Pov : Sora
“Kakak….”
Aku beringsut menaikan selimutku lebih tinggi. Ibuk sudah manggil artinya sudah azan subuh. Nanti aja deh aku subuhnya jam enam-an. Jadi aku pura-pura nggak dengar waktu ibuk berulang kali mengetuk pintuku.
Semalem Jodi nelpon sampai jam 3 pagi, aku baru tidur dua jam. Rasanya aku bisa menunda shalat subuhku dua jam lagi.
“Kakak, ayah sudah nunggu di bawah.”
Mataku langsung melek. Aku lupa hari ini ayah nggak sholat di masjid. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Di setiap hari ulang tahun anggota keluarganya, ayah akan mengimami shalat di rumah, dia akan berdoa panjang untuk anggota keluarganya.
“Iya ibuk, sebentar lagi aku turun.”
Cepat-cepat aku ambil wudhu dan pakai mukenah lalu turun ke bawah. Ayah sedang shalat dan ibu sedang shalat sunnah ba'diyatal subuh. Aku mengambil tempat di sebelah adikku, Meyda. Dia masih terkantuk-kantuk. Ku usap punggungnya, dengan mata loyo dia menoleh, dan nyengir. “Met ultah kak.”
Aku mengusap pipinya. aku berbisik “Begadang?”
Kayak aku nggak aja.
Dia meletakkan jarinya di bibir, takut ibuk tahu. Dia mencondongkan tubuh untuk berbisik padaku. “Aku melukis sesuatu untuk hadiah ulang tahun kakak.”
Auww, surprise sekali!
Sambil menahan tawa aku berterimakasih. Nggak lama Bias iqomah dan kami shalat subuh dipimpin ayah. Selesai shalat doa ayah sangat panjang, diam-diam aku melihat Meyda sempat terlelap, sebelum dipergoki ibuk, aku pun menyikutnya.
Setelah selesai shalat Meyda langsung ngiprit kembali ke kamar, sedangkan Bias mendatangiku, dia memelukku singkat. “Selamat makin tua ya, kak. Semoga bisa tambah kaya.” Dia mencium pipiku sekali dan berlalu ke kamar. Paling dia live main game sama Austin.
Sementara ayah kembali ke kamar, aku dan ibuk berduaan di dapur. Selesai shalat subuh ibuk langsung menyiapkan sarapan. Sekedar informasi bahwa sarapan di rumah keluarga Bachtiar selalu ekstra.
Sebelum bantuin ibuk di dapur, aku harus ngurusin kerjaan dulu. Aku duduk di meja makan mencatat orderan hari ini.
“Kakak, ibu sudah reservasi di Kukita resto untuk hari ini, siang nanti dressnya di ambil di tante Zya ya. Jangan lupa, Oma Rianti dikabari.” Oma Rianti adalah ibu mendiang mamaku, mama biologisku yang melahirkanku. Dia sudah lama meninggal sejak aku berusia 5 tahun karena kanker getah bening. Setiap lebaran kami akan nyekar ke kuburnya. Jujurly, aku nggak terlalu suka keluarga mama kandungku.
“Oma nggak akan bisa datang, dia sibuk banget, palingan lagi di luar negeri.” Alasan, aku cuma malas aja. Cepek tahu nggak sih di judge sama nenek sendiri, harus menggapai ekspektasinya, dia mencemooh pilihanku karena tidak melanjutkan kuliah, dia bilang aku ketularan ibuk yang tidak berpendidikan. Ibuku dikata tidak berpendidikan? dia kemana pas anaknya meninggal? ibuklah yang mendidikku sampai aku bisa cari uang sendiri sementara anak lain masih minta bayar uang semester sama orang tuanya.
“Tapi harus tetap di kabari kak.”
Aku tersenyum males, sama malasnya untuk menjalankan pesan ibuk yang satu itu. Untungnya ibuk nggak panjang lebar membahas soal Oma, jadinya aku bisa fokus ke kerjaanku dulu.
Jadi aku punya toko kue online yang kudirikan dengan teman les bakeryku bernama Sifa. Karena suport keluarga besar, teman-temanku dan juga teman-teman ibuk, bisnisku jadi berkembang. Biasanya yang ngurusin sosial media, promosi dan pesanan itu partnerku Sifa. Sedangkan aku bagian belanja-belanja dan tentu saja jadi kokinya. Tapi hari ini aku kebagian tugas untuk ngurusin orderan, agak ribet karena aku cukup gaptek jadi ginilah, bisanya salin ulang orderan. Menu di toko online kami selalu berubah setiap hari, karena semua itu tergantung mood ku, mau bikin apa besok harinya. Hari ini menunya kue tiramisu dan strawberry cream puff.
Ibu melirik dengan spekulatif. “Banyak ya?” Dia mengerucutkan bibir, gaya ibuku memang agak beda kalau lagi sebel. “Padahal ibu sudah bilang supaya toko onlinenya tutup dulu, hari ini kan ulang tahun kakak.”
“Sayang buk. Sora lagi nabung buat liburan.”
Ibuk meletakkan daun bawang yang dia bawa-bawa dari tadi. “Liburan ke mana kak? Sama siapa?”
“Jodi.”
Mimik Ibuk langsung keliatan nggak enak, dahinya berkedut. Aku tahu isi pikirannya, meski ibu dan ayah punya teman dan relasi dari semua kalangan tapi pikiran mereka masih ketinggalan di jaman nenek moyang dulu. Mereka masih aja mikir aku nggak akan aman kalau pergi jalan-jalan sama cowok.
“Memang kemana?”
“Bali. Tenang buk. Mukanya jangan kayak mau jantungan gitu dong. Aku sama temen-temen yang lain juga kok. Ada Vanya, Dion, Aska dan Lian. Temen-temen SMA dulu, mereka lagi libur kuliah. Aska pulang dari Seattle jadi kami mau reuni kecil-kecilan gitu. Ibuk ingat mereka kan?”
Ibuk sudah nggak memikirkan daun bawang lagi. “Bukannya Dion itu pacarnya Lian, Dan Aska itu pacaran sama Vanya ya?”
Aku bertepuk karena ibuk ternyata mengingat semua teman-teman SMAku dengan baik. “Dan aku sama Jodi. Kami akan triple date buk. Seru kan?”
Ibuk meringis, “woow,” soraknya tidak selaras dengan raut cemas di wajahnya. “Ijin dulu sama ayah ya.” Aku bisa melihat dia mengusir pikiran-pikiran dari dalam kepalanya dengan menggeleng samar. Sembari tangannya bergerak gesit menyiapkan makanan bahan-bahan makanan di island kitchen. “Ibuk mengerti kakak sudah besar, sudah 20 tahun dan berhak memutuskan sendiri. Ibuk dan ayah kan nggak pernah larang-larang kakak untuk punya pashion apa, cuma kak, liburan untuk berkencan itu sepertinya agak sulit untuk ditoleransi.”
Aku sudah mau menyela karena ibuk terkesan tidak mengizinkan aku pergi ke Bali bersama teman-temanku. Kenapa sih? Aku suda besar kan? Selama ini apa sih yang mereka larang terus aku kerjakan? Aku selalu nurut, aku bisa jaga diriku.
Ayah tiba-tiba datang dari arah kamarnya, dia baru saja berganti baju muslim dengan pakaian olahraga. Tadi malam aku mendengar dia berencana main tenis sama Bias.
“Ada apa?” Ayah bergantian melihatku lalu ibuk.”Pagi-pagi kok mukanya udah pada ditekuk gitu?” Dia menghampiri ibuk dulu, mepet-mepet ke ibuk untuk menanyakan menu sarapan hari ini dan memohon untuk bisa merokok dua batang aja di teras.
“Duduk dulu sana, aku ambilkan kue lupis untuk ganjel perut sementara aku masak, Jangan langsung ngerokok,” perintah ibuk yang langsung dituruti ayah.
Ayah melihatku, dia berbicara tanpa suara. “Diomeli juga ya?”
Aku cuma manyun, mengalihkan perhatianku pada catatan di noteku, malas membahas liburan, aku juga belum siap untuk memberitahu ayah, aku takut dia nggak ngijinin. Aku perlu memikirkan cara lain supaya liburan ini sukses.
Ayah duduk di sebelahku, biasanya ayah lebih suka duduk di kursi yang ada di seberangku bersebelahan dengan ibuk, tapi dasar ayah dia pasti kepo sama apa yang terjadi.
Dia memangku dagunya sambil ngeliatin aku terus, menunggu aku membuka mulut. “Kenapa kak?” tanyanya lagi.
Kayaknya kalau aku bilang “nggak ada apa-apa” ayah akan neror aku terus. Gimanapun pasti dia akan tahu dari ibuk.
“Aku mau liburan ke Bali yah, boleh ya.” Segera kulakukan apapun yang bisa membuat ayah luluh. Aku memegang tangannya, memberikan tampang termanis yang bisa kuberikan. “Yah…, aku udah kerja keras dua bulan ini setiap hari bikin kue, aku boleh ya yah liburan. Temen-temen ku yang kuliah di luar negeri sekarang sedang liburan jadi kami rencananya ngumpul kayak reunian gitu.”
“Boleh,” katanya dengan senyum sumringah masih menatapku.
Ah senangnya, nggak biasanya ayah lebih pengertian daripada ibuk.
“Rencananya sama siapa aja? Ada cowoknya?”
Aku menggigit bibir, kenapa mesti ditanya sih. “Sama Jodi, Dion, Aska, Lian, Vanya. Tiga cowok dan tiga cewek.”
“Nggak apa-apa”
“Beneran yah?” Aku jadi semangat, super semangat, hampir lompat dari kursiku. Ku genggang erat tangan ayah. Ah, ayahku memang terbaik hari ini.
“Sayang ke Bali yuk.” Dia malah menoleh ke ibuk yang meskipun tangannya sibuk memototng daun bawang di talenan tapi telinganya diam-diam menguping. “Reined juga mau pulang kan? Kita harus mengajak dia ke Bali, hotel dan villa di sana keuangannya bermasalah. Dia terlalu sibuk sama urusan Yale, Baston dan Brussel. Kamu kabarin dia ya.”
Ibuk memutar bola matanya, dia sudah capek ngurusin tukang buat onar itu. Ibuk kan ngeluhnya sama aku, jadi aku tahu apa saja yang membuat ibuk sangat mengkhawatirkan adik tengahnya tersebut.
“Iya nanti aku kabarin, aku lagi cari-cari tempat kebiri manusia di mana ya.”
Ayah syok mendengarnya, dia seketika duduk dengan gelisah.
“Bukan kamu, iya kali mas. Kalo itu sih aku yang rugi. Maksudku itu Rained loh. Kamu lah yang paling cocok nasehati dia, kalau aku tuh bawaannya emosi pengen ngegabplok.”
Ayah tersenyum tapi masih agak bingung, dia menoleh padaku. “Nanti ayah carikan tiket yang pas ya.”
“Ayah ini acaraku dan teman-temanku, kok kalian yanga ngatur sih? Ini bukan reuni keluarga. Aku tuh sudah jauh-jauh hari merencanakan ini sama temen-temen.” Aku kesal sama ibuk yang biasanya mengerti aku sekarang juga jadi begini. “Nggak bisa ya kalian bilang, iya silahkan nak, jaga diri ya, gitu aja kok, aku cuma butuh izin seperti itu. Kalian nggak perlu gelendotin aku pacaran. Aku sudah 20 tahun, aku sudah punya KTP, aku juga sudah bisa cari uang sendiri. Kalian selalu mikir aku tuh bayi yang perlu di momong. Please yah…” Aku menggunakan intonasi yang sangat memelas.
Bayangin aja aku sudah nyiapin ini dari jauh-jauh hari, pacarku yang super sibuk itu akhirnya punya waktu untuk liburan bareng dan diapun se-excited itu buat liburan ini. Dia punya etenderry yang panjang selama di Bali, masak iya semua rencana itu berubah jadi acara liburan keluarga. Sama Rained lagi, om paling ter-enggak jelas yang denger namanya aja udah buat kuping aku capek.
“Oh jadi ini tuh liburan apa kencan?” suaranya emang kedengaran ramah, tapi enggak sama tampang ayah ku yang sudah berubah jadi patung batu Moai. Aku baru sadar tadi nyebutin pacaran karena terlalu emosi, jadi ayah tahu deh.
Lewat tatapan aku memohon meminta pertolongan ibuk. Tapi kali ini sepertinya dia berkubu dengan ayah. Akhir-akhir ini mereka jadi aneh deh, kayak nggak ngijinin aku pacaran padahal pas SMA dulu, mereka oke-oke aja aku jalan sama Jodi.
“Kalau seperti itu sih udah jelas nggak akan ayah ijinin.”
Kue lapis ayahpun tersaji di depannya. Aku melihat ibuk melewati ku gitu aja. aku sedih banget. Kalau sampai rencana liburan ini gagal karena aku, aku bakal merasa bersalah banget sama Vanya dan Lian.
“Kakak bisa jaga diri yah, ibuk tolongin buk, kasih pengertian sama ayah, ibuk pernah bilang kan percaya sama aku, bilangin ke ayah buk, Sora tuh bisa jaga diri, Sora nggak akan melakukan hal aneh-aneh.” Aku masih belum menyerah.
“Iya kamu mungkin bisa jaga diri, tapi emang Jodi bisa?” Kalau ayah sudah nyipitin mata, dan aura intimidasi udah keluar kayak gini. Artinya semua sudah percuma.
Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi selain nangis menerima nasib.
“Sora, ayah itu seorang pria, pernah muda, pernah pacaran dan ayah tahu isi pikiran laki-laki. Kemanapun anak perempuan pergi dia harus bersama anggota keluarganya, itu prinsip ayah. Ayah nggak mau terjadi sesuatu yang nantinya kamu sesali.”
Ayah jahat. JAHAT!!.
Aku nggak mau bicara lagi sama ayah.
***