lagi ngidam mangga, Nai? Minta beliin dong sama suamimu, atau juga ambil biji ini saja deh, ditanam di depan rumahmu, ya!” ujar Mira dengan meletakkan biji mangga itu ke tanganku. “Mira, boleh aku beli satu gak mangganya?” tanyaku memberanikan diri. Mira dan Amir saling pandang lalu tertawa bersamaan. “Emang kamu mau beli dengan harga berapa?” Mira cekikikan. “Emangnya kamu mau jual dengan harga berapa? Jangan mahal-mahal dong!” Aku memasang wajah memelas. “Nggak mahal, lima ratus ribu saja kok,” jawab Mira dengan mempamerkan dua buah mangga di tangannya. Aku menelan ludah dengan harga segitu, masa sebiji mangga harganya melangit gitu, sama aja mau bikin aku ileran. “Gimana, mau beli gak? Tapi nggak boleh ngutang, ambil dulu uang sana!” Mira bangkit dari duduknya dengan memeluk keranjang mangganya. “Mir, mahal amat, kurangi lagi dong harganya!” Aku kembali memasang wajah memelas. “Emamg kamu punya uang berapa, Naima?” tanya Amir dengan senyum ejekan. “Aku cuma punya uang dua puluh ribu.” Aku mengeluarkan uang di saku celana dan menunjukkannya kepada mereka. Keduanya kembali menetertawaiku dan mengusirku untuk ambil uang dulu. Aku membalikkan badan dan melangkah pulang. Ya sudah, tak makan mangga juga nggak apa, wong harganya melangit gitu. Aku menelan ludah sambil membayangkan gurihnya mangga jumbo milik Mira tadi. Sesampainya di depan rumah, terlihat motor butut Bang Yusril sudah terparkir di samping rumah. Ternyata dia sudah pulang. Oh iya, aku bilang dia gak ya kalo lagi ngidam mangga? Tapi, mengingat harganya yang sangat malah itu, lebih baik tak usah bilang saja. Kasihan Bang Yusril, gajinya sebulan kerja jadi gembala saja tak cukup untuk membeli mangga itu soalnya gaji suamiku hanya Rp25.000,- sehari, yang kalau dikalkulasikan sebulan hanya Rp750.000,_. Aku mendorong pintu lalu masuk, suasana rumah sepi, sepertinya suamiku sudah pergi ke rumah juragan untuk menidurkan ternak asuhannya. Aku melangkah menuju dapur, sorot mata ini terhenti ke atas meja samping rak penyimpanan piring, di sana terdapat kardus yang tadi tak ada di sana. Apa isinya? Bang Yusril beli apa? Aku jadi penasaran dan membukanya. Mata ini langsung berbinar senang saat melihat beberapa buah segar di dalamnya. Ada mangga jumbo yang seperti punya Mira, apel, jeruk dan anggur. Ya Tuhan, punya siapa ini? Punya Bang Yursil atau punya siapa, ya? Aku menelan ludah melihat aneka buah yang ada beberapa diantaranya yang belum pernah kumakan. Apel dan anggur ini buah-buah mahal, kalo ini pembelian suamiku, dapat dari mana dia uang untuk membelinya? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD